kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   -2.000   -0,13%
  • USD/IDR 15.869   11,00   0,07%
  • IDX 7.309   113,55   1,58%
  • KOMPAS100 1.124   19,29   1,75%
  • LQ45 895   17,87   2,04%
  • ISSI 222   1,95   0,88%
  • IDX30 458   9,42   2,10%
  • IDXHIDIV20 552   12,65   2,34%
  • IDX80 129   1,95   1,53%
  • IDXV30 137   2,69   2,00%
  • IDXQ30 153   3,46   2,32%

Industri Menara Telekomunikasi Dinilai Berpotensi Terganggu Merger EXCL dan FREN


Sabtu, 03 Februari 2024 / 19:22 WIB
Industri Menara Telekomunikasi Dinilai Berpotensi Terganggu Merger EXCL dan FREN
ILUSTRASI. Deretan menara Base Transceiver Station (BTS) terlihat berdiri diantara pemukiman penduduk di Jakarta, Selasa (27/09). Industri Menara Telekomunikasi Dinilai Berpotensi Terganggu Merger EXCL dan FREN.


Reporter: Yuliana Hema | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tahun 2024 tampaknya belum menjadi tahun yang baik bagi emiten menara telekomunikasi. Belum selesai urusan suku bunga, emiten menara harus menanti teka-teki merger antara PT Smartfren Telecom Tbk (FREN) dan PT XL Axiata Tbk (EXCL). 

Head of Research Team Mirae Asset Sekuritas Robertus Hardy menyampaikan adanya konsolidasi operator telekomunikasi akan berdampak negatif bagi industri menara telekomunikasi karena emiten akan kelihatan tenant.

"Merger operator telekomunikasi akan berdampak positif bagi operator, tetapi akan negatif bagi perusahaan menara telekomunikasi," ucap dia saat ditemui Kontan belum lama ini.

Dampak negatif ini telah terlihat dari kinerja PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG). Pasca PT Indosat Tbk (ISAT) resmi merger dengan PT Hutchison 3 Indonesia, tenancy ratio TBIG ikut terpukul. 

Baca Juga: Potensi Merger EXCL dan FREN Bakal Mengganggu Industri Menara Telekomunikasi

Sebelum adanya merger, TBIG masih menerima pendapatan sebesar Rp 1,32 triliun pada 2021. Sementara pada periode yang sama Hutchison 3 Indonesia berkontribusi sebesar Rp 916,26 miliar.

Per September 2023, Hutchison 3 Indonesia sudah tidak berkontribusi sama sekali kepada TBIG. Padahal pada periode yang sama di 2022, TBIG masih menerima Rp 7,52 miliar dari Hutchison 3 Indonesia. 

 

Sementara pendapatan dari ISAT mencapai Rp 1,43 triliun per kuartal III-2023. Nilai ini bahkan turun 15,83% secara tahunan atau Year on Year (YoY) dari Rp 1,69 triliun per September 2022. 

Robertus bilang penurunan ini disebabkan oleh jumlah tenant yang berkurang karena dari sisi operator akan melakukan efisiensi. Ini tentu berdampak pada pendapatan para emiten menara. 

Baca Juga: Meneropong Potensi Merger Smartfren (FREN) dan XL Axiata (EXCL)

Kalaupun ada relokasi, tetapi hal itu tidak serta merta dapat langsung diwujudkan. Misalnya, lokasi yang ditawarkan kurang memiliki nilai ekonomi bagi operator sehingga harus menunggu sampai potensinya besar. 

"Kalau EXCL dan FREN bergabung, tenant terbesar ada di TBIG dan TOWR ini bisa menurunkan tenancy ratio keduanya. Sedangkan ke Mitratel pengaruhnya tidak terlalu besar," tutur Robertus. 

Per September 2023, tenancy ratio alias rasio kolokasi TBIG mencapai 1,87 kali. Sementara tenancy ratio TOWR mencapai 1,1 kali. Sedangkan tenancy ratio PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL) hanya 1,5 kali.

Di sisi lain, suku bunga tinggi masih akan menghantui kinerja para emiten menara telekomunikasi. Robertus menilai para emiten berpotensi menahan ekspansinya karena anggaran belanja modal akan lebih tipis. 

Baca Juga: XL Axiata (EXCL) Sebut Rencana Merger dengan FREN Masih Terbuka

Niko Margaronis, Research Analyst BRI Danareksa Sekuritas menilai potensi penurunan suku bunga di tahun ini akan menjadi sinyal positif karena akan ada diskon pada arus kas jangka panjang bagi emiten menara telekomunikasi. 

"Ketiga perusahaan menara tersebut kini mendedikasikan arus kasnya untuk belanja modal guna mencapai pertumbuhan organik di bidang menara dan fiber backhaul," katanya. 

Diversifikasi Jadi Kunci

Untuk bisa bertahan dari persaingan di industri telekomunikasi, para emiten harus melakukan diversifikasi bisnis. Salah satu peluang yang terbuka lebar saat ini adalah fiber optik. 

Robertus menilai saat ini ada dua emiten yang sudah berada di jalur yang jelas di bisnis fiber optik, yakni MTEL dan TOWR. Namun komposisi TOWR sudah lebih besar dibandingkan Mitratel.

Per September 2023, TOWR telah mengakumulasi lebih dari 196.000 kilometer fiber optik untuk bisnis Fiber To The Tower (FTTT) dan broadband. Sementara MTEL mencapai 29.042 kilometer. 

Baca Juga: Soal Rencana Merger dengan FREN, Begini Tanggapan XL Axiata (EXCL)

"Tahun ini penentuan bagi perusahaan menara, apakah bisa mengakselerasi fiber optik untuk menggantikan pendapatan yang hilang atau hanya bisa bergantung pada mobile," kata Robertus.  

Niko mencermati saat ini para emiten menara sedang berlomba-lomba untuk mengincar posisi strategi yang lebih baik di bidang infrastruktur Information and Communication of Technology (ICT). 

BRI Danareksa Sekuritas memproyeksikan pendapatan para emiten menara akan tumbuh pada 2024. Ini sebabkan oleh meningkatnya fiber optik di Jawa dan Pulau Jawa. 

"Konsolidasi perusahaan telekomunikasi yang sedang berlangsung akan meningkatkan skala dan peluang penetrasi telekomunikasi yang lebih dalam di luar Jawa," jelas Niko. 

Baca Juga: Mitratel (MTEL) Mengakuisisi Puluhan Menara Telekomunikasi dari EXCL

BRI Danareksa Sekuritas menyematkan peringkat overweight pada sektor menara telekomunikasi dengan saham pilihan jatuh pada MTEL. Dia merekomendasikan beli MTEL dengan target harga Rp 960. 

Sementara itu, Asset Sekuritas merekomendasikan trading buy TOWR dengan target Rp 1.160. Kemudian buy MTEL dengan target Rp 720 dan rekomendasi hold untuk TBIG dengan target Rp 2.270.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×