Reporter: Ahmad Febrian, Yuliana Hema | Editor: Ahmad Febrian
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mengocok ulang susunan indeks LQ45 atau 45 saham paling likuid di Bursa Efek Indonesia (BEI). Ada empat emiten yang masuk jajaran elite saham tersebut. Yakni PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA), PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO), dan PT Mitra Pack Tbk (PTMP) dan PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL) atau Mitratel
Sebaliknya BEI menendang empat emiten. Mereka adalah PT Indika Energy Tbk (INDY), PT Surya Citra Media Tbk (SCMA), PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG), dan PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA). Hasil evaluasi mayor indeks LQ45 ini akan berlaku mulai 1 Februari 2024 sampai 31 Juli 2024.
Masuknya PTMP memang mengagetkan. Pasalnya, kapitalisasi pasar dan nilai transaksinya tak begitu spesial. Bobot terhadap indeks cuma 0,01%. Namun, investor masih bisa mencermati ketiga saham pendatang baru lain di indeks LQ45, yakni MTEL, PGEO dan MBMA. Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus mengatakan ketiga saham itu masih sangat layak untuk dicermati. "Selain memang secara sektor masih menarik, secara prospek bisnis juga cukup positif di tahun ini. Apalagi fundamentalnya tergolong baik," jelas Nico, Jumat (26/1).
Analis Phillip Sekuritas, Edo Ardiansyah menyatakan, emiten yang masuk ke LQ45 akan menyebabkan eksposur ke investor terutama fund manager yang lebih luas. “Banyak fund manager lokal terutama big fund menjadikan indeks LQ45 sebagai benchmark atau tolok ukur kinerja investasi mereka. Big fund cukup selektif dalam berinvestasi sehingga inklusi MTEL dapat mendiversifikasi komposisi pemegang saham perusahaan terutama di kalangan fund manager” kata Edo.
Menurutnya, inklusi tersebut menjadi katalis positif untuk saham MTEL. Rebalancing portofolio yang menyebabkan inflow dana masuk ke saham MTEL.
“Mengacu IDX Index Fact Sheet, ada enam produk reksadana yang langsung menjadikan LQ45 sebagai benchmark dengan total dana kelolaan hhampir Rp 1,1 triliun. Maka, dalam jangka pendek saat rebalancing, akan ada inflow tambahan ke saham MTEL. Ini baru reksadana konvensional, belum yang ETF dan kontrak pengelolaan dana (KPD) serta investor ritel yang menggunakan LQ45 sebagai tolok ukur juga” papar Edo.
Baca Juga: Pasar Penuh Tantangan, Cicil Blue Chip Saat Terdiskon
Hal ini bisa berdampak terhadap harga saham MTEL yang tergolong masih undervalue. Konsensus analis Bloomberg menetapkan target saham MTEL pada harga Rp 891. Terbaru, JP Morgan mengerek ntarget harga saham MTEL dari semula Rp 910 menjadi Rp 960 per saham.
Analis JP Morgan Ranjan Sharma mengungkapkan naiknya valuasi Mitratel akibat beberapa faktor. Pertama, fundamental bisnis yang memiliki pertumbuhan dari segi organik dan anorganik. Kedua, bisnis Mitratel mendapatkan dukungan dari industri bisnis yang sedang membutuhkan data nirkabel dan kebutuhan jaringan oleh para operator telekomunikasi. Ketiga, MTEL memiliki ruang finansial untuk mendukung pertumbuhan anorganik.
"Kami memperkirakan pertumbuhan didorong oleh kombinasi pertumbuhan menara yang disesuaikan dengan kebutuhan, meningkatnya kolokasi, dan akuisisi anorganik. Persyaratan sewa menara yang menarik oleh Miratel mampu menghasilkan kolokasi yang bertambah. Kami pertahankan peringkat beli,” ungkapnya dalam riset, Kamis (18/1).
Kinerja keuangan MTEL termasuk paling baik di antara peers group. MTEL membukukan laba tahun berjalan sebesar Rp 1,43 triliun pada sembilan bulan 2023, naik 16,6% secara year on year. Mitratel mencatatkan pendapatan senilai Rp 6,27 triliun per September 2023, meningkat 11,89% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 5,6 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News