Reporter: Yuliana Hema | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tahun 2024 tampaknya belum menjadi tahun yang baik bagi emiten menara telekomunikasi. Belum selesai urusan suku bunga, emiten menara harus menanti teka-teki merger antara PT Smartfren Telecom Tbk (FREN) dan PT XL Axiata Tbk (EXCL).
Head of Research Team Mirae Asset Sekuritas Robertus Hardy menyampaikan adanya konsolidasi operator telekomunikasi akan berdampak negatif bagi industri menara telekomunikasi karena emiten akan kelihatan tenant.
"Merger operator telekomunikasi akan berdampak positif bagi operator, tetapi akan negatif bagi perusahaan menara telekomunikasi," ucap dia saat ditemui Kontan belum lama ini.
Dampak negatif ini telah terlihat dari kinerja PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG). Pasca PT Indosat Tbk (ISAT) resmi merger dengan PT Hutchison 3 Indonesia, tenancy ratio TBIG ikut terpukul.
Baca Juga: Mitratel (MTEL) Jadi Penghuni Baru Indeks LQ 45, Ini Efek ke Sahamnya
Sebelum adanya merger, TBIG masih menerima pendapatan sebesar Rp 1,32 triliun pada 2021. Sementara pada periode yang sama Hutchison 3 Indonesia berkontribusi sebesar Rp 916,26 miliar.
Per September 2023, Hutchison 3 Indonesia sudah tidak berkontribusi sama sekali kepada TBIG. Padahal pada periode yang sama di 2022, TBIG masih menerima Rp 7,52 miliar dari Hutchison 3 Indonesia.
Sementara pendapatan dari ISAT mencapai Rp 1,43 triliun per kuartal III-2023. Nilai ini bahkan turun 15,83% secara tahunan atau Year on Year (YoY) dari Rp 1,69 triliun per September 2022.
Robertus bilang penurunan ini disebabkan oleh jumlah tenant yang berkurang karena dari sisi operator akan melakukan efisiensi. Ini tentu berdampak pada pendapatan para emiten menara.
Baca Juga: Rencana Rights Issue Smartfren (FREN) Bakal Menjadi Katalis Positif
Kalaupun ada relokasi, tetapi hal itu tidak serta merta dapat langsung diwujudkan. Misalnya, lokasi yang ditawarkan kurang memiliki nilai ekonomi bagi operator sehingga harus menunggu sampai potensinya besar.
"Kalau EXCL dan FREN bergabung, tenant terbesar ada di TBIG dan TOWR ini bisa menurunkan tenancy ratio keduanya. Sedangkan ke Mitratel pengaruhnya tidak terlalu besar," tutur Robertus.
Per September 2023, tenancy ratio alias rasio kolokasi TBIG mencapai 1,87 kali. Sementara tenancy ratio TOWR mencapai 1,1 kali. Sedangkan tenancy ratio PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL) hanya 1,5 kali.
Di sisi lain, suku bunga tinggi masih akan menghantui kinerja para emiten menara telekomunikasi. Robertus menilai para emiten berpotensi menahan ekspansinya karena anggaran belanja modal akan lebih tipis.
Baca Juga: Potensi Merger XL Axiata (EXCL) dan Smartfren (FREN) Jadi Angin Segar Industri Telko
Niko Margaronis, Research Analyst BRI Danareksa Sekuritas menilai potensi penurunan suku bunga di tahun ini akan menjadi sinyal positif karena akan ada diskon pada arus kas jangka panjang bagi emiten menara telekomunikasi.
"Ketiga perusahaan menara tersebut kini mendedikasikan arus kasnya untuk belanja modal guna mencapai pertumbuhan organik di bidang menara dan fiber backhaul," katanya.