Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Noverius Laoli
Dampak langsung dari divestasi aset itu adalah untuk menambah kas atau likuiditas yang bisa digunakan untuk pendanaan investasi lainnya, serta pengembalian ke pemegang saham dalam bentuk dividen.
”Jika bisnis yang dilepas punya prospek baik tentu tidak akan dilepas, kecuali pertimbangan kebutuhan dana yang sangat penting,” paparnya.
Alfred melihat, kinerja JSMR dan ADRO masih cukup baik jika dilihat dari performa keuangan mereka. Realisasi laba kedua emiten itu dinilai juga masih baik hingga kuartal III 2024, bahkan untuk prospek di akhir tahun 2024 dan tahun 2025.
“Hanya performa saham mereka masih terhambat oleh sentimen pasar. Pada harga saat ini, untuk dua saham tersebut masih relatif murah dan menarik,” ungkapnya.
Baca Juga: Ekspansi Melalui Anak Usaha, Cek Rekomendasi Saham DOID, INDY, DSSA hingga LABA
Founder Stocknow.id, Hendra Wardana melihat, fenomena divestasi anak usaha yang dilakukan oleh sejumlah emiten besar, seperti PTPP, JSMR, ADRO, dan UNVR, mencerminkan langkah strategis untuk memperkuat fundamental perusahaan sekaligus merespons dinamika bisnis yang terus berkembang.
Divestasi ini sering kali bukan pertanda buruknya kinerja bisnis utama, tetapi justru strategi untuk mengoptimalkan modal, meningkatkan efisiensi operasional, atau mendiversifikasi fokus bisnis.
Misalnya, langkah PTPP melepas anak usaha dengan nilai Rp 650 miliar adalah bagian dari upaya mengejar target divestasi Rp 1 triliun demi memperkuat arus kas dan mendukung proyek infrastruktur baru.
Begitu pula JSMR, yang melepas kepemilikan Tol Trans Jawa kepada konsorsium META, itu bertujuan untuk memperoleh dana segar guna mempercepat pembangunan ruas tol strategis lainnya.
Baca Juga: Emiten Genjot Laba Lewat Divestasi Anak Usaha
Sementara, ADRO yang melakukan divestasi AADI melalui IPO tidak hanya membuka nilai tambah baru untuk perusahaan, tetapi juga menciptakan entitas independen yang lebih fokus dalam pengelolaan bisnis batu bara.
Sementara, divestasi Magnum oleh UNVR senilai Rp 7 triliun adalah langkah besar untuk memperkuat modal kerja dan efisiensi di tengah tekanan pasar.
“Sentimen positif ini diharapkan mampu menjaga kinerja keuangan emiten-emiten tersebut. Terutama di akhir 2024 hingga 2025, di mana fokus pada efisiensi dan optimalisasi bisnis akan menjadi pendorong utama,” ujarnya kepada Kontan, Kamis (5/12).