Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Harga komoditas energi seperti minyak mentah dan batubara masih diliputi prospek permintaan yang lesu. Risiko pasokan lebih lanjut di tengah ketidakpastian global berpotensi menekan harga.
Mengutip Tradingeconomics, Minggu (15/12) pukul 19.58 WIB, harga minyak mentah WTI di level US$ 71 per barel yang menguat lebih dari 6% dalam sepekan. Sedangkan, harga batubara di posisi US$133 per ton yang menguat 0,30% sepekan, sedikit pulih dari tekanan.
Analis Doo Financial Futures Lukman Leong mengamati, harga minyak mentah naik sepekan ini sejalan dengan berita di Suriah terkait keruntuhan rezim Bashar al-Assad. Jatuhnya rezim tersebut dikhawatirkan bisa memicu ketidakstabilan di timur tengah (Timteng).
Sanksi negara barat terhadap Rusia dan Iran juga berpengaruh pada kenaikan harga minyak. Teranyar, Uni Eropa memberlakukan sanksi baru terhadap armada kapal tanker Rusia, dan Amerika Serikat (AS) sedang mempertimbangkan tindakan serupa.
Namun, harga batubara sendiri mulai terkoreksi dari kenaikan tinggi yang dipicu oleh kekhawatiran gangguan produksi dari La Nina di Australia yang ternyata keliatannya tidak terjadi. Produksi di India dan China juga tinggi dan cukup untuk memasok kebutuhan domestik.
Baca Juga: Program MBG Hingga Kenaikan Harga DoC dan LB Dorong Prospek Emiten Unggas di 2025
Menurut Lukman, faktor Trump masih menjadi yang utama bagi prospek harga komoditas energi seperti minyak mentah dan batubara. AS juga diperkirakan akan meningkatkan terus produksi minyak dan gas (migas), sehingga akan semakin meningkatkan pasokan global.
Sementara itu, China diperkirakan akan mencapai peak oil yakni produksi minyak bumi mencapai puncaknya, kemudian menurun secara permanen di tahun depan. Dengan asumsi tersebut, maka diperkirakan permintaan minyak mentah mulai menurun tahun 2026.
Di sisi lain, perang geopolitik yang masih berlanjut di Ukraina, timteng, China-Taiwan berpotensi mendukung kekhawatiran pasokan. Efek tarif Trump mungkin juga memicu perang dagang dan mata uang, sehingga dolar akan semakin tinggi yang membuat komoditas dalam dolar akan lebih rendah.
‘’Secara keseluruhan, prospek komoditas energi masih suram oleh elektrifikasi kendaraan dan dekarbonisasi pembangkit listrik yang beralih ke enegi terbarukan,’’ imbuh Lukman kepada Kontan.co.id, Minggu (15/12).
Analis Komoditas dan Founder Traderindo.com, Wahyu Tribowo Laksono mengatakan, harga minyak didukung beberapa katalis positif di antaranya isu geopolitik Suriah, serta ancaman sanksi baru AS terhadap armada bayangan Rusia.
Sanksi G7 terhadap armada bayangan Rusia, kekhawatiran China akan membeli minyak mentah Iran dengan ditambah tantangan Trump yang segera menjabat, terkait sanksi nuklir terhadap Teheran menambahkan premi risiko geopolitik minyak, sehingga mengancam pasokan.
Namun, sebenarnya permintaan minyak masih kurang meyakinkan. Hal itu karena pertumbuhan ekonomi masih terancam, sehingga berharap Bank Sentral AS (The Fed) dan Bank Sentral China (PBoC) mendukung ekonomi via pelonggaran moneter, serta pemangkasan produksi dari OPEC.
Baca Juga: Tarif PPN 12% Memperberat Beban Perusahaan Tambang
Wahyu menyebutkan, faktor fundamental masih belum mendukung posisi minyak. Fokus Trump masih pada lebih banyak pengeboran telah menyebabkan meningkatnya ekspektasi produksi minyak yang lebih tinggi oleh AS dalam beberapa bulan mendatang. Pada gilirannya, aktivitas ini berpotensi menyebabkan harga minyak melemah.
Stimulus dari China juga dinilai kurang. Paket stimulus senilai 10 triliun yuan dirilis oleh China mengecewakan, dengan para analis khawatir bahwa paket tersebut mungkin tidak cukup untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Ini pada gilirannya telah meningkatkan kekhawatiran tentang penurunan permintaan minyak dari China dalam waktu dekat.
Selain itu, OPEC+ juga telah memperingatkan bahwa negara-negara non-OPEC+ kemungkinan akan meningkatkan produksi minyak mereka pada tahun 2025, yang juga dapat menyebabkan kelebihan pasokan lebih lanjut.
Menurut perkiraan OPEC+, negara-negara ini diperkirakan akan menaikkan produksi sebesar 1,3 juta barel per hari. Badan Informasi Energi AS (IEA) juga memperkirakan negara-negara non-OPEC+ akan menaikkan produksi minyak mereka sebesar 1,4 juta barel per hari tahun depan.
‘’Jadi walaupun sentimen Trump pro energi fosil dan bisa memicu kenaikan harga minyak, namun secara fundamental memang minyak masih belum memiliki kekuatan untuk bullish di 2025,’’ ungkap Wahyu kepada Kontan.co.id, Minggu (15/12).
Sementara itu, Wahyu memandang bahwa fundamental harga batubara masih bagus. Walaupun AS dan Eropa seperti Inggris sudah menutup pembangkit listrik batubara terakhirnya, namun China dan India sebagai konsumen terbesar masih sangat butuh batubara.
Harga Batubara Australia juga melonjak karena permintaan yang lebih kuat dari beberapa negara Asia, termasuk Thailand, Filipina, dan Vietnam, yang mengalami rekor gelombang panas yang mendorong konsumsi energi meningkat. Peningkatan permintaan juga datang dari Jepang.
Secara keseluruhan, memang pelemahan bisa potensial pada 2025 karena pembangkit listrik terbarukan memenuhi permintaan listrik yang meningkat. Namun, jika melihat fundamental global khususnya moneter Fed, maka bisa memicu terjadinya pelemahan dolar AS dan denominator atau minyak yang merupakan lawan dolar AS juga bisa naik.
‘’Dengan ditambah kebijakan pemangkasan Arab Saudi dan OPEC+, maka sentimen energi bisa ikut bertahan dari pelemahan tajam khususnya minyak dan batubara,’’ jelas Wahyu.
Baca Juga: Kementerian ESDM Berikan Sinyal Program Gas Murah Bakal Berlanjut Tahun Depan
Dari sisi permintaan, dalam laporan pasar minyak bulanannya yang dirilis Desember ini, OPEC memproyeksikan pertumbuhan permintaan minyak global sebesar 1,61 juta barel per hari (bph) untuk 2024, turun sekitar 210.000 bph dari pertumbuhan 1,82 juta bph yang diperkirakan pada bulan lalu.
OPEC turut memproyeksikan pertumbuhan permintaan minyak global untuk 2025 sebesar 1,45 juta bph, turun 90.000 bph dari perkiraan bulan lalu sebesar 1,54 juta bph.
Wahyu memperkirakan, prospek harga batubara masih bullish yang berpotensi di kisaran US$ 140 per ton – US$ 150 per ton di 2025. Sedangkan, harga minyak mentah dipandang masih lemah kemungkinan di kisaran US$ 60 per barel – US$ 80 per barel dengan titik tengah di US$ 70 per barel.
Lukman memproyeksi harga minyak mentah WTI idealnya akan berada di US$ 60 per barel tahun depan, dan tidak mengejutkan bila turun ke US$ 50 per barel, jika OPEC tidak memangkas produksi. Sedangkan, batubara diperkirakan berada di rentang harga US$ 100 – US$ 120 per ton.
Selanjutnya: KalbeNutritionals Gaungkan Hidup Sehat &UMKM di KulineRun APJI by NutriveBenecol2024
Menarik Dibaca: Daerah Ini Alami Hujan Petir, Simak Prakiraan Cuaca Besok (16/12) di Jawa Barat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News