Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Emiten properti kawasan industri belum mampu mencatatkan kinerja memukau sepanjang periode Januari–September 2025.
Tekanan utama datang dari penurunan investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) serta ketidakpastian ekonomi global.
PT Surya Semesta Internusa Tbk (SSIA) mencatat pendapatan sebesar Rp 3,31 triliun hingga kuartal III-2025, turun 14,15% secara tahunan (year on year/YoY).
Laba bersih yang dapat diatribusikan kepada entitas induk juga merosot tajam 97,17% YoY menjadi Rp 6,46 miliar.
Baca Juga: Emiten Properti Kawasan Industri Masih Tertekan, Cermati Saham Rekomendasi Analis
Manajemen SSIA menjelaskan, penurunan kinerja tersebut disebabkan oleh renovasi besar-besaran di Paradisus by Meliá Bali (sebelumnya Meliá Bali Hotel).
“Investasi strategis ini ditujukan untuk meningkatkan nilai jangka panjang dan menghadirkan pengalaman baru bagi para tamu,” ujar Erlin Budiman, VP of Investor Relations & Corporate Communications SSIA dalam keterbukaan informasi, Senin (3/11).
PT Puradelta Lestari Tbk (DMAS) mengantongi pendapatan usaha sebesar Rp 780 miliar pada kuartal III-2025, dengan laba bersih Rp 525 miliar. Marjin laba bersih perseroan tercatat tinggi di level 67%.
Sementara itu, PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA) mencatat pendapatan konsolidasi Rp 3,67 triliun, naik 8% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 3,39 triliun.
Namun, laba bersih KIJA turun menjadi Rp 634,6 miliar dari Rp 769,7 miliar per September 2024.
Baca Juga: Melongok Prospek Emiten Tambang & Energi Grup Bakrie Selepas Kuartal III-2025
Prapenjualan Lesu
Dari sisi kinerja prapenjualan alias marketing sales, para emiten juga mencatatkan hasil yang bervariasi.
SSIA mencatat marketing sales seluas 18 hektare (ha) dari lahan Suryacipta Karawang dan Subang Smartpolitan, setara Rp 352,6 miliar.
Angka ini anjlok 87,3% YoY dari 141,8 ha atau senilai Rp 1,74 triliun per September 2024.
“Penurunan tersebut terutama disebabkan oleh penjualan lahan dalam jumlah besar kepada BYD di Subang Smartpolitan tahun lalu yang bersifat one-off,” jelas Erlin.
Baca Juga: Danantara Dikabarkan Dapat Tawaran Golden Share di Merger, Ini Rekomendasi Saham GOTO
DMAS meraih marketing sales sebesar Rp 626,4 miliar hingga kuartal III-2025, baru mencapai 35% dari target tahun ini sebesar Rp 1,81 triliun.
Direktur & Sekretaris Perusahaan DMAS Tondy Suwanto menyebut, ketidakpastian ekonomi global, dinamika geopolitik, serta kebijakan tarif resiprokal internasional turut menurunkan minat investor asing.
“Adanya kejadian luar biasa di Jakarta serta reshuffle kabinet di kuartal ketiga juga menyebabkan sejumlah transaksi investasi tertunda,” ungkap Tondy dalam keterangan resminya, Jumat (24/10).
Sementara itu, KIJA justru mencatatkan kinerja positif dengan realisasi marketing sales sebesar Rp 2,92 triliun hingga September 2025, naik 22% YoY. Pencapaian tersebut setara 83% dari target tahun 2025 yang dipatok Rp 3,5 triliun.
Baca Juga: IHSG Ditutup Memerah, Cek Rekomendasi Saham Teknikal untuk Jumat (14/11)
Tekanan FDI Masih Bayangi
Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta menilai, lemahnya kinerja emiten properti kawasan industri tak lepas dari penurunan FDI nasional.
Berdasarkan data, realisasi FDI pada kuartal III-2025 sebesar Rp 212 triliun, turun 8,87% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (Rp 232,65 triliun).
Penurunan ini menjadi yang paling tajam sejak kuartal I-2020 saat pandemi Covid-19.
“Jika FDI kembali turun pada kuartal IV, kinerja emiten properti kawasan industri kemungkinan masih tertekan hingga akhir tahun,” ujar Nafan kepada Kontan.co.id Kamis (13/11/2025).
Baca Juga: Simak Rekomendasi Saham untuk Perdagangan Jumat (14/11)
Meski begitu, ia melihat peluang pemulihan di awal tahun 2026. Setelah penurunan tajam ke titik terendah (lower base), FDI berpotensi meningkat secara bertahap ke level yang lebih tinggi (higher base).
“Tahun depan bisa lebih optimistis karena perbaikan kondisi makro dan peningkatan ekspor dari sektor manufaktur dapat mendorong FDI masuk kembali,” ujarnya.
Menurut Nafan, penurunan biaya pinjaman (reduction of borrowing cost effect) juga bisa membuat industri manufaktur lebih ekspansif dan meningkatkan permintaan lahan industri.
Namun, ia menambahkan, rekomendasi saham untuk emiten kawasan industri masih menunggu konfirmasi tren pemulihan FDI dan stabilitas ekonomi global.
Selanjutnya: Budi Gadai Gunakan Sumber Dana Internal dan Pinjaman Bank untuk Pembiayaan Gadai
Menarik Dibaca: Promo The Body Shop Diskon s/d 70% Segera Berakhir, Berlaku sampai 15 November 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













