Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja aset pendapatan berulang alias recurring income milik para emiten properti masih stagnan lantaran masih minim sentimen positif.
Sejumlah emiten properti yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pun tercatat masih memiliki fokus bisnis pada penjualan aset hunian.
Tengok saja, PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) mencatatkan pendapatan neto sebesar Rp 7,54 triliun per akhir September 2024. Segmen properti investasi hanya menyumbang Rp 1,59 triliun pada periode tersebut.
PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) mencatatkan pendapatan usaha sebesar Rp 10,07 triliun per kuartal III 2024. Segmen sewa menjadi kontributor kedua dengan jumlah pendapatan sebesar Rp 715,83 miliar alias 7,11% terhadap total pendapatan usaha secara konsolidasian pada periode itu.
PT Metropolitan Land Tbk (MTLA) juga masih mengunggulkan aset hunian sebagai kontributor utama ke pendapatan usaha di tahun 2025.
Baca Juga: Atur Ulang Strategi Investasi untuk Tahun 2025, Volatilitas Pasar Masih Menghantui
Direktur Metropolitan Land Olivia Surodjo mengatakan, perolehan pendapatan berulang MTLA per kuartal III 2024 sebesar Rp 401 miliar, naik 10,7% year on year (YoY). Raihan tersebut berkontribusi sekitar 32% terhadap pendapatan usaha MTLA di periode tersebut.
Di tahun 2025, angka tersebut kemungkinan tak akan berubah banyak. Yaitu, penjualan aset hunian tetap akan berkontribusi sekitar 70% terhadap pendapatan keseluruhan.
“Sisanya, berasal dari aset pendapatan berulang, seperti hotel, mal, dan lainnya,” ujarnya kepada Kontan, Senin (30/12).
Olivia menegaskan, MTLA juga melakukan beberapa strategi untuk menarik daya beli di sejumlah aset pendapatan berulang.
“Seperti, memperluas kerjasama dengan seluruh pihak dengan mengadakan acara menarik dan membuat loyalty program yang dapat dinikmati langsung oleh konsumen,” ungkapnya.
Di sisi lain, PT Pakuwon Jati Tbk (PWON) justru mencatatkan kontribusi lebih dari aset pendapatan berulang dibandingkan aset hunian.
PWON mengantongi pendapatan usaha Rp 4,78 triliun per September 2024. Sebesar Rp 2,87 triliun dari total pendapatan tersebut berasal dari segmen pengusahaan pusat perkantoran, perbelanjaan, dan apartemen servis.
Baca Juga: Cek Pergerakan Top 10 Big Cap di Tahun 2024: BREN Melejit, Laju Saham Bank Melambat
Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta melihat, aset recurring income membantu emiten properti untuk mengamankan pendapatan dari aktivitas ekonomi masyarakat kelas menengah bawah.
Sebab, pembelian aset hunian yang mengerek raihan pendapatan prapenjualan alias marketing sales biasanya lebih didorong oleh masyarakat kelar menegah atas.
“Penurunan daya beli masyarakat kelas menengah saat ini sudah mulai terasa dan kemungkinan akan menurunkan pendapatan terhadap aset recurring income,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (31/12/2024).
Di sisi lain, era suku bunga bank sentral yang tinggi juga masih akan menyebabkan peningkatan bunga kredit. Alhasil, pertumbuhan permintaan kredit pemilikan untuk aset properti juga akan terganggu di tahun ini.
Di tahun 2025, emiten properti pun dinilai belum bisa mengandalkan aset recurring incomen untuk menopang kinerja. Mereka pun masih akan sangat mengandalkan pertumbuhan raihan marketing sales untuk aset hunian dalam mengerek kinerja di sepanjang tahun ini.
“Daya beli kelas menengah atas ini tampaknya masih kuat dan bisa menjadi penopang marketing sales di tahun ini,” tuturnya.
Baca Juga: Masih Diselimuti Awan Mendung, Simak Prospek Kinerja Emiten BUMN Karya di Tahun 2025
Nafan pun merekomendasikan akumulasi beli untuk BSDE dengan target harga Rp 1.135 per saham.
Head Customer Literation and Education Kiwoom Sekuritas, Oktavianus Audi melihat, kebijakan moneter diperkirakan akan lebih lambat di tahun 2025, khususnya pasca hasil rapat Federal Open Market Committee (FOMC) periode Desember 2024 keluar.
Hal tersebut akan berdampak negatif untuk emiten properti yang cenderung sensitif terhadap suku bunga. Sebab, tingginya suku bunga akan menekan pertumbuhan konsumsi dan daya beli, khususnya kelas menengah yang masih menjadi kelas mayoritas di dalam negeri.
Beberapa pemain properti besar juga masih cenderung didominasi oleh aset pengembangan properti dibandingkan aset recurring income.
Lihat saja, SMRA mengatongi pendapatan dari aset hunian sebesar Rp 5,2 triliun atau 69% dari total pendapatan usaha per kuartal III 2024.
BSDE mencatatkan kontribusi aset hunian sebesar Rp 8,75 triliun atau 87% dari total pendapatan usaha. PT Ciputra Development Tbk (CTRA) mencatatkan kontribusi aset hunian mencapai Rp 5,4 triliun atau 76% terhadap total pendapatan.
Baca Juga: IHSG Turun 3,49% Ytd, Ini Sektor dengan Kinerja Terbaik dan Terburuk di 2024
“Sementara, PWON mencatatkan pertumbuhan pendapatan dari aset recurring income sebesar 11,58% secara tahunan year on year (yoy) per kuartal III 2024,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (31/12/2024).
Audi berpandangan, pendapatan dari aset hunian masih akan menjadi mesin penggerak terbesar untuk pendapatan para emiten jika dibandingkan dengan aset recurring income. Setidaknya ada tiga sentimen positif utama untuk aset hunian emiten properti di tahun 2025.
Pertama, insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Ditanggung Pemerintah (DTP) juga masih berlanjut hingga tahun 2025. Hal itu pun bisa menjadi pendorong permintaan properti.
Kedua, relaksasi kebijakan suku bunga acuan yang berpotensi dipangkas sebesar 50 basis poin (bps) di tahun 2025.
“Terakhir, dengan backlog hunian nasional yang lebih dari 9 juta unit, maka peluang pasar properti tetap besar terlebih dengan dukungan insentif dari pemerintah,” ungkapnya.
Audi pun menaruh pandangan netral untuk sektor properti di tahun 2025. Investor pun direkomendasikan untuk beli saham PWON, CTRA, dan SMRA dengan target harga masing-masing Rp 570 per saham, Rp 1.435 per saham, dan Rp 640 per saham.
Selanjutnya: Menhub Dudy Tinjau Kelancaran Lalu Lintas Penyeberangan Wisatawan di Pelabuhan Sanur
Menarik Dibaca: Hujan Hanya Turun di Sini, Ini Prediksi Cuaca Besok (2/1) di Jawa Barat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News