Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menjelang pergantian tahun, gejolak yang terjadi di pasar saham masih cukup tinggi. Kondisi tersebut membuat para investor harus berhati-hati dalam mengatur portofolio investasi di tahun 2025.
Kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di sepanjang tahun 2024 parkir di zona merah. Pada Senin (30/12), IHSG ditutup di level 7.079,90 hingga akhir perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI) di tahun 2024, menguat 0,62% atau naik 43,33 poin.
Namun, IHSG terkoreksi 2,65% sepanjang tahun 2024.
Aliran dana asing tercatat keluar dari bursa sebesar Rp 28,72 triliun di pasar reguler sejak awal tahun 2024. Sebaliknya, terjadi net buy asing di seluruh pasar sebesar Rp 15,98 triliun sepanjang tahun 2024.
Sejumlah sektor pun tercatat berkinerja positif di sepanjang tahun 2024. Sektor energi melesat paling tinggi, dengan kinerja IDX Energi naik 28,01%.
Sektor kedua tertinggi kinerjanya adalah sektor properti & real estate yang naik 5,97%. Ketiga, ada sektor kesehatan yang naik 5,84% di sepanjang 2024.
Di sisi lain, sektor transportasi dan logistik berkinerja paling buruk,setelah anjlok 18,78% secara tahunan. Disusul, sektor teknologi yang turun 9,87% dan sektor industri yang melemah 5,32% sepanjang 2024.
Pengamat Pasar Modal & Direktur Avere Investama, Teguh Hidayat melihat, pergerakan IHSG yang turun di sepanjang tahun 2024 sejalan dengan kurang performanya hampir seluruh emiten di BEI.
Baca Juga: Cek Pergerakan Top 10 Big Cap di Tahun 2024: BREN Melejit, Laju Saham Bank Melambat
Kenaikan indeks sektor energi, properti, dan kesehatan secara tahunan disebabkan oleh kinerja beberapa saham saja.
Misalnya, dari sektor energi, kenaikannya salah satunya didorong kinerja saham PT Petrosea Tbk (PTRO) dan melantainya saham anak usaha PT Alamtri Resources Indonesia (ADRO), PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI).
Dari sektor properti, ditopang kenaikan saham PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk (PANI) yang sebesar 226,53% di tahun 2024.
“Saham PANI kapitalisasi pasarnya besar, Rp 270,14 triliun. Jadi, kenaikannya secara signifikan memengaruhi kinerja indeks properti secara keseluruhan,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (24/12).
Sementara, kinerja sektor keuangan sejalan dengan kinerja emiten perbankan yang juga tengah terkoreksi di sepanjang tahun 2024.
Tengok saja, saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) yang amblas 28,73%, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) turun 19,07%, dan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) turun 5,79% di sepanjang tahun 2024.
Dari big four perbankan, hanya saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) yang tercatat naik 2,93% di tahun 2024.
“Semua emiten dari seluruh sektor juga tengah turun, kecuali beberapa saham saja yang anomali sendiri. Jadi, tidak bisa disimpulkan kinerjanya bagus atau tidak dengan melihat sektornya secara keseluruhan,” tuturnya.
Turunnya kinerja sektor perbankan bukan karena kinerja masing-masing emiten bank lemah. Sebab, pendapatan laba bersih dan pendapatan BBNI, BBCA, dan BMRI tercatat masih naik per kuartal III 2024.
Hanya BBRI yang punya sentimen buruk dari kinerja fundamental lantaran meningkatnya non performing loan (NPL) dari kredit UMKM. Hal itu pun disertai masifnya aksi jual investor asing terhadap saham emiten itu.
Suku bunga Bank Indonesia (BI) yang tinggi di tahun 2024 membuat emiten perbankan sulit menaikkan kreditnya. Emiten properti dan otomotif juga tertekan lantaran suku bunga kredit kepemilikan rumah dan kendaraan ikut tinggi.
Sementara, emiten konsumer kinerjanya tertekan karena daya beli masyarakat masih lemah.
Baca Juga: Begini Rapor BEI Sepanjang Tahun 2024, IHSG Ditutup di Level 7.079,9
“Dari sektor konsumer, hanya emiten poultry saya yang kinerjanya bagus di tahun ini. Ini karena harga jagung untuk pakan ternak tengah turun, jadi ada penurunan biaya operasional,” paparnya.
Di tahun 2025, tantangan utamanya berasal dari kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) ke 12% di awal tahun 2025. Kebijakan itu berpotensi semakin menekan daya beli masyarakat yang sudah cukup tertekan.
Hanya sektor perbankan yang dinilai Teguh masih tahan banting di tahun 2025. Sebab, meskipun PPN naik ke 12%, masyarakat masih tetap melakukan transaksi jual beli untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sektor properti juga masih akan tertekan lantaran masih menunggu penurunan suku bunga BI. Sementara, saham emiten sektor poultry sudah naik signifikan, sehingga sudah terlambat bagi investor jika ingin mengoleksi sahamnya sekarang.
Di sisi lain, Premi Credit Default Swap (CDS) Indonesia 5 tahun per 27 Desember 2024 tercatat tinggi di level 77,19 basis poin (bps). Teguh melihat, hal ini bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan.
“Meskipun, memang, ada beberapa emiten yang bakal terdampak negatif. Banyak emiten yang ekspansi bisnisnya memakai utang, termasuk emiten properti,” ungkapnya.
Dengan sejumlah kondisi di atas, ditambah dengan rencana The Fed yang mengurangi penurunan suku bunga menjadi hanya dua kali saja di tahun 2025, IHSG masih akan diselimuti sentimen negatif.
IHSG pun diproyeksikan bakal ada di level 7.500 di akhir tahun 2025 dengan sektor unggulan masih sektor perbankan.
“Bisa naik lebih tinggi lagi, tetapi harus ada sentimen yang signifikan, termasuk penurunan suku bunga bank sentral yang belum tentu kapan dan akan sampai ke level berapa di tahun depan,” paparnya.
Teguh pun merekomendasikan beli untuk BBRI, BMRI, BBNI, dan PT Astra Internasional Tbk (ASII) dengan target harga masing-masing Rp 5.500 - Rp 6.000 per saham, Rp 7.000 per saham, Rp 6.000 per saham, dan Rp 6.000 per saham.