Sumber: KONTAN | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Rupiah makin tak bertenaga di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Hingga pukul 19.00 WIB kemarin, rupiah turun lagi 1,07% ke posisi Rp 11.250 per dolar AS.
Tenaga rupiah juga makin lemah. Pekan lalu, rupiah hilir mudik Rp 11.000-Rp 11.200 per dolar AS. Kini, rupiah bergerak antara Rp 11.205-Rp 11.213 per dolar AS.
Ada tiga penyebab utama rupiah lesu darah. Pertama, dolar Amerika sedang kuat terhadap mata uang lain. Ini terjadi akibat dolar tersedot ke Amerika untuk membiayai program pemulihan industri bank serta stimulus ekonomi.
Dolar di pasar jadi langka, sehingga menekan hampir seluruh mata uang negara lain. "Cuma yen yang menguat karena ekonomi Jepang masih lebih baik dari Amerika," ucap Direktur Tresuri Bank Mega J. B. Kendarto, kemarin (22/1).
Faktor kedua, pasar mulai ragu terhadap kekuatan ekonomi negara berkembang (emerging market), termasuk Indonesia. Asing jadi mengerem arus dana ke Indonesia.
Ini tampak pada posisi dana asing di Surat Utang Negara (SUN). Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang per 21 Januari 2009 menunjukkan kepemilikan asing di SUN Rp 86,49 triliun. Padahal, per Desember 2008, nilainya Rp 87,61 triliun. "Lelang SUN tidak menaikkan suplai dolar," kata Direktur Currency Management Group Farial Anwar.
Faktor ketiga, kepercayaan terhadap bank di Indonesia turun akibat kerugian transaksi derivatif. Bank Indonesia (BI) pernah bilang, potensi kerugian derivatif US$ 3 miliar. "Ternyata perbankan Indonesia tidak sesolid yang dibayangkan," kata Tony Prastyantono, Ekonom Bank BNI.
Kalkulasi Tony, rupiah selama tahun ini bergerak antara Rp 10.000 - Rp 11.000 per dolar AS. Syaratnya, cadangan devisa bertambah US$ 5 miliar lagi, menjadi sekitar US$ 57 miliar. "BI lebih mudah intervensi ke pasar jika ada tambahan ini," kata Tony.
Perkiraan Kendarto, rupiah bergerak antara Rp 10.900-Rp 11.300 per dolar AS. Sementara Farial, meramal kurs rupiah masih dalam rentang Rp 11.000-Rp 11.250 per dolar AS. "Kalau BI tak mengawal, bisa-bisa rupiah Rp 12.000 per dolar AS," kata Farial.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News