Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Noverius Laoli
Sukarno melihat, kenaikan PPN 12% di awal tahun 2025 akan memberikan dampak yang kompleks terhadap kinerja emiten konstruksi.
Emiten konstruksi yang akan dirugikan adalah mereka yang mengandalkan proyek-proyek swasta dan sangat sensitif terhadap perubahan harga.
Sedangkan, emiten yang akan diuntungkan adalah mereka yang memiliki proyek-proyek jangka panjang, dengan kontrak yang sudah fixed price atau memiliki kemampuan untuk menaikkan harga jual.
“Emiten BUMN Karya cenderung akan lebih terdampak negatif, karena skala proyeknya jauh lebih besar dan ada ketergantungan pada proyek pemerintah,” ungkapnya.
Ke depan, sentimen negatif untuk emiten konstruksi secara keseluruhan berasal dari kenaikan biaya produksi, persaingan yang ketat, dan ketidakpastian ekonomi global. Sedangkan, sentimen positif bisa datang dari proyek-proyek strategis pemerintah dan pemulihan ekonomi.
Dilihat dari penguatan pergerakan saham sejak awal tahun alias year to date (YTD), PT Aesler Grup Internasional Tbk (RONY) masih jadi jawara. Kinerja saham RONY naik 182,09% YTD.
“Industri konstruksi per hari ini masih minim sentimen positif, jadi belum bisa memberikan penguatan untuk mayoritas saham konstruksi,” paparnya.
Baca Juga: Sejumlah Emiten BUMN Restrukturisasi Utang, Simak Rekomendasi Sahamnya
Sukarno melihat, kinerja saham emiten konstruksi juga masih bervariasi dan ada yang tidak mencerminkan kinerja dari masing-masing emitennya. Alhasil, Sukarno masih merekomendasikan wait and see untuk emiten konstruksi.
Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta melihat, kinerja emiten BUMN Karya cenderung lebih baik dibandingkan emiten konstruksi swasta.
Alasannya, karena emiten BUMN Karya mampu mendapatkan perolehan nilai kontrak baru yang lebih tinggi lantaran terlibat langsung dalam pembangunan proyek strategis nasional (PSN).
“Kenaikan PPN 12% juga akan memberatkan, tetapi jika emiten bisa meningkatkan perolehan kontrak baru, hal itu bisa tertutupi,” ujarnya kepada Kontan, Minggu (8/12).
Terkait pergerakan saham, Nafan juga melihat kinerja saham emiten BUMN Karya lebih baik dibandingkan emiten swasta. “Selain WSKT, saham emiten BUMN Karya lebih likuid dibandingkan emiten swasta,” tuturnya.
Baca Juga: PTPP Ungkap Progres Merger dengan WIKA Masih Dalam Proses Kajian
Namun, hal itu bukan berarti kinerja emiten BUMN Karya sudah tak menghadapi tantangan. Emiten konstruksi pelat merah masih dibayangi sentimen buruk dari arus kas negatif.
“Tantangan itu harus segera dimitigasikan dengan menerapkan tata kelola perusahaan alias good corporate governance yang baik,” ungkapnya.
Nafan pun merekomendasikan accumulate untuk ADHI, PTPP, dan WIKA dengan target harga masing-masing Rp 276 per saham, Rp 418 per saham, dan Rp 358 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News