Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja emiten konstruksi, baik BUMN Karya maupun swasta, masih berat. Sayangnya, sektor ini masih mendapat tantangan tambahan dengan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12% pada 2025.
Seperti diketahui, pemerintah memutuskan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai awal 2025. Namun, tarif PPN 12% itu berlaku selektif hanya untuk barang mewah.
Dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, barang dan jasa terkait konstruksi yang kemungkinan tak akan dipungut PPN 12% adalah rumah/rusun sederhana, rumah/rusun sangat sederhana, jasa konstruksi untuk bencana nasional, serta jasa konstruksi untuk rumah ibadah.
Baca Juga: Harga Baja Masih Tertekan, Simak Prospek dan Rekomendasi Sahamnya
Alhasil, PPN 12% tersebut kemungkinan besar akan memengaruhi kinerja para emiten konstruksi. Sebab, bahan baku dan jasa konstruksi kemungkinan akan ikut naik.
Di sisi lain, pemerintah juga telah mengetuk pagu anggaran Kementerian Pekerjaan Umum (PU), setelah dipisahkan dengan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), sebesar Rp 110,95 triliun untuk tahun 2025.
Sekretaris Perusahaan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA), Mahendra Vijaya, mengatakan pihaknya masih akan melihat terlebih dahulu implementasi dari PPN 12% untuk dapat memperkirakan dampaknya terhadap perseroan.
WIKA juga menyambut baik rencana pembangunan pemerintah yang tertuang di dalam penyusunan pagu anggaran Kementerian PU tahun 2025.
Baca Juga: Pakuwon Jati (PWON) Resmikan Pakuwon Mall Bekasi
“Perseroan siap menjadi mitra strategis pemerintah di dalam melaksanakan pembangunan infrastruktur nasional,” ujar Mahendra kepada Kontan, Jumat (6/12).
Tak hanya itu, WIKA juga siap mewujudkan visi Asta Cita Pemerintah. “WIKA telah memiliki keunggulan penerapan ESG yang baik, serta portofolio yang tinggi di dalam mengerjakan proyek-proyek yang berkaitan dengan ketahanan pangan, pendidikan, peningkatan ekonomi, hilirisasi dan industrialisasi,” ungkapnya.
PT Wijaya Karya Beton Tbk (WTON) melihat, kenaikan PPN 12% lebih akan memberatkan konsumen akhir dibandingkan perusahaan jasa konstruksi.
“Misalnya, pemilik apartemen yang akan merasakan langsung. Sebagai kontraktor, hal ini sebenarnya bukan isu besar. Sebab, kami diwajibkan membayarkan PPN 12%, tetapi juga akan dapat PPN 12%,” ujar Sekretaris Perusahaan WTON Yushadi, saat ditemui Kontan beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Rekomendasi Saham WTON yang Menemui Tantangan di Periode Peralihan Pemerintahan
Menurut Yushadi, masalah utama dari kebijakan baru ini justru adalah adanya potensi penurunan permintaan atas produk properti atau konstruksi akibat harganya yang meningkat. “Sehingga, perlu diperhatikan seberapa besar penurunan permintaan itu akan terjadi saat PPN 12% berlaku,” paparnya.
Head of Equity Research Kiwoom Sekuritas Indonesia, Sukarno Alatas melihat, kinerja emiten konstruksi swasta tercatat lebih baik per kuartal III 2024.
Pendapatan emiten BUMN Karya secara total mengalami penurunan 8,2% year on year (YoY) hingga akhir September 2024. Akumulasi rugi bersih membaik 77,6% YoY, dari semula rugi Rp 8,4 triliun pada kuartal III 2023 menjadi rugi Rp 1,9 triliun per kuartal III 2024.
“Tapi ini di luar saham PT Waskita Karya Tbk (WSKT) sebagai kontribusi terbesar yang mencatatkan kerugian emiten konstruksi BUMN mengalami pertumbuh signifikan di tahun ini,” ujarnya kepada Kontan, Jumat (6/12).
Sedangkan, kinerja emiten konstruksi non-BUMN secara total berhasil mencatatkan pertumbuhan pendapatan sebesar 1,2% YoY dan laba bersih naik 44,5% YoY.
Sukarno melihat, kenaikan PPN 12% di awal tahun 2025 akan memberikan dampak yang kompleks terhadap kinerja emiten konstruksi.
Emiten konstruksi yang akan dirugikan adalah mereka yang mengandalkan proyek-proyek swasta dan sangat sensitif terhadap perubahan harga.
Sedangkan, emiten yang akan diuntungkan adalah mereka yang memiliki proyek-proyek jangka panjang, dengan kontrak yang sudah fixed price atau memiliki kemampuan untuk menaikkan harga jual.
“Emiten BUMN Karya cenderung akan lebih terdampak negatif, karena skala proyeknya jauh lebih besar dan ada ketergantungan pada proyek pemerintah,” ungkapnya.
Ke depan, sentimen negatif untuk emiten konstruksi secara keseluruhan berasal dari kenaikan biaya produksi, persaingan yang ketat, dan ketidakpastian ekonomi global. Sedangkan, sentimen positif bisa datang dari proyek-proyek strategis pemerintah dan pemulihan ekonomi.
Dilihat dari penguatan pergerakan saham sejak awal tahun alias year to date (YTD), PT Aesler Grup Internasional Tbk (RONY) masih jadi jawara. Kinerja saham RONY naik 182,09% YTD.
“Industri konstruksi per hari ini masih minim sentimen positif, jadi belum bisa memberikan penguatan untuk mayoritas saham konstruksi,” paparnya.
Baca Juga: Sejumlah Emiten BUMN Restrukturisasi Utang, Simak Rekomendasi Sahamnya
Sukarno melihat, kinerja saham emiten konstruksi juga masih bervariasi dan ada yang tidak mencerminkan kinerja dari masing-masing emitennya. Alhasil, Sukarno masih merekomendasikan wait and see untuk emiten konstruksi.
Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta melihat, kinerja emiten BUMN Karya cenderung lebih baik dibandingkan emiten konstruksi swasta.
Alasannya, karena emiten BUMN Karya mampu mendapatkan perolehan nilai kontrak baru yang lebih tinggi lantaran terlibat langsung dalam pembangunan proyek strategis nasional (PSN).
“Kenaikan PPN 12% juga akan memberatkan, tetapi jika emiten bisa meningkatkan perolehan kontrak baru, hal itu bisa tertutupi,” ujarnya kepada Kontan, Minggu (8/12).
Terkait pergerakan saham, Nafan juga melihat kinerja saham emiten BUMN Karya lebih baik dibandingkan emiten swasta. “Selain WSKT, saham emiten BUMN Karya lebih likuid dibandingkan emiten swasta,” tuturnya.
Baca Juga: PTPP Ungkap Progres Merger dengan WIKA Masih Dalam Proses Kajian
Namun, hal itu bukan berarti kinerja emiten BUMN Karya sudah tak menghadapi tantangan. Emiten konstruksi pelat merah masih dibayangi sentimen buruk dari arus kas negatif.
“Tantangan itu harus segera dimitigasikan dengan menerapkan tata kelola perusahaan alias good corporate governance yang baik,” ungkapnya.
Nafan pun merekomendasikan accumulate untuk ADHI, PTPP, dan WIKA dengan target harga masing-masing Rp 276 per saham, Rp 418 per saham, dan Rp 358 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News