Reporter: RR Putri Werdiningsih | Editor: Dupla Kartini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Demi memperbaiki kinerja, PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) kini tengah berusaha menunda penambahan armada baru. Maskapai pelat merah itu tengah bernegosiasi dengan sejumlah mitranya agar bisa memundurkan waktu pengiriman menjadi tahun depan. Strategi ini diharapkan bisa menyelamatkan kinerja perusahaan di tengah kenaikan harga minyak dunia.
Sepanjang 2017, perusahaan kembali membukukan kerugian bersih sebesar US$ 213,4 juta. Padahal, tahun sebelumnya GIAA sempat mencatatkan laba sebesar US$ 9,4 juta. Perusahaan harus mencatatkan kenaikan beban operasional sekitar 13,03% menjadi US$ 4,25 miliar. Salah satu kontributor terbesar datang dari biaya bahan bakar yang membengkak dibandingkan tahun 2016.
Thennesia Debora, analis PT BNI Sekuritas melihat strategi itu adalah langkah yang tepat. Dalam kondisi yang tengah merugi, efisiensi dan peningkatan utilisas armada memang sudah seharusnya dilakukan. Bahkan, ia memperkirakan tahun ini, kinerja GIAA berpeluang menunjukkan perbaikan.
“Kami prediksi akan untung tapi enggak langsung double digit,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Senin.
Menurutnya, tahun ini, kinerja GIAA harusnya lebih baik karena sudah tidak lagi menanggung beban pengampunan pajak atau tax amnesty. Tahun 20lalu, perusahaan harus membayar sekitar US$ 50 juta khusus untuk memenuhi kewajiban tersebut.
Namun, Thennesia tetap melihat perusahaan harus menghadapi sentimen negatif dari penguatan harga minyak dunia. Apalagi 30% komponen beban berasal dari bahan bakar. Katanya, pengaruh penguatan itu bisa sedikit dibatasi jika dilakukan lindung nilai bahan bakar.
Selain penguatan harga minyak mentah, GIAA tertekan dengan passenger yield atau harga rata-rata kursi per km yang terus menunjukkan penurunan sejak tahun 2012. Walaupun jumlah penumpang terus tumbuh tetapi jika harga rata-ratanya turun mau tidak mau itu tetap mempengaruhi perolehan laba bersih perusahaan.
“Kalau dulu mereka bisa menyiasati harga saat low season dan high season, tetapi sekarang semuanya diatur pemerintah,” paparnya.
Kata Thennesia, saat ini, yang menjadi sentimen positif bagi GIAA hanya tinggal pertumbuhan penumpang dan peningkatan kinerja anak usaha. Walaupun pertumbuhan penumpang domestik relatif lebih lambat dari penumpang internasional, tetapi ini tetap memberi angin segar. Kemudian dari anak usaha, perolehan kontrak perawatan pesawat senilai US$ 2,4 juta dinilai bisa memperbaiki pendapatan konsolidasi perusahaan.
Fahressi Fahalmesta, analis Ciptadana Sekuritas menilai, peningkatan efisiensi memang diperlukan untuk menghadapi kompetisi di bisnis maskapai. Hal itu bisa membantu mengurangi biaya beban perusahaan.
Dalam catatannya, sejauh ini, GIAA telah berhasil menghentikan pengiriman pesawat Boeing 737 Max 8s sampai tahun 2020 dan mengurangi pengiriman pesawat Airbuss A 320neos dari semula dijadwalkan diterima lima armada menjadi tiga armada saja. “Sekarang ini juga sedang dilakukan negosiasi untuk A330-900neos dan ATR 72-600,” tuturnya.
Meski efisiensi penambahan armada telah berhasil dilakukan, tetapi ia masih melihat passenger yield pada tahun ini tetap bergerak stabil di level 6,7% . Tahun lalu harga rata-rata kursi tercatat melemah menjadi 6,71% dari 6,93% pada 2016.
“Saat ini industri penerbangan masih menanti revisi penetapan batas bawah dari 30% menjadi 40%. Kalau itu terjadi GIAA akan mendapat keuntungan,” paparnya.
Fahressi merekomendasikan hold saham GIAA pada harga Rp 350 per saham. Sedangkan Thennesia merekomendasikan hold pada harga Rp 345 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News