Reporter: Nisa Dwiresya Putri | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang gencar memperluas dan menambah variasi instrumen pendanaan. Misalnya saja, perpetual bond, green bond, obligasi daerah, KIK EBA, dan dana investasi real estate (DIRE).
Namun, banyaknya alternatif pendanaan baru nyatanya belum membuat emiten meninggalkan pendanaan konvensional. Selama ini, emiten masih kerap mengandalkan pinjaman perbankan, obligasi konvensional, dan rights issue untuk memperoleh dana eksternal.
Tengok saja yang dilakukan oleh PT Waskita Karya Tbk (WSKT). Perusahaan konstruksi plat merah ini memilih menerbitkan obligasi dan mencari pinjaman bank untuk dana ekspansi tahun ini.
Direktur Keuangan PT Adhi Karya Tbk (ADHI) Harris Gunawan juga mengatakan instrumen pendanaan akan disesuaikan dengan kebutuhan dan penggunaan dana. Menurut dia, jika dana yang dicari akan digunakan untuk investasi, maka instrumen yang dipilih adalah obligasi.
Sementara itu, modal kerja jangka pendek akan dibiayai dengan fasilitas perbankan. "Kami ingin memperbaiki rating perusahaan terlebih dahulu. Dari sebelumnya A-, ingin naik ke A stabil atau A+," tutur Harris, Jumat (19/1).
Menurut dia, jika peringkat perusahaan meningkat, ADHI akan lebih mudah memanfaatkan instrumen pendanaan di pasar modal. Selain itu, ADHI bisa mendapat kupon obligasi yang lebih kompetitif.
Sementara itu, PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) mencari beberapa alternatif pembiayaan baru di tahun ini. Direktur Keuangan dan Treasury BBTN Iman Nugroho Soeko mengatakan, BBTN akan melakukan sekuritisasi kredit pemilikan rumah (KPR) sebesar Rp 2 triliun.
Selanjutnya BBTN juga akan melakukan penerbitan negotiable certificate of deposit (NCD) sekitar Rp 9 triliun. Selain itu, BBTN juga mencari pinjaman subdebt sekitar Rp 2 triliun dan pinjaman bilateral sebesar Rp 5 triliun. "Yang penting mendapat cost of borrowing yang paling rendah," tutur Iman kepada KONTAN, Jumat (19/1).
Lebih praktis
Kepala Riset Indosurya Sekuritas William Surya Wijaya menilai, ada beberapa faktor yang membuat emiten masih tetap memilih instrumen pendanaan konvensional. Misalnya saja, kemudahan dalam penerbitan instrumen.
Kepala Riset OSO Sekuritas Riska Afriani juga menilai, pendanaan konvensional terkadang lebih praktis bagi perusahaan. Sehingga, banyak perusahaan yang masih memilih pinjaman perbankan.
Ia mengatakan, dalam penerbitan obligasi, perusahaan harus memiliki peringkat utang yang bagus. "Bagi emiten, ketika rating obligasi turun, maka harga saham juga turun, " ujar Riska.
Selain itu, emiten juga cenderung mengenal dan lekat dengan instrumen pendanaan konvensional. "Jadi menggunakan pendanaan konvensional sudah menjadi kebiasaan," tutur Riska.
Karena itulah, penting bagi otoritas untuk terus meningkatkan sosialisasi tentang instrumen pembiayaan baru ke emiten dan juga investor.
Sejak tahun 2011-2017, penggalangan dana dari pasar modal terus meningkat. Adapun di 2017 lalu, Riska memperkirakan penggalangan dana di pasar modal mencapai Rp 1.000 triliun, yang berasal dari surat berharga negara (SBN), obligasi korporasi, rights issue dan initial public offering (IPO).
Riska mengatakan, saat ini pasar modal tengah masuk dalam tren positif, Sehingga, tak ada salahnya jika perusahaan mulai menjajal alternatif pendanaan baru.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News