Reporter: Yuliana Hema | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penyedia indeks global, Morgan Stanley Capital International (MSCI) mengumumkan hasil perombakan konstituen indeks saham Global Standard Index, Small Cap Index dan Micro Cap Index pada Rabu (14/5).
Hasilnya, penyedia indeks global ini hanya memasukan dua saham ke dalam MSCI Indonesia Index, yakni PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL) Dan PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA).
Keduanya masuk dalam MSCI Indonesia Small Cap Index. Namun jumlah saham yang didepak lebih banyak ketimbang saham yang masuk ke indeks kumpulan saham kapitalisasi pasar kecil. Mereka ialah saham PT Harum Energy Tbk (HRUM), PT Indika Energy Tbk (INDY), PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) dan PT Wijaya Karya Tbk (WIKA).
Tidak ada perubahan konstituen untuk MSCI Indonesia Global Standard Index dan MSCI Indonesia Micro Cap Index. Hasil evaluasi ini akan efektif pada 2 Juni–1 September 2025.
Baca Juga: MTEL dan MBMA Masuk MSCI Indonesia Small Cap, Geser HRUM, INDY, SMRA, WIKA
CEO Pinnacle Investment Indonesia Guntur Putra mengatakan masuknya saham ke indeks global, memang berdampak positif terhadap potensi aliran dana karena akan banyak dana pasif dan aktif global yang menjadikan indeks tersebut sebagai acuan.
Namun Guntur menyoroti lebih banyaknya saham yang keluar, ini bisa menjadi sinyal bahwa eksposur Indonesia dalam portofolio global cenderung stagnan bahkan menurun jangka pendek.
“Artinya, foreign flow bisa menjadi lebih terbatas, khususnya dari investor pasif yang mengikuti MSCI secara ketat. Namun investor aktif masih bisa melihat peluang di luar indeks,” kata dia kepada Kontan, Rabu (14/5).
Guntur mencermati keluar masuknya saham dari indeks MSCI tentu menjadi pertimbangan penting, terutama bagi manajer investasi yang mengelola produk investasi atau yang memiliki mandat untuk mengikuti benchmark global.
“Namun bagi manajer investasi lokal, nampaknya rebalancing indeks global ini lebih berfungsi sebagai sinyal pasar, bukan satu-satunya acuan dalam menyusun portofolio,” jelas Guntur.
Baca Juga: Menilik Peluang ANTM Masuk Indeks MSCI
Direktur Infovesta Utama Parto Kawito menyampaikan bobot saham Indonesia di MSCI hanya sekitar 1,5%. Dengan angka tersebut, bobot pasar saham Tanah Air masih tergolong kecil.
Dia bilang bobot pasar Indonesia di mata asing masih kecil karena beberapa sebab seperti likuiditas, prospek, ragam industri, transparansi dan regulasi.
"Kalau bobot pasar sahamnya saja kecil, untuk apa investor asing memperhatikannya," ucap Parto.
Budi Frensidy, Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia menambahkan dengan semakin banyaknya saham Indonesia yang keluar, maka semakin kecil pula bobotnya.
"Ini yang menyebabkan asing lebih banyak keluar karena mereka melakukan rebalancing," ucapnya.
Sayangnya, saham penggerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) seperti emiten Grup Barito, PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) dan PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA) tidak masuk dalam indeks global ini.
Baca Juga: BEI Beri Usulan ke MSCI Terkait Kriteria Saham UMA dan FCA, Ini Rinciannya
Hingga akhir perdagangan Rabu (14/5), kapitalisasi pasar BREN mencapai Rp 826 triliun atau 6,92% dari total kapitalisasi pasar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Ini menjadi yang terbesar terbesar di BEI.
Kemudian urutkan ketiga ada TPIA dengan kapitalisasi pasar sebesar Rp 783 miliar. Jumlah tersebut setara dengan 6,46% dari total kapitalisasi pasar saham di Tanah Air.
Pasalnya, BREN, TPIA dan PT Petrosea Tbk (PTRO) tidak dimasukan ke dalam indeks MSCI karena ada kekhawatiran bahwa saham tersebut mungkin tidak cukup dapat diinvestasikan, termasuk potensi masalah konsentrasi pemegang saham.
“BREN dan TPIA seharusnya bisa masuk ke dalam indeks MSCI, jika tidak tidak dimasukan ke dalam papan pemantauan khusus dan dalam pengawasan ketat karena Unusual Market Activity (UMA),” kata Budi.
Untuk itu, Budi menyarankan otoritas bursa untuk lebih transparan dan tidak sembarangan dalam mengenakan UMA, papan pemantauan khusus, suspensi dan sanksi lainnya. Sementara, Parto menyarankan otoritas untuk menyaring perusahaan yang akan IPO.
Parto bilang sebaiknya BEI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu menyaring hanya perusahaan bagus dan prospek baik yang bisa melantai di pasar saham. Otoritas juga harus membenahi proses penjatahan agar adil, transparan dan efisien.
“Perusahaan sekuritas asing juga dapat didorong dapat difasilitasi untuk mengadakan roadshow untuk mengundang investor asing,” jelas Parto.
Selanjutnya: Penjualan Tempo Scan (TSPC) Turun 4,9% di Kuartal I 2025, Intip Rekomendasi Sahamnya
Menarik Dibaca: 5 Manfaat Pakai Tinted Sunscreen untuk Kulit, Praktis dan Serbaguna!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News