Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Morgan Stanley mengumumkan penurunan peringkat alias rating MSCI Indonesia lantaran ketidakpastian iklim ekonomi domestik.
Melansir dokumen riset yang dirilis Morgan Stanley pada 19 Februari 2025, peringkat saham MSCI Indonesia dipangkas dari equal weight menjadi underweight.
Di saat yang bersamaan, Morgan Stanley menaikkan rating indeks MSCI China dari underweight ke equal weight.
Tren return on equity (ROE) di China lebih menguntungkan didorong upaya swadaya dari bawah ke atas (bottom-up self help) di sektor-sektor yang memiliki beban berat terhadap indeks.
Sementara itu, ROE Indonesia menunjukkan momentum penurunan terutama disebabkan oleh memburuknya kondisi pertumbuhan siklus dalam negeri.
“Indonesia menghadapi hambatan pertumbuhan. Valuasi relatif sedang terjadi penyesuaian, tetapi kemungkinan besar masih perlu ditingkatkan,” ujar Equity Strategist Morgan Stanley, Jonathan Garner, dalam riset tersebut.
Baca Juga: BEI Resmi Luncurkan Kontrak Berjangka Asing MSCI Hong Kong Listed Large Cap
Morgan Stanley pun menyarankan investor tetap berhati-hati terhadap prospek pembalikan jangka pendek dan secara umum cenderung menyarankan eksposur untuk negara lain di Asean.
Hal tersebut nampaknya tercermin dari kinerja pasar saham domestik saat ini yang masih longsor. Pada perdagangan hari ini (25/1), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 2,41%. Secara year to date (YTD), IHSG sudah turun 6,96%.
Investor asing juga terus lanjut kabur dari pasar saham Indonesia. Aliran keluar dana asing di pasar reguler sebesar Rp 1,63 triliun hari ini. Secara YTD, aliran keluar dana asing tercatat Rp 13,10 triliun di pasar reguler.
Terkait hal tersebut, Bursa Efek Indonesia (BEI) pun memberikan tanggapan.
Direktur Pengembangan BEI Jeffrey Hendrik mengatakan, langkah Morgan Stanley itu adalah review yang dilakukan secara periodik. Bursa pun berharap di review berikutnya akan ada perubahan yang positif.
Jeffrey mengungkapkan, Tim MSCI saat ini sedang ada di Jakarta dan melakukan kegiatan bersama emiten-emiten siang tadi (25/2).
“Ada kegiatan dengan MSCI dan emiten untuk sharing terkait metodologi MSCI baik dalam penilaian ESG maupun secara umum. Diharapkan sesi ini dapat bermanfaat bagi emiten kita,” ungkapnya.
Founder sekaligus Chief Marketing Officer & Partner di Jarvis Asset Management, Kartika Sutandi mengatakan, regulator seharusnya bisa merumuskan kebijakan yang mampu membuat pasar saham jauh lebih kondusif.
Salah satu caranya adalah mendorong dana pensiun untuk investasi di pasar saham. Sebab, dana pensiun punya horizon investasi jangka panjang.
“Setidaknya investasikan dana pensiun (BPJS Ketenagakerjaan) sebesar 20% di pasar saham, indeks mungkin bisa naik kembali,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (25/2).
Selain itu, regulator juga bisa mengkaji ulang sejumlah kebijakan di pasar saham, khususnya soal full call auction (FCA) dan unusual market activity (UMA).
Dengan adanya stimulus dan peraturan yang membuat pasar kondusif, emiten-emiten di Bursa bisa mengembangkan bisnis dengan lebih baik, sehingga kesempatan untuk masuk indeks MSCI semakin terbuka lebar.
“Itu supaya ada inflow (aliran masuk dana asing) lagi,” ungkapnya.
Analis Phillip Sekuritas, Helen Vincentia melihat, penurunan IHSG terjadi seiring dengan kinerja bursa global yang juga melemah dalam beberapa bulan terakhir akibat beberapa faktor.
Misalnya, kecemasan akan perang dagang setelah presiden AS Donald Trump mengenakan tarif ke sejumlah negara, kebijakan suku bunga the fed dimana penurunan suku bunga tidak seperti ekspektasi pasar.
“Sehingga, investor cenderung berhati hati dalam melakukan investasi. Mereka juga diversifikasi ke aset yang dianggap lebih aman, seperti emas, sehingga harga emas dunia naik ke rekor tertinggi baru,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (25/6).
Di kondisi saat ini, Helen pun menyarankan investor untuk memperhatikan saham dari sektor konsumer, seperti PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) dan PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF).
“Pelaku pasar dapat mengakumulasi saham-saham blue chip yang sudah terkoreksi signifikan,” ungkapnya.
Vice President Marketing Strategy and Planning Kiwoom Sekuritas Indonesia, Oktavianus Audi melihat, tekanan pasar saham dipengaruhi beberapa sentimen, khususnya dari eksternal.
Pertama, ketidakpastian ekonomi global yang meningkat paska kebijakan tarif dagang Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang dikhawatirkan menyebabkan inflasi dan perlambatan ekonomi global.
“Bank of Korea (BoK) menjadi salah satu bank sentral yang melakukan adjustment pada target pertumbuhan PDB dan mulai memangkas suku bunga acuannya paska kebijakan tarif Trump,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (25/2).
Baca Juga: Harga Saham UNVR Terbenam, Kian Terpuruk Usai Didepak MSCI dan Dilego Investor Asing
Kedua, peralihan dana investasi yang dilakukan investor asing. Perpindahan ini menuju pada aset berisiko rendah dan safe haven.
“Tercatat harga emas sempat bergerak di level US$ 2.934 per troi ons,” ungkapnya.
Ketiga, rilis kinerja tahun buku 2024 yang mengalami perlambatan pertumbuhan earning per shares (EPS) di tengah pengetatan kebijakan suku bunga dan peningkatan tensi geopolitik, khususnya yang dialami emiten perbankan.
Keempat, fluktuasi nilai tukar rupiah di tengah penguatan indeks dolar AS paska stand The Fed yang masih akan tetap mempertahankan Fed Fund Rate (FFR) pada level tinggi.
Audi menilai, Morgan Stanley menurunkan rating Indonesia seiring dengan tren ROE yang menurun sejak pemulihan covid-19 hingga di tahun 2024 yang menyebabkan softening top down ekonomi Indonesia.
“Ini terlihat dari tren EPS yang melemah, khususnya pada sektor semen dan konsumer (otomotif dan FMCG),” tuturnya.
Hal ini terbukti dengan terjadinya tekanan pada harga saham semen, seperti saham PT Semen Indonesia Tbk (SMGR) yang turun 15,20% YTD dan saham PT Indocement Tunggal Perkasa Tbk (INTP) turun 34,73% YTD.
Lalu, dari sektor otomotif dan konsumer, saham PT Astra International Tbk (ASII) turun 6,94% YTD, PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) turun 38,99% YTD, dan PT Mayora Indah Tbk (MYOR) turun 18,35% YTD.
Sampai saat ini, Audi melihat demand area IHSG dalam rentang level 6.500-6.600 yang sudah terbentuk sejak kuartal IV 2022 dan masih menjadi penopang sampai saat ini. Sehingga, jika IHSG gagal bertahan, dapat turun ke level 6.385.
Target dasar IHSG di akhir 2025 diperkirakan akan berada di rentang level 7.300-7.500.
Namun, jika terjadi perbaikan kinerja di kuartal I 2025, maka berpotensi mendorong pergerakan IHSG.
“Selain itu, normalisasi nilai tukar rupiah dan juga relaksasi kebijakan moneter akan berdampak positif terhadap pasar,” ungkapnya.
Di tengah kondisi saat ini, investor dapat melakukan diversifikasi pada saham utilitas dan defensif, serta konstituen IDX High Dividend 20.
Audi pun merekomendasikan beli untuk saham PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk (SIDO), PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS), dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dengan target harga masing-masing Rp 670 per saham, Rp 3.400 per saham, dan Rp 10.400 per saham.
Rekomendasi trading buy juga disematkan untuk PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) Rp 1.760 per saham.
Baca Juga: Goldman Sachs Menaikkan Target MSCI China Setelah Lihat Prospek Deepseek
Selanjutnya: POCO Rilis HP Khusus Pemain Gim
Menarik Dibaca: POCO Rilis HP Khusus Pemain Gim
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News