Reporter: Dede Suprayitno | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Koreksi harga batubara di pasar global turut menghantam kinerja saham emiten tambang batubara di Bursa Efek Indonesia (BEI). Pelaku pasar melakukan aksi jual secara masif.
Indeks saham pertambangan di BEI, pada Rabu (10/5), bertengger di posisi 1.347,03. Cuma dalam dua hari, indeks tambang merosot 5,46%. Kinerja jeblok saham pertambangan turut menyeret Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), yang terkoreksi hampir 1% selama dua hari.
Saham PT Adaro Energy Tbk (ADRO), misalnya, pada Rabu lalu terpangkas 3,55% menjadi Rp 1.495 per saham. Sejak awal tahun hingga kemarin atau year-to-date (ytd), harga ADRO sudah terjerembab 12%.
Saham produsen batubara pelat merah, PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk (PTBA), juga bernasib sama. Pada Rabu lalu, saham PTBA anjlok 4,62% menjadi Rp 10.850 per saham. Sepanjang tahun ini, PTBA sudah merosot 13%. Namun dalam setahun terakhir atau year-on-year (yoy), saham ADRO dan PTBA masih menanjak (lihat tabel).
Koreksi harga ADRO dan PTBA begitu terasa pada IHSG. Maklumlah, bobot kedua saham ini menduduki dua besar terhadap indeks pertambangan, masing-masing sebesar 17% dan 9%.
Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee menilai, ada sejumlah faktor yang turut menekan harga batubara. Salah satunya datang dari Tiongkok. Pertumbuhan industri manufaktur di negeri itu melambat, juga pertumbuhan ekspor-impor Tiongkok. "Perekonomian Tiongkok sedang melambat," ujar dia kepada KONTAN, Kamis (11/5).
Lantaran pertumbuhan ekspor impor cenderung melambat, muncul spekulasi bahwa China, sebagai negara konsumen batubara terbesar, tengah melemah. Hal itu lantas mempengaruhi harga batubara di pasar internasional. "Jadi melemahnya ekonomi Tiongkok menyebabkan harga batubara tertekan. Di sisi lain, harga minyak juga tidak terlalu mengkilat," ujar Hans.
Dalam sepekan terakhir, harga batubara Newcastle untuk kontrak pengiriman Juni 2017 di bursa ICE, per Rabu lalu, melemah 3,72% menjadi US$ 73,85 per ton. Hans memprediksi kondisi ini cuma berlangsung dalam jangka pendek. Hanya saja, batubara masih sulit menembus level US$ 80 per metrik ton.
Kondisi akan berubah apabila situasi geopolitik, seperti di Semenanjung Korea, memanas. Hal tersebut bisa menyulut harga komoditas, termasuk batubara. Korea Utara juga masih ngotot melanjutkan program nuklir. Ini bisa memperkeruh situasi.
Strategi emiten
Meski batubara melemah, emiten bisa mengatur strategi bisnisnya. Menurut Hans, program diversifikasi emiten tambang ke pembangkit listrik bisa menjadi sentimen positif. Selain efisiensi, diversifikasi bisnis bisa menjadi pendorong prospek emiten pertambangan batubara.
Hal serupa juga disampaikan analis Minna Padi Investama Christian Saortua. Dia menyatakan program diversifikasi emiten batubara akan membantu menopang kinerja. Hal tersebut memberikan peluang saham emiten tambang rebound. "Domestik potensinya cukup besar. Selain itu, beberapa emiten telah membangun smelter yang mampu menghasilkan produk dengan value lebih tinggi dibandingkan barang mentah," ujar dia.
Saat ini emiten tambang dalam fase downtrend akibat penurunan harga komoditas. Pasar di Indonesia juga terimbas penurunan kinerja emiten pertambangan di Amerika Serikat. "Kami melihat bahwa harga minyak sedang di posisi low dan batubara merupakan substitusi minyak. Spekulan beranggapan dengan menurunnya minyak, maka batubara juga turun," ujar Christian.
Analis Binaartha Parama Sekuritas Reza Priyambada menyebutkan, penurunan harga batubara menjadi berita negatif bagi emiten pertambangan. Hal ini berakibat pada aksi jual terhadap saham emiten tambang.
Selain itu, ada sentimen yang bersifat sementara dari luar negeri. Misalnya, harga kontrak batubara melemah karena adanya gangguan pasokan, menyusul badai tropis di wilayah Australia, salah satu produsen batubara terbesar di dunia. Bukan hanya itu, upaya pemerintah Amerika Serikat menutup pembangkit listrik batubara di 16 negara bagian juga turut menekan pasar batubara.
Seiring dengan adanya sentimen negatif tersebut, Reza memperkirakan koreksi harga saham batubara masih berpotensi berlanjut. Meskipun penurunan tersebut bukan dari sisi fundamental emiten batubara.
"Tapi sepanjang volume jual saham masih menunjukkan peningkatan, saham-saham emiten batubara masih berisiko untuk ditransaksikan," kata Reza.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News