Reporter: Wuwun Nafsiah | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Kebijakan pemerintah Amerika Serikat (AS) terkait sektor tambang kini tidak lagi memberi pengaruh signifikan pada pergerakan harga batubara. Prospek harga batubara justru dipandang positif dengan dukungan konsumsi wilayah Asia.
Mengutip Bloomberg, Senin (24/1) harga batubara kontrak pengiriman Juni 2017 di ICE Futures Exchange melemah 1,7% ke level US$ 78,65 dibanding sehari sebelumnya. Dalam sepekan terakhir batubara tergerus 2,5%.
Direktur Utama PT Garuda Berjangka, Ibrahim menjelaskan, harga batubara terseret oleh turunnya harga minyak dunia. Pergerakan harga dalam jangka pendek kini terancam jika anggaran belanja Presiden Trump mendapat penolakan dari parlemen AS. "Ini akan berdampak negatif pada harga komoditas secara keseluruhan," ungkapnya.
Kondisi fundamental batubara juga tidak mendukung penguatan harga. Pertumbuhan ekonomi China yang membaik belum mampu memberi dukungan pada harga batubara. Apalagi, ekonomi global secara keseluruhan masih terbilang melambat.
Pemilihan umum di Prancis membuat pelaku pasar cenderung wait and see untuk masuk ke komoditas. Tetapi jika dalam jangka menengah harga minyak mampu menguat, Ibrahim optimistis batubara akan turut terangkat.
Pemerintah AS berencana menutup 46 pembangkit listrik batubara di 16 negara bagian. Hal ini akan berdampak pada berkurangnya permintaan sebesar 30 juta ton hingga tahun 2018. Sementara BP Energy memperkirakan permintaan batubara global akan cenderung stagnan hingga 20 tahun ke depan.
Padahal, permintaan batubara biasanya tumbuh 3% - 4% per tahun. BP juga merevisi turun penggunaan batubara global sebesar 6% menjadi 240 juta ton hingga tahun 2035.
Meski demikian, Ibrahim menilai prospek batubara bisa berharap pada kebijakan presiden Trump. Sebelumnya, Trump memiliki pandangan berbeda dengan Presiden AS terdahulu yakni Barrack Obama terkait penggunaan energi batubara.