kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Prospek Kenaikan Mata Uang Asia Masih Terbuka, Bagaimana Nasib Rupiah?


Selasa, 26 Maret 2024 / 07:50 WIB
Prospek Kenaikan Mata Uang Asia Masih Terbuka, Bagaimana Nasib Rupiah?
ILUSTRASI. Petugas menghitung uang rupiah di salah satu bank di Jakarta, Senin (28/3). KONTAN/Cheppy A. Muchlis/28/03/2016


Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Prospek kenaikan mata uang Asia masih terbuka. Pemangkasan suku bunga the Fed menjadi faktor utamanya.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, penguatan mata uang Asia cukup terbuka hingga akhir tahun 2024 ini. Sebab, di semester II 2024 sejalan dengan potensi penurunan suku bunga Fed, yang pada umumnya berpotensi mendorong pelemahan dolar AS.

Adapun tekanan yang terjadi pada mata uang Asia saat ini dikarenakan oleh faktor-faktor seperti data ekonomi AS yang solid. Para investor juga cenderung melihat bahwa pernyataan Fed cenderung dovish pada rapat FOMC bulan Maret yang lalu.

Selain itu, pelemahan mata uang Asia pada umumnya juga dipengaruhi oleh keputusan bank sentral Tiongkok. PBoC kembali melemahkan fixing Yuan beberapa waktu yang lalu di tengah ekspektasi pelonggaran kebijakan moneter PBoC.

Baca Juga: Rupiah Diprediksi Lanjut Melemah pada Selasa (26/3), Ini Penyebabnya

Josua memperkirakan momentum dari apresiasi nilai tukar di kawasan Asia akan berada pada paruh kedua 2024. 

"Pemangkasan suku bunga bank sentral akan mendorong arus modal asing ke negara berkembang, termasuk negara-negara Asia," ujarnya kepada Kontan.co.id, Senin (25/3).

Dari sejumlah mata uang Asia, Josua menilai rupee merupakan salah satu mata uang yang cenderung menarik. Ini sejalan dengan arah kebijakan Bank Sentral India, RBI, yang memiliki kecenderungan belum ada potensi pemotongan suku bunga.

Sementara mata uang lainnya, seperti Korea Selatan, Malaysia, dan Thailand diperkirakan apresiasinya cenderung lebih terbatas. Sebab bank sentralnya mulai melihat ruang pemotongan suku bunga dalam waktu dekat.

"Negara yang cenderung mulai melakukan pemotongan suku bunga bersamaan dengan para negara maju, diperkirakan cenderung terapresiasi lebih terbatas," katanya.

Sedangkan potensi untuk yuan, pertumbuhan ekonomi Tiongkok masih dipenuhi ketidakpastian. Sehingga diperkirakan potensinya kenaikannya turut terbatas.

Senior Economist KB Valbury Sekuritas Fikri C. Permana juga menilai rupee menjadi salah satu mata uang yang menarik karena seiring ekspektasi pertumbuhan ekonomi di kisaran 8% YoY. Namun, ia juga mencermati prospek India yang akan memasuki tahun politik.

"Sehingga untuk saat ini masih akan wait and see terlebih dahulu," katanya.

Baca Juga: Kompak, Rupiah di Jisdor BI Melemah 0,14% ke Rp 15.795 Per Dolar AS Pada Senin (25/3)

Fikri justru berpandangan yang paling menarik adalah rupee Pakistan dan rupee Srilanka karena tahun lalu keduanya mengalami tekanan yang cukup kuat akibat pertumbuhan ekonomi negatif. Bahkan, untuk Srilanka ada default untuk global bond-nya.

"Memang tidak akan bagus sekali, tetapi seiring dengan normalisasi ekonominya maka akan ada keuntungan dari mata uang mereka," jelasnya.

Sementara mata uang negara maju di Asia, seperti Jepang, Fikri menilai ada sejumlah katalis yang membuat apresiasinya cenderung terbatas. Ia menyebutkan, memang ada hal positif setelah BOJ meningkatkan suku bunga acuan, tetapi sisi negatifnya inflasinya tinggi sehingga ada kekhawatiran inflasi lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonominya.

Hal tersebut dinilai akan mengurangi minat terhadap pasar finansial Jepang. Selain itu juga BOJ sudah mengurangi pembelian corporate bond dalam setahun ke depan dan tidak masuk lagi ke ETF.

Lalu untuk China karena pemulihan ekonomi belum signifikan dan bank sentralnya masih menjaga diri agar tidak terjadi bubble. 

"Kalau jor-joran ada kekhawatiran terjadi default dari perusahaan properti dan risiko di pasar keuangan," paparnya.

Untuk Indonesia sendiri, kedua ekonom menilai prospeknya positif. Hanya saja, Fikri menerangkan saat ini rupiah masih dibayangi ketidakpastikan politik karena masih ada gugatan terkait hasil Pilpres.

Selain itu pelantikan pemerintahan baru juga terjadi di Oktober, sehingga investor masih akan melihat komposisi kabinet yang diusung Presiden dan Wakil Presiden yang baru. 

"Hal ini menimbulkan perilaku wait and see juga," sebutnya.

Fikri menambahkan, hal lain untuk Indonesia adalah potensi pertumbuhan ekonomi dari dalam negeri. Ini seiring menguatnya konsumsi di momen Lebaran dan THR. 

"Jadi untuk saat ini saya pikir dari sisi dalam negeri yang perlu dikuatkan untuk menjaga rupiah tetap stabil," sambungnya.

Ia pun berpandangan, rupiah akan berada di kisaran Rp 15.400 pada semester I 2024. Namun dengan catatan penurunan suku bunga the Fed terjadi di Mei atau Juni, dan paling lambat di Juli. 

Sementara di akhir tahun diproyeksikan Rp 15.200, dengan catatan terjadi penurunan suku bunga dan pemulihan ekonomi mitra dagang, serta risiko geopolitik berkurang.

"Jika tidak terjadi maka rupiah di akhir tahun diperkirakan di Rp 15.400 per dolar AS," imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×