Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri reksadana berpotensi kembali bergairah seiring rencana kajian produk investasi exchange trade fund (ETF) atau reksadana dengan underlying aset kripto.
Direktur Infovesta Utama, Parto Kawito menilai kehadiran produk tersebut berpotensi menggairahkan pasar reksadana. Sebab, ia melihat tren pertumbuhan jumlah investor kripto yang pesat, melampaui pertumbuhan investor reksadana maupun saham.
Meski begitu, ia menilai kehadiran produk tersebut butuh waktu, baik untuk manajer investasi (MI) maupun investor. "Mungkin sekitar satu tahunan karena perlu waktu untuk sosialisasi," ujarnya kepada Kontan.co.id, Jumat (14/2).
Head of Business Development Division Henan Putihrai Asset Management (HPAM) Reza Fahmi sepakat bahwa perlu waktu untuk kehadiran produk tersebut. Sebab, pergerakan aset kripto sangat fluktuatif sehingga edukasi yang luas dan mendalam sangat diperlukan agar investor memahami risiko yang ada.
Baca Juga: OJK Kaji Aturan ETF Kripto, Perlindungan Konsumen Jadi Prioritas
Selain itu, potensi ETF kripto di Indonesia sangat bergantung pada regulasi yang akan diterapkan. Menurutnya, jika hanya boleh digunakan oleh investor ritel, ada kemungkinan ETF ini menjadi sangat volatile.
"Hal ini disebabkan oleh rendahnya literasi keuangan masyarakat Indonesia dibanding negara lain," katanya.
Reza mencontohkan, di Singapura, ETF kripto berjalan lancar karena adanya regulasi, edukasi, dan infrastruktur yang memadai. Literasi pasar modal di Singapura sekitar 50%, sementara di Indonesia masih di bawah 5%.
Lalu, dari sisi MI juga harus mempersiapkan sejumlah hal untuk mendukung instrumen ETF berbasis aset kripto. Pertama, pemahaman teknis seperti teknologi blockchain dan aset kripto secara mendalam.
Ini termasuk bagaimana aset kripto berfungsi, riset pasar, dan teknologi yang digunakan. "Termasuk ke dalam paket pemahaman teknis juga infrastruktur yang memadai baik dari segi administrasi maupun dari segi teknologi," sebutnya.
Kedua, MI harus melakukan analisis risiko yang komprehensif terhadap aset kripto, termasuk volatilitas pasar, risiko keamanan, dan potensi regulasi yang berubah. Hal ini berarti MI harus memperbaharui berbagai prosedur, khususnya terkait manajemen risiko karena dengan adanya aset kripto berarti menambahkan variabel baru terhadap proses analisis MI.
Ketiga, diversifikasi portofolio lantaran peran MI dalam mengintegrasikan ETF kripto ke dalam strategi diversifikasi portofolio yang sudah ada. Selain itu, diiringi dengan manajemen risiko yang baik, karena kripto masih sering dianggap sebagai aset yang high-risk.
Baca Juga: Babak Baru Industri Kripto, Aturan Listing Koin Kripto Ditargetkan Rampung Akhir 2025
Maklum, mekanisme ETF berbasis kripto tidak sederhana. Aset kripto tidak langsung dimasukan ke dalam ETF, melainkan diperlukan peran underwriter untuk mengemas suatu produk yang mencerminkan nilai kripto sebagai underlying asset, yang setelah itu akan dimasukan ke dalam ETF.
Keempat, MI harus menerima sosialisasi, panduan dan asistensi yang intens dari OJK maupun pihak berwenang lainnya terkait regulasi dan aturan main. Ini termasuk pemahaman terhadap kebijakan terbaru dan persyaratan yang harus dipenuhi, kunci dalam hal ini adalah komunikasi dari pihak regulator.
Meski begitu, secara keseluruhan kehadiran ETF kripto dipandang sebagai langkah positif karena membawa inovasi dan peluang diversifikasi di pasar modal. "Peluang dari kehadiran ETF berbasis kripto membawa masuk dana asing," ujar Parto.
Di sisi lain, volatilitas yang tinggi ataupun keterlambatan bertransaksi menjadi risiko yang perlu dihadapi. "Sebab, aset kripto diperdagangkan 24 jam sehari, sedangkan MI hanya bertransaksi di saat jam trading bursa Indonesia sehingga risiko altcoin tertentu menjadi tidak ada harganya," imbuhnya.
Baca Juga: OJK: Regulasi Makin Jelas Dorong Nilai Transaksi Kripto Tumbuh Pesat di 2024
Selanjutnya: Korsel Hentikan Produksi, Begini Penjualan Hyundai Ioniq 5 di Indonesia
Menarik Dibaca: KAI Luncurkan KA Perintis Cut Meutia di Aceh, Tarif Rp 2.000
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News