Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja emiten properti tercatat positif sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2025. Sayangnya, upaya mempertahankan kinerja mereka ke depan tak terlalu mulus.
Sejumlah emiten properti mencatatkan pertumbuhan kinerja sepanjang periode Januari-September 2025.
Misalnya, PT Ciputra Development Tbk (CTRA) yang membukukan laba bersih sebesar Rp1,62 triliun pada kuartal III 2025, meningkat 26,99% dibandingkan periode sama tahun lalu. Penjualan tercatat Rp8,39 triliun, meningkat 17,91% year on year (YoY) dari sebelumnya Rp7,11 triliun.
PT Pakuwon Jati Tbk (PWON) membukukan laba bersih sebesar Rp1,72 triliun per kuartal III 2025. Laba bersih tercatat tumbuh 3,85% secara tahunan dari Rp1,66 triliun pada periode sama tahun sebelumnya.
PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk (PANI) mengantongi pendapatan Rp3,09 triliun, naik 48% dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 2,09 triliun. Per kuartal III 2025, laba bersih sebesar Rp791,3 miliar, tumbuh 62% YoY.
Baca Juga: Laju Emiten Properti Masih Tertahan, Cermati Saham Rekomendasi Analis
“Capaian ini menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah PANI, seiring percepatan serah terima unit rumah tapak, produk komersial seperti Ruko, Rukan, SOHO dan penguatan tanah komersial di kawasan PIK2,” kata Presiden Direktur PANI, Sugianto Kusuma alias Aguan dalam keterangan resmi, Selasa (4/11/2025).
Di sisi lain, ada pula emiten properti yang bernasib sebaliknya. Misalnya, PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) yang mencatatkan pendapatan usaha Rp 8,76 triliun per kuartal III 2025, turun 12,95% YoY dari Rp 10,06 triliun. Laba bersih menjadi Rp 1,36 per September 2025, terkoreksi 49,53% YoY dari Rp 2,7 triliun.
PT Metropolitan Land Tbk (MTLA) pun sama. Pendapatannya turun dari Rp 1,30 triliun per September 2024 menjadi Rp 1,13 triliun per periode ini. Laba bersih juga turun ke Rp 232,45 miliar per kuartal III 2025, dari sebelumnya Rp 313,83 miliar.
Aqil Triyadi, Analis Panin Sekuritas mengatakan, kenaikan kinerja CTRA lebih disebabkan raihan marketing sales perseroan yang positif dalam 1-2 tahun lalu.
“Kinerja PWON lebih didorong oleh recurring income yang tumbuh 7,7% YoY dan memang mayoritas 80% pendapatan PWON dari recurring income,” katanya kepada Kontan, Rabu (5/11/2025).
Analis Pilarmas Investindo Sekuritas, Arinda Izzaty melihat, kenaikan kinerja keuangan CTRA, PANI, dan PWON pada kuartal III 2025 terutama disebabkan oleh pengakuan pendapatan dari proyek yang sudah mencapai tahap serah terima, efisiensi biaya, serta kontribusi proyek-proyek dengan margin tinggi.
CTRA berhasil mencatat peningkatan laba berkat kombinasi pendapatan dari proyek yang selesai serta pengendalian beban operasional.
Baca Juga: Cermati Rekomendasi Saham Emiten Properti Kawasan Industri yang Layak Dilirik
PANI mengalami lonjakan kinerja karena mulai mengakui pendapatan dari proyek-proyek komersial dan residensial di kawasan PIK2 yang memiliki margin besar, meski marketing sales-nya bisa berfluktuasi tergantung jadwal peluncuran proyek.
PWON juga mencatat pertumbuhan laba seiring meningkatnya kontribusi pendapatan berulang dari segmen mal dan perkantoran serta pengakuan proyek residensial yang rampung.
“Sebaliknya, penurunan kinerja MTLA dan BSDE terjadi akibat perbedaan waktu pengakuan pendapatan, kenaikan biaya konstruksi, dan margin yang tertekan,” ujarnya kepada Kontan, Rabu (5/11/2025).
Tren Marketing Sales
Jika dilihat dari tren raihan pendapatan prapenjualan alias marketing sales, kinerja mereka semua terbalik.
CTRA mencatatakan marketing sales Rp 7,6 triliun hingga September 2025, merosot 12% YoY. Ciputra bahkan merevisi target marketing sales mereka dari Rp 11 triliun menjadi Rp 10 triliun di tahun ini, turun 9% YoY.
PWON juga baru mengantongi marketing sales Rp 903 miliar per September 2025, turun 20% YoY.
PANI mencatatkan marketing sales sebesar Rp1,98 triliun. Namun, PANI juga menurunkan target pendapatan prapenjualan alias marketing sales menjadi Rp 4,3 triliun untuk tahun 2025. Sebelumnya, PANI memasang target raihan marketing sales RP 5,3 triliun di tahun ini.
Sementara, marketing sales BSDE sebesar Rp 7,10 triliun per akhir kuartal III 2025, tumbuh 4% YoY dari Rp 6,84 triliun di periode sama tahun lalu. MTLA juga mengatongi kenaikan marketing sales sebesar 4% YoY menjadi Rp 1,34 triliun per akhir Septembet 2025.
Baca Juga: Insentif PPN DTP Diperpanjang Sampai Tahun 2026, Ini Prospek Kinerja Emiten Properti
Head of Equity Research Kiwoom Sekuritas Liza Camelia Suryanata mengatakan, fenomena ini menggambarkan perbedaan mendasar antara booking performance dan financial performance.
Artinya, penjualan baru yang tinggi belum tentu langsung tercermin dalam laporan laba, jika belum mencapai tahap pengakuan pendapatan.
Liza pun mempertanyakan apakah sektor properti sedang kuat secara fundamental atau hanya menopang kinerja lewat backlog lama dan efisiensi temporer.
“Jika penjualan baru tak segera menembus pipeline baru, risiko earnings stagnation di 2026 bisa muncul lebih cepat dari perkiraan,” ujarnya kepada Kontan, Rabu (5/11/2025).
Aqil melihat, pencatatan keuangan emiten properti, khususnya segmen residensial biasanya tergantung pada serah terima huniannya, antara 1-3 tahun setelah pencatatan marketing sales.
“Sehingga, raihan marketing sales tahun ini tidak selalu sejalan dengan accounting sales,” katanya.
Prospek dan Rekomendasi
Aqil melihat, kinerja marketing sales emiten properti masih cenderung melambat hingga akhir 2025, seiring dengan tantangan daya beli masyarakat.
Pertumbuhan marketing sales berpotensi naik di tahun 2026 yang didorong oleh penurunan suku bunga, upaya perbaikan daya beli dari pemerintah, dan insentif PPN DTP yang dilanjutkan sampai 2027.
Namun risiko datang dari ketidakpastian global dan daya beli masyarakat yang belum terlihat memulih, meskipun pemerintah cukup agresif memberikan insentif. Lalu, meningkatnya alternatif investasi lain, seperti emas dan kripto, yang mendorong penurunan permintaan untuk aset properti dari investor dan lebih didominasi oleh end user.
“Secara valuasi saat ini emiten properti sudah cukup murah, namun investor masih melihat pertumbuhan marketing sales akan cenderung flat karena kondisi makroekonomi,” tuturnya.
Baca Juga: Pemangkasan Suku Bunga Hingga Insentif PPN Diproyeksi Dorong Kinerja Emiten Properti
Aqil pun merekomendasikan beli untuk CTRA, BSDE, dan PWON dengan target harga masing-masing Rp 1.100 per saham, Rp 1.200 per saham, dan Rp 450 per saham.
Arinda melihat, hingga akhir 2025 dan memasuki tahun 2026, kinerja emiten properti diperkirakan akan bergerak bervariasi namun cenderung membaik bagi perusahaan dengan proyek siap serah terima dan struktur keuangan kuat.
Sentimen positif utama berasal dari kebijakan moneter yang lebih longgar, di mana Bank Indonesia (BI) telah menurunkan suku bunga untuk mendorong pembiayaan perumahan dan konsumsi.
Lalu, ada program pemerintah seperti relaksasi PPN DTP untuk rumah dan dukungan sektor pembiayaan juga menjadi katalis pertumbuhan marketing sales. “Selain itu, permintaan properti residensial menengah ke bawah diperkirakan meningkat seiring stabilnya daya beli masyarakat,” ujarnya.
Namun, terdapat sejumlah sentimen negatif yang masih membayangi. Seperti, potensi kenaikan biaya konstruksi, pelemahan rupiah yang dapat menekan margin, serta risiko keterlambatan serah terima proyek yang dapat menggeser pengakuan pendapatan ke tahun berikutnya.
Baca Juga: Emiten Properti Merespons Positif Penurunan Suku Bunga, Cek Rekomendasi Saham Berikut
Tekanan juga datang dari potensi oversupply di segmen menengah ke atas, serta perlambatan ekonomi global yang bisa menahan permintaan investor asing.
Secara keseluruhan, tahun 2026 berpotensi menjadi tahun normalisasi. Developer dengan diversifikasi pendapatan, seperti CTRA dan PWON, memiliki peluang lebih stabil. Sedangkan, yang mengandalkan proyek tunggal atau segmen premium masih menghadapi volatilitas,” katanya.
Secara umum, valuasi sektor properti dinilai belum sepenuhnya mencerminkan potensi fundamentalnya, terutama untuk emiten yang memiliki pipeline proyek besar dengan jadwal serah terima pada 2026.
Arinda merekomendasikan CTRA dan BSDE dengan target harga masing-masing Rp 1.300 per saham dan Rp 1.200 per saham.
Liza melihat, perpanjangan insentif PPN DTP hingga 31 Desember 2027 memperpanjang dorongan bagi segmen rumah tapak menengah. Tetapi, secara bersamaan juga menyingkap realita bahwa daya beli masyarakat belum pulih cukup kuat untuk menopang pasar tanpa stimulus fiskal.
“Pemerintah memilih menjaga policy-driven demand agar aktivitas konstruksi dan serah terima tetap hidup,” tuturnya.
Positifnya, langkah rersebut memberi ruang waktu bagi pengembang untuk menghabiskan backlog dan menyesuaikan strategi produk. Namun ketergantungan terhadap stimulus juga menandakan pemulihan sektor masih rapuh.
“Belanja rumah, yang merupakan produk berbiaya mahal dan bersifat non-esensial, masih tertahan oleh tekanan biaya hidup dan pertumbuhan upah yang lambat,” ungkapnya.
Dengan suku bunga domestik yang berpotensi turun pada 2026 dan stimulus masih aktif, emiten dengan portofolio rumah tapak di bawah Rp 2 miliar dan backlog siap serah terima akan mencatat performa stabil.
Namun untuk menggaet segmen atas, pengembang perlu berinovasi pada penambahan nilai aset. Seperti, proyek berkonsep eksklusif, kolaborasi global, serta narasi gaya hidup premium, bukan sekadar andalkan potongan PPN.
“Tahun 2026 bukan masa euforia, melainkan masa penyaringan siapa saja yang mampu bertahan lewat inovasi model bisnis dan strategi produk, bukan sekadar bergantung pada insentif pemerintah,” tuturnya.
Baca Juga: Emiten Properti Masih Hadapi Tantangan di Semester II , Cek Rekomendasi Analis
Selanjutnya: Japfa (JPFA) Beberkan Penyebab Kinerja Moncer per Kuartal III-2025
Menarik Dibaca: Prediksi Qarabag FK vs Chelsea Rabu (6/11): The Blues Siap Sapu Bersih Kemenangan!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













