kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.517.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.999   -70,00   -0,44%
  • IDX 7.325   -69,45   -0,94%
  • KOMPAS100 1.108   -12,29   -1,10%
  • LQ45 866   -9,18   -1,05%
  • ISSI 225   -1,80   -0,79%
  • IDX30 443   -4,72   -1,05%
  • IDXHIDIV20 533   -5,21   -0,97%
  • IDX80 126   -1,29   -1,01%
  • IDXV30 131   -0,17   -0,13%
  • IDXQ30 147   -1,21   -0,81%

Kebijakan Trump Bakal Kurangi Daya Tarik Surat Utang Indonesia


Minggu, 15 Desember 2024 / 20:51 WIB
Kebijakan Trump Bakal Kurangi Daya Tarik Surat Utang Indonesia
ILUSTRASI. Pasar surat utang Indonesia kehilangan daya tarik usai kemenangan presiden terpilih AS Donald Trump


Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kebijakan Presiden Terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump berpotensi mengurangi daya tarik investasi di pasar surat utang Indonesia. Serangkaian kebijakan Trump bakal menarik minat investasi ke pasar keuangan Amerika Serikat (AS).

Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas, Ramdhan Ario Maruto melihat, investor masih menunggu kebijakan-kebijakan yang bakal diambil oleh Trump. Antisipasi pasar tersebut karena kepemimpinan Donald Trump sebelumnya erat dengan ketidakpastian seperti yang ditimbulkan dari perang dagang AS-China.

‘’Market masih menganggap bahwa pola dan cara Trump memang akhirnya akan membuat potensi ketidakpastian pasar akan meningkat di 2025,’’ kata Ramdhan kepada Kontan.co.id, Minggu (15/12).

Ramdhan berujar, walaupun baru akan dilantik pada Januari 2025 mendatang, namun kebijakan yang disampaikan sudah mengarah ke arah suku bunga ketat yang bisa memicu ketidakpastian. Pemerintah AS juga akan menguatkan ekonomi dalam negerinya.

Perang dagang AS juga akan menambah ketidakpastian sejalan dengan Trump bakal menerapkan tarif dagang tinggi terhadap beberapa negara. Dengan begitu, maka akan membuat investasi di negara berkembang salah satunya Indonesia tidak menjadi pilihan utama dan lebih memilih pasar AS.

Baca Juga: Kebijakan Trump Berpotensi Tekan Rupiah dan Obligasi Indonesia

Ramdhan menuturkan, wajar saja apabila yield atau imbal hasil obligasi domestik kemungkinan bakal tertekan di tahun depan. Pasar surat utang tertekan faktor eksternal dari ketidakpastian suku bunga ataupun perang dagang.

Di lain sisi, inflasi Indonesia cukup mendukung posisi obligasi domestik. Walaupun memang rencana kenaikan pajak seperti PPN 12% agak cukup mengganggu prospek perekonomian dalam negeri.

Pelemahan pasar surat utang domestik pun sudah terlihat saat ini dengan yield SUN tenor 10 tahun telah bergerak di level atas 7%. Fluktuasi di level tersebut diperkirakan masih akan berlanjut hingga pelantikan Trump pada 20 Januari 2025.

‘’Kemungkinan yield obligasi domestik akan di kisaran 7,1%-7,2% di semester tahun depan. Walaupun nanti ada penguatan, tapi penguatan pun sangat terbatas. Level positifnya sih saya memastikan mungkin antara 6,5%-7%,’’ ucap Ramdhan.

Menurut Ramdhan, sentimen negatif dari ancaman tangguhnya ekonomi AS itu juga telah menjadi kekhawatiran investor domestik. Sehingga, investor domestik turut menahan diri untuk berinvestasi di pasar SUN.

Dia menambahkan, Bank Indonesia (BI) kemungkinan akan menerbitkan banyak instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) di tahun depan. Hal itu sebagai upaya menjaga pelemahan rupiah dan menjadi instrumen investasi jangka pendek saat ketidakpastian.

Baca Juga: Penerbitan Obligasi Multifinance Capai Rp 30,52 Triliun, Begini Prospeknya pada 2025

‘’Secara keseluruhan, kita harus melihat dulu kebijakan-kebijakan Trump. Kita tidak bisa pungkiri bahwa Amerika merupakan leader di pasar keuangan global,’’ sebut Ramdhan.

Sebelumnya, PT Schroder Investment Management Indonesia (Schroder Indonesia) memandang pasar obligasi akan tertekan kuatnya dolar AS di tahun 2025. Kuatnya dolar bisa menekan rupiah yang pada akhirnya mendorong investor menjual kepemilikan obligasi.

‘’Kami meyakini bahwa imbal hasil obligasi akan tetap tinggi dan the Fed mungkin akan lebih sulit untuk menurunkan suku bunga sesuai dengan dot plot-nya, terutama jika kebijakan Trump disahkan menjadi undang-undang,’’ ungkap riset Schroder Indonesia Outlook 2025, yang dibagikan Kamis (12/12).

Schroder Indonesia menyebutkan bahwa meski sudah sampai keputusan pemangkasan suku bunga the Fed di akhir tahun ini, namun sentimen positif tersebut hanya bertahan sebentar. Sebab, hasil pemilu AS menobatkan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat ke-47.

Kebijakan Trump diperkirakan akan berdampak pada inflasi yang lebih tinggi, pro-pertumbuhan di AS, dan penguatan dolar yang tidak menguntungkan bagi pemegang US Treasury serta pasar negara berkembang.

Schroder mengantisipasi, perlu diwaspadai risiko kemungkinan nilai tukar rupiah akan tetap tertekan di tahun depan yang bisa mendorong aksi jual obligasi. Keunggulan dolar AS dan kekuatan saham AS memang sangat luar biasa, meskipun ada tanda-tanda pelemahan di pasar tenaga kerja mereka sejak pertengahan tahun 2024.

Dari sudut pandang investor asing, valuasi obligasi tetap mahal selama imbal hasil US Treasury tetap tinggi. Ini juga bertepatan dengan Presiden terpilih Trump dan kemenangan Partai Republik di kongres, yang kemungkinan akan membuat USD lebih kuat dan investor asing mungkin menunda investasi di mata uang pasar negara berkembang termasuk obligasinya.

Namun di tengah tantangan dari ekonomi AS tersebut, tren tingkat inflasi tahunan domestik menurun ke kisaran 1,7%-1,8%, membuat imbal hasil riil Indonesia menjadi 5,36%. Ini menjadikan obligasi Indonesia lebih menarik yang menempati peringkat pertama dibandingkan dengan peers BBB, yaitu India dan Filipina.

Baca Juga: Pasar Menanti Rapat The Fed, IHSG Diproyeksikan Bergerak Melemah, Senin (16/12)

Schroder Indonesia juga masih optimistis terkait kebijakan fiskal dan moneter yang dijalankan pemerintah baru akan positif bagi pasar obligasi tanah air, Hal itu mempertimbangkan terpilihannyakembali Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan yang dianggap ramah bagi pasar obligasi mengingat rekam jejaknya yang konservatif.

‘’Kami meyakini bahwa pengelolaan fiskal dalam jangka pendek kemungkinan akan tetap dapat terkendali, meski kami tetap memperhatikan tentang dampak jangka menengah dari kebijakan pemerintah yang dapat menyebabkan defisit dan penerbitan utang yang lebih tinggi,’’ sebut Schroder.

Schoder akan lebih defensif pada pasar obligasi di tahun 2025 karena melihat risiko pelemahan rupiah. The Fed bisa menjadi kurang akomodatif, sehingga Bank Indonesia akan kesulitan untuk melonggarkan kebijakan.

Selain itu, kebutuhan refinancing yang tinggi di pasar SUN dapat menimbulkan risiko pasokan. Sisi positifnya, investor ritel akan terus tumbuh seiring dengan meningkatnya penerbitan surat utang di tahun depan.

Selanjutnya: 216 PUJK Ganti Kerugian Konsumen Senilai Rp 205,57 Miliar per November 2024

Menarik Dibaca: Daerah Ini Alami Hujan Petir, Simak Prakiraan Cuaca Besok (16/12) di Jawa Barat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×