kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Indonesia sudah resesi sejak kuartal I 2020


Jumat, 16 Oktober 2020 / 22:45 WIB
Indonesia sudah resesi sejak kuartal I 2020
ILUSTRASI. Chief Economist CIMB Niaga, Adrian Panggabean


Reporter: Djumyati Partawidjaja | Editor: Djumyati P.

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ada banyak orang yang panik melihat Indonesia masuk dalam resesi. Tapi akan menjadi seperti apa sebenarnya kondisi perekonomian kita di tahun 2020 ini? Apakah pertumbuhan ekonomi akan bisa segera pulih di awal tahun 2021?

Berikut ini wawancara khusus KONTAN denagan Adrian Panggabean Chief Economist Bank CIMB Niaga Tbk tentang kondisi ekonomi makro terakhir, pandemik covid-19 omnibus law cipta kerja, perekonomian global dan pengaruhnya terhadap perkonomian Indonesia.

Bagaimana Anda melihat perkembangan ekonomi di Indonesia setelah di kuartal 3 ini?

Di kuartal ke-3 kalau melihat dari data-data tradisional dan data-data non tradisional, data-data non tradisional yang saya maksud itu adalah retail sales, terus kemudian penjualan mobil, penjualan motor dan juga berbagai indikator lainnya.

Lalu kalau non tradisional misalnya Google Foot Mobility Index lalu observasi secara lapangan observasi jumlah crane di beberapa kota.

Lalu kemudian melihat dari statistik penerbangan, volume penjualan di SPBU, penumpang kereta api dan lain sebagainya. Kuartal ke-3 itu memang lebih membaik dibandingkan kuartal 2, tapi tetap masih jauh dibanding kuartal 1. Artinya, perekonomian di kuartal 3 itu masih cukup dalam kontraksinya, walau tidak sedalam di kuartal 2.

Kalau berdasarkan semua data itu daya hitung, dengan korelasi-korelasi tertentu dengan teknik national income accounting yang biasa dilakukan, saya ketemu angka pertumbuhan di kuartal 3 itu -3,3% YoY. Jadi pertumbuhan ekonomi -5,3% di kuartal 2 dan 2,97% di kuartal 1, kuartal 3 ini memang sudah improve dibandingkan kuartal 2.

Nah dengan adanya disbursement program PEN di bulan September terkait dengan berbagai macam aktivitas di funding market, saya berpikir, saya melihat di kuartal 4 itu pertumbuhan ekonomi masih negatif sekitar 2%. Funding market itu pasar pembiayaan ya, baik di obligasi, pasar saham maupun di perbankan yaitu loan growth maupun deposit growth, maupun keseimbangan di antara itu semua. Jadi overall di tahun 2020 pertumbuhan ekonominya antara -1,9% ke -2,1%.

Yang kedua, kalau saya lihat dari leading economic indicator yang ada, dalam 6 bulan ke depan sejak angka terakhir  yaitu Agustus, pertumbuhan terakhir itu akan berada di bawah tren growth kita.

Nah kalau itu saya translate ke dalam angka, kemungkinan besar di  kuartal pertama di 2021 itu pertumbuhan secara YoY itu sudah positif. Tetapi kalau misalnya saya terjemahkan angka itu menjadi quarter on quarter seasonally adjusted kuartal 1 2021 masih negatif angkanya. Yang artinya kita berada di dalam zona resesi akan sampai kuartal 1 2021.

Formulasi standard dan baku yang saya pergunakan seperti ini sebetulnya memperlihatkan bahwa kita sebenarnya sudah mengalami pertumbuhan negatif secara quarter on quarter seasonally adjusted sejak kuartal ke 4 2019.

Jadi saat kuartal 1 2020, saat kita mendapatkan pertumbuhan ekonomi 2,97% YoY itu secara quarter on quarter seasonally adjusted sudah negatif.

Bagaimana sebenarnya kita menentukan kondisi perekonomian dalam resesi?

Kalau kita mau mendefinisikan sebuah zona itu resesi atau depresi, atau recovery, atau boom itu kan sebetulnya kita ingin melihat bentuk dari business cycle.

Itu kan kalau perekonomian sedang turun namanya resesi, kalau di bawah namanya depresi, kalau perekonomian naik ke atas namanya recovery, sedangkan pada waktu perekonomian di atas namanya boom. Dan itu kan bentuknya seperti kurva sinus.

Nah, business cycle ini kan adalah suatu terminologi yang kerap dipakai di bisnis terutama di sektor industri keuangan untuk menentukan fluktuasi dari perekonomian. Sekarang untuk menentukan dia sedang naik atau turun, kita harus melihat tren strukturalnya. Pada waktu kita mau melihat tren struktural, kita harus membuang elemen-elemen yang sifatnya musiman atau seasonal dan elemen yang acak.

Jadi sebuah data pertumbuhan ekonomi terdiri dari 3 komponen. Komponen struktural, komponen musiman, dan komponen acak. Komponen musiman itu misalnya musim Imlek, musim sekolah, musim libur, musim haji, musim Natal, musim panen, musim hujan. Musim-musim ini bisa menambah atau mengurangi struktur besarnya. Sementara untuk komponen acak misalnya tiba-tiba ada kerusuhan seperti demo omnibus law yang membuat kerugian karena kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan. Ada juga faktor acak yang menambah seperti Asian Games, itu kan sekali 5 tahun dan kebetulan Indonesia dapat jadi tuan rumah.

Kalau kita ingin melihat tren yang benar, kita harus membuang faktor musiman dan faktor acaknya itu. Untuk melihat struktur perekonomian kita itu seperti apa gerakannya, sehingga benar-benar ditentukan oleh produksi dan konsumsi dan keterkaitan keduanya.

Jadi kalau kita mengacu ke definisi yang baku, kita sebetulnya sudah berada dalam zona resesi di kuartal 1 2020

Nah jadi busines cycle itu harus dilihat seperti itu, menghilangkan faktor musiman dan acak. Ada teknik yang namanya seasonal adjustment. Dalam kuliah statistik sih itu dipelajari. Lalu kemudian kita melihat output sebuah kuartal dengan kuartal sebelumnya. Periode sebelumnya ya, bukan periode yang sama di tahun sebelumnya. Jadi Q2 dibandingkan Q1, Q3 dibandingkan Q2, Q4 dibandingkan Q3 bukan Q3 2020 dibandingkan Q3 2019.

Kita hanya boleh membandingkan kuartal ke kuartal kalau faktor musiman dan acaknya sudah dibuang. Jadi kita membandingkan data struktural dengan data struktural. Itu adalah terminologi dan konsep baku dalam menghitung business cycle yang di dalamnya konsep resesi.

Kalau memakai perhitungan seperti itu Indonesia sebenarnya sudah mengalami pertumbuhan -0,52% di kuartal 4 2019, kita mengalami lagi pertumbuhan negatif di kuartal 1 2020 waktu kita masih positif YoY.

Sehingga kalau dua kali berturut-turut negatif quarter on quarter seasonally adjusted, maka diklaim sebagai resesi. Jadi kalau kita mengacu ke definisi yang baku, kita sebetulnya sudah berada dalam zona resesi di kuartal 1 2020. Kuartal 2 2020 itu kita yang kedua kalinya mengalami pertumbuhan negatif. Kalau di kuartal 3 negatif lagi berarti itu kuartal yang ke 4 berturut-turut.

Saya menduga kita akan mengalami pertumbuhan negatif juga di kuartal 4 2020 dan kuartal 1 2021 dengan perhitungan quarter on quarter seasonally adjusted. Dan dugaan ini saya ambil dari leading indicator yang saya lihat.

Leading indicator ini kan sebenarnya adalah high frequency data yang dikonstruksikan sedemikian rupa sehingga bisa dijadikan alat untuk memproyeksi dinamika perekonomian 3-6 bulan ke depan. Ini salah satu teknik forecasting. Nah leading indicator yang saya lihat memberikan indikasi kuat, kita mungkin masih akan mengalami kontraksi sampai kuartal 1 2021. Kalau itu benar, artinya kita akan berada dalam zona resesi selama 5 kuartal.

Jadi salah kalau ada orang mengatakan kita belum akan resesi menunggu data YoY data di kuartal 3.

Kalau untuk sampai depresi itu berapa kuartal?

Bedanya depresi dan resesi lebih ke kedalamannya. Jadi kalau misalnya dalam sekali misalnya -10 dan itu terjadi selama beberapa kuartal berturut-turut ya depresi namanya.

Di banyak negara maju, jurinya ada untuk menentukan resesi atau tidak. Yang pasti bukan badan pusat statistiknya, tapi sebuah lembaga riset yang disegani. Di Amerika misalnya, jurinya namanya National Bureau of Economic Research (NBER). Kita tidak punya juri. Tapi umumnya, apakah sebuah negara punya atau tidak punya juri seperti ini, ini semua adalah terminologi baku. Jadi salah kalau ada orang mengatakan kita belum akan resesi menunggu data YoY data di kuartal 3.

Dampaknya apa kalau resesi terjadi sampai kuartal 1 2021?

Itu artinya momentum perekonomian sampai kuartal 1 tahun depan itu masih cukup lemah. Nah kita juga tahu bahwa POJK No 11 tahun 2020 yang menjadi dasar adanya menjadi dasar program restrukturisasi relaksasi terkait pemulihan ekonomi nasional itu akan berakhir pada akhir Maret 2021. Dan sampai saat ini kan sampai awal September berdasarkan data yang dikeluarkan OJK, total pinjaman yang sudah direstrukturisasi di perbankan itu kan mencapai hampir Rp 90 triliun. Itu kan kira-kira 16% dari total loan outstanding. Besar sekali lo itu 16%.

Dan kalau kita tambah jumlah kontrak yang direstrukturisasi di perusahaan pembiayaan yang hampir mencapai Rp 170 triliun, gabungannya mencapai  sekitar Rp 1.050 T – Rp 1.060 T. Dan ini kan besar sekali, itu kan sekitar 7% dari PDB.

Bukannya tidak mungkin dari Rp 1.050 triliun itu ada yang kemudian gagal bayar kan. Nah kalau itu terjadi, ya mungkin efeknya di 2021. Itu kan bank itu harus membukukan.

Kita memang u shape recovery. Disebut sebagai u shape karena tren growth-nya bergeser

Kalau sekarang kan tidak boleh dibukukan sebagai kredit macet. Nah kalau sekarang misalnya itu terjadi di 2021, tidak ada mekanisme kebijakan yang berkesinambungan, itu kan semuanya masuk dalam jenis kategori kredit tertentu. Entah macet atau call berapa dia 2, 3, 4, 5, enggak tahu kan?

Nah itu kan artinya mempengaruhi NPL kan. Dan NPL mempengaruhi tingkat provisi dari bank, tingkat provisi dari bank mempengaruhi capital adequacy ratio-nya dan lain sebagainya.

Dan itu akan memiliki dampak terhadap perekonomian. Jadi 2021 itu tidak mungkin ekonomi Indonesia rebound sekencang itu dan kembali ke garis tren pertumbuhan kita sebelumnya. Enggak mungkin. Itu sebabnya saya berpikir dan saya melihat di tahun 2021 itu kelihatannya tingkat pertumbuhan ekonomi kita itu mungkin hanya mencapai 3,8%.

Kita memang u shape recovery nih. Disebut sebagai u shape karena tren growth-nya bergeser. Artinya income per capita kita di tahun 2021 hanya akan lebih tinggi dari  tahun 2018.

Too little too late itu benar.

Apakah proyeksi ini bisa lebih buruk?

Ada beberapa problem sebenarnya yang membuat perekonomian kita tidak bisa rebound dengan cepat. Satu itu skala intervensi kita itu kecil dibandingkan dengan negara lain. Kalau kita lihat stimulusnya, kita kecil karena kantong kita juga tidak begitu dalam ya.

Kedua, kita juga relatif terlambat.  Too little too late itu benar. Too little itu kita lihat dari magnitude-nya, misalnya contoh kita ingin supaya defisit APBN kita mencapai 6,3% dari PDB di tahun 2020. Tapi realitas di lapangan kan kita sampai Agustus saja defisitnya masih kurang lebih 3% dari PDB. Sehingga kalau kita annualized sampai Desember dengan 4 bulan tersisa, ya mungkin kita punya realisasi defisit cuma 5%. Akibatnya daya dorongnya tidak sekuat yang di harapkan.

Itu terjadi karena policy reaction function-nya terlambat. Misalnya, kesepakatan antara BI dan Kementerian Keuangan terkait dengan burden sharing, ini kan baru disepakati Juli dan mekanisme pembeliannya baru dilakukan setelah Juli. Dan ini perlahan-lahan. Setelah itu sampai dengan September realisasinya baru 25%.

Selain itu penyaluran APBN sendiri lambat, karena mentok masalah DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran). DIPA ini kan adalah mekanisme akuntabilitas dan business process dalam public finance atau keuangan negara. Ini adalah suatu momok besar bahkan sejak 40 tahun yang lalu.

Dulu namanya bukan DIPA, sebelum reformasi DIPA itu terpecah 2. Dulu kan proses anggaran itu dipegang Bappenas dan Departemen Keuangan. Anggaran rutin di Departemen Keuangan, anggaran pembangunan dikelola oleh Bappenas. Di Bappenas namanya DIP (Daftar Isian Proyek), di Departemen Keuangan namanya DIK (Daftar Isian Kegiatan).

Sistem ini menimbulkan masalah karena business process-nya menimbulkan masalah yang terkait dengan akuntabilitas, korupsi. Lalu kemudian saat reformasi, mekanisme ini dibongkar DIP dan DIK digabungkan menjadi DIPA yang dikonsolidasikan di Kementerian Keuangan.

Nah DIPA ini sebenarnya mirip dengan yang lama dan fokusnya lebih kepada akuntabilitas, pengetatan proses anggaran. DIPA ini ibarat pintu air sebenarnya titik temu dari 4 arus kepentingan, yaitu politik, ekonomi, sektoral, dan treasury atau funding.

Maksudnya, kebijakan fiskal itu kan adalah kebijakan ekonomi sebagai konsekuensi keputusan politik.  Yang kedua adalah refleksi dari kebijakan ekonomi, pemerintah itu maunya ke mana. Ketiga, strategi sektoral dan keempat adalah kebijakan treasury. Funding dan refunding, makanya ada utang, bayar utang, issuing bond dan segala macam. Itu kan mekanisme treasury. Semuanya itu bertemu di sebuah pintu yang namanya DIPA itu.

Bahkan banyak yang bingung membedakan antara objective, target pembangunan, outcome dan output sebuah project, dan kemudian hubungannya dengan input.

DIPA ini sebagai mekanisme akuntabilitas, seperti halnya kita mau minta duit ke kasir kan kita kan harus ada bukti dulu. Misalnya proyeknya mau ngapain, objective, output, outcome, input-nya apa. Jumlah uang yang dibutuhkan berapa, terminnya bagaimana, diajukan kementerian teknis.

Kelihatannya DIPA ini sejak reformasi 1998 itu fokusnya pada pengetatan keuangan negara. Tapi mekanisme lainnya dilupakan, jadi gak seimbang.

Itu satu faktor, faktor lainnya juga manusia. Kalau kita lihat di pemerintahan, banyak sekali orang yang tidak paham caranya membuat program. Bahkan banyak yang bingung membedakan antara objective, target pembangunan, outcome dan output sebuah project, dan kemudian hubungannya dengan input. Ini realitas di lapangan.

Akibatnya, pada saat anggaran akan turun dan mereka harus menyiapkan dokumen-dokumen itu bingung harus bagaimana menulisnya. Akibatnya, seperti kemarin itu ada ratusan triliun tidak punya DIPA. Sehingga kemudian diputuskan untuk jadi Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Ini kan kombinasi dua faktor, reformasi dalam business process dan pengetahuan dari aparatur negara dengan proses pembuatan proyek. Itu semua yang menyebabkan too late itu.

Sehingga pada September kuartal 3 hampir habis, baru turun. Itu pun sedikit uangnya. Nah akibatnya, di kuartal 3 itu daya dorong dari APBN tidak tampak. Nah ini akan terjadi terus sampai kuartal ke-4 2020.

Di banyak negara yang saya bandingkan, ada yang begini ada juga yang enggak.

Kalau bicara mengenai kemampuan SDM kan sebenarnya masalah struktural. Dengan sekarang diterbitkan Omnibus Law Cipta Kerja apakah betul bisa menjadi solusi meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan mendatangkan investor asing?

Omnibus law ini kan adalah undang-undang untuk menyelesaikan berbagai macam hambatan dengan sekali tendang bola, ceritanya kan begitu. Di dalamnya itu banyak sekali targetnya.

Ya nanti kita lihat saja di petunjuk pelaksanaannya, karena undang-undang ini kan tidak bisa dilaksanakan sampai ada juklaknya.

Nah kalau sekarang kalau kita mau menciptakan lapangan kerja, salah satu elemen omnibus law ini kan tentang pasar tenaga kerja. UU Ketenagakerjaan yang lama  kan dianggap sangat pro buruh, sehingga menyebabkan high cost economy tanpa menaikkan produktivitas.

Apakah omnibus law ini akan bisa memperbaiki iklim di tenaga kerja? Ya kita mesti lihat. Bagaimana cara melihatnya? Ya nanti kita lihat saja di petunjuk pelaksanaannya, karena undang-undang ini kan tidak bisa dilaksanakan sampai ada juklaknya. Semua undang-undang itu butuh peraturan pelaksanaan, mulai dari peraturan pemerintah, peraturan menteri, surat edaran.

Perangkat peraturan pelaksanaan ini yang di Indonesia itu kerap kali jadi bermasalah. Sering kali dalam peraturan pelaksanaan di Indonesia itu terlampau detail di spesifikasi atau terlalu sumir di spesifikasi. Sehingga yang terlalu detail itu membuat menjadi terlalu rigid, sementara yang terlampau sumir itu membuka ruang negosiasi. Inilah semua yang akan mempengaruhi perilaku pasar.

Tetapi ease of doing business ini hanya elemen ke 3 dari 3 elemen penting FDI

Itu satu ya dari tenaga kerja, tapi kalau ditanya apa dampaknya, kita lihat saja bagaimana peraturan pelaksanaannya. Kalau sekarang sih mau komentar susah. Ibarat rumah kubah besarnya sih kelihatannya indah. Tapi kita lihat saja pelaksanaannya.

Nah untuk Foreign Direct Investor (FDI), apakah ini bisa memperbaiki FDI? Salah satu problem dalam FDI kita itu kan adalah ease of doing business. Misalnya ribet urusan izin antara pusat dan daerah.

Tetapi ease of doing business ini hanya elemen ke 3 dari 3 elemen penting FDI. Elemen penting no 2 adalah kepastian hukum. Jadi misalnya legal process, efisiensi dari legal process, kepastian dari hukumnya, atau judicial independent sering kali jadi masalah. Ini kan sudah bukan rahasia lagi kan.

Kepastian hukum ini kan tidak diatasi dengan omnibus law, undang-undangnya kan berbeda.

Kepastian hukum di Indonesia ini kan kalau mau kita bandingkan dengan Singapura misalnya, ya kan kita parah. Itu kan yang menyebabkan banyak pebisnis itu ingin arbitrase dilakukan di pengadilan Singapura. Itu elemen no 2. Kepastian hukum ini kan tidak diatasi dengan omnibus law, undang-undangnya kan berbeda.

Yang nomor 1 yang penting juga adalah foreign policy atau kebijakan luar negeri.

Yang nomor 1 yang penting juga adalah foreign policy atau kebijakan luar negeri. Bahkan sebetulnya dalam literatur mengenai FDI dalam 2 hal yang paling penting yang menentukan laju flow FDI itu adalah kebijakan luar negeri dan kepastian hukum. Kebijakan luar negeri ini jelas tidak ada dalam omnibus law.

Kebijakan luar negeri ini sebetulnya menentukan apa? Contohnya Singapura atau Australia, aliansinya ke Barat yaitu Amerika Serikat dan Eropa. Kapal induk Amerika itu mampirnya di Singapura dan Australia.

Vietnam misalnya, jelas kebijakan luar negerinya: China teman saya. Sehingga pada saat terjadi relokasi dari China ke Asia lainnya, Vietnam yang mendapatkan keuntungan selain memang secara geografis juga menguntungkan untuk China.

Nah kita itu kan bebas aktif. Setahu saya untuk FDI, karena separuh karier saya di luar negeri,  2 faktor ini yang paling penting. Kalau untuk ease of doing business, selama itu profitable ya akan dijalankan. Ribet sedikit gak apa-apa yang penting kan jalan. Nah jadi apakah omnibus law itu bisa meningkatkan FDI? Belum tentu menurut saya, karena hanya menyelesaikan satu dari 3 elemen penting. Tapi 2 elemen utama malah di luar dari omnibus law ini.

Kalau dari kesempatan kerja, apakah UU ini akan bisa menciptakan lapangan pekerjaan? Kalau kita lihat kan ada banyak demo yang menentang baik dari buruh maupun pemda?

Ya kalau itu kembali saya bilang seperti yang di atas. Harus dilihat dari peraturan-peraturan pelaksanaannya.

Saya sih sudah mengantisipasinya sejak awal, karena setiap ada perubahan undang-undang di mana membuat pendulum itu bergerak, pasti akan ada yang dirugikan dan diuntungkan. Yang dirugikan pasti teriak yang diuntungkan pasti tertawa.

Setiap UU disepakati, kalau kita mau lihat ke depan, public choice theory itu mengatakan memang animo dan aspirasi harus ditampung. Tetapi itu kan tugasnya para politisi, mereka dibayar untuk menjembatani masalah seperti itu.

Sebagai pelaku bisnis sih saya melihat dengan sangat cermat implementasi aturan-aturannya akan seperti apa. Karena itu akan mempengaruhi keputusan bisnis jangka panjang.

Kalau untuk update perkembangan di global, dengan perkembangan baru di Amerika sekarang ini bagaimana pengaruhnya ke Indonesia?

Kalau kita masuk dalam tataran global, harus ingat yang membedakan krisis kita kali ini dengan krisis 2008 dan 1998 ada 3 hal. Pertama krisis 2020 berbeda dengan 2 krisis sebelumnya karena ada faktor kesehatan di krisis 2020, di 2 krisis sebelumnya itu murni ekonomi dan keuangan.

Kedua, tahun ini semua negara kena. Di 2 krisis sebelumnya sebagian yang kena, sebagian masih bagus. Di tahun 1998 Asia yang kena, Amerika dan Eropa kan sukses. Akhirnya mereka masuk dan membeli aset-aset kita dengan harga murah. Kita juga bisa jualan dengan harga murah karena terdepresiasi. Waktu 2008 yang kena itu kan Eropa dan Amerika Serikat, Asia sukses. Makanya China banyak membeli aset-aset di Amerika dan Eropa. Sekarang ini karena yang kena semuanya berdampak ke capital flow. Kalau dulu capital flow dari Amerika dan Eropa ke Asia atau Asia ke Amerika dan Eropa, sekarang kan semuanya memikirkan diri sendiri.

Sudah 8 bulan tidak ada global solution. Semua negara memikirkan diri sendiri, tidak ada inisiatif, tidak ada leadership juga.

Ketiga, mekanisme solusinya. Pada tahun 1998 itu adalah regional problem ada regional solution. Pada tahun 2008 itu adalah trans-Atlantic problem lalu ada trans-Atlantic solution makanya kita mengenal yang namanya Troika, Dodd-Frank Act dan segala macam lainnya. Pokoknya solusi trans-Atlantic Amerika dan Eropa bekerjasama dengan erat. Di tahun 2020 itu global problem tapi tidak ada global solution.

Sudah 8 bulan tidak ada global solution. Semua negara memikirkan diri sendiri, tidak ada inisiatif, tidak ada leadership juga. Ini masalah. Jadi tanpa adanya global solution, tidak akan ada global recovery atau mungkin akan lama recovery-nya. Akibatnya pertumbuhan ekonomi sekarang itu buruk, lebih buruk dari 2008 bahkan.

Atau mungkin mereka menunggu vaksin ditemukan?

Masalahnya kan vaksin itu bukan global solution, itu kan mengurus diri sendiri-sendiri. China mengurus dirinya sendiri, malah dikata-katai oleh negara-negara lainnya. Rusia juga mengurus dirinya sendiri, Amerika diejek-ejek juga. Ya semua mengurus diri sendiri kan, tidak ada global solution.

Kan tidak mungkin harga vaksin itu sedemikian rupa sehingga nanti yang miskin tidak dapat yang kaya bisa stock up vaksin misalnya

Artinya penemuan vaksin ini nanti dari salah satu atau beberapa perusahaan bisa menjadi masalah juga, karena vaksin itu kan untuk seluruh penduduk di dunia?

Ada 7 miliar orang. Ini kan sebetulnya meringkas global solution itu harus ada. Kita tuh orang ekonomi bicara tentang externalities. Negative externalities spillover ke mana-mana harus diselesaikan secara nasional, misalnya masalah keamanan. Keamanan ini kan tidak mungkin dibiayai oleh swasta harus secara nasional. Masalah endemi atau penyakit, itu kan masalahnya ke mana-mana, harus diselesaikan secara nasional. Makanya masalah kesehatan diselesaikan secara nasional dibayar oleh pajak.

Ini kan global pandemik, artinya externalities secara global. Ya harus diselesaikan secara global, semua negara. Contoh, harga vaksin berapa nantinya. Kan tidak mungkin harga vaksin itu sedemikian rupa sehingga nanti yang miskin tidak dapat yang kaya bisa stock up vaksin misalnya. Bukan hanya bicara soal orang, tapi negara.

Atau misalnya vaksin dikontrol oleh negara kaya, negara miskin akhirnya terbeban. Kan enggak boleh, ini kan global externalities. Nah solusi seperti ini kan tidak pernah ada. Sekarang ini siapa yang mesti memimpin. Makanya saya bilang leadership-nya tidak ada. Ini terjadi vakum, kenapa terjadi?

Ini karena terjadi polarisasi. Dan polarisasi yang terjadi itu kan multidimensional.

Ini karena terjadi polarisasi. Dan polarisasi yang terjadi itu kan multidimensional. Ada polarisasi ideologi, China misalnya bilang keberhasilan kami mengatasi Covid-19 karena sistem sosialisme kami dan komunisme kami, kegagalan Anda di Amerika karena demokrasi. Ada lagi polarisasi secara politik, di Amerika Republik versus Demokrat. Di Indonesia juga sama 01 lawan 02. Di semua negara terjadi seperti itu.

Pertanyaannya adalah apakah pasar ini sudah price-in isu-isu seperti ini atau belum?

Ada juga polarisasi dari sudut income atau ekonomi. Misalnya, di Amerika 50 miliarder terkaya jumlah asetnya sudah sama dengan aset setengah penduduk Amerika. Dan ini terjadi tidak hanya di Amerika di semua negara, income disparitasnya makin lebar. Belum lagi kalau kita lihat polarisasi agama. Jadi polarisasi di dunia itu tajam sekali.

Ini yang menyumbang kepada tidak adanya global solution. Di tengah-tengah itu semua pasar saham itu naik terus. Pertanyaannya adalah apakah pasar ini sudah price-in isu-isu seperti ini atau belum? Saya yakin sih sebelum.

Saya sih lihat market ini gung ho (terlalu antusias) ya. Padahal isu underlying-nya itu besar sekali.

Artinya pasar sekarang di Amerika ini bubble?

Ya bubble itu juga kan view ya bukan fakta. Saya sih bilang itu bubble tapi ada orang yang bilang itu bukan bubble karena itu kan pendapat.

Tapi aliran dana di dunia ini kan harus mencari tempat?

Belum tentu juga, karena semua sedang kena. Kalau kita misalnya percaya bahwa uang itu akan mengalir ke tempat yang memberikan imbal hasil yang tinggi, kenapa di tahun 2008 terjadi outflow dari Indonesia tapi masuk ke emerging market lainnya yang imbal hasilnya lebih rendah? 

Sampai saat ini year to date outflow Indonesia itu terbesar di emerging market, tapi emerging market lainnya seperti Filipina, Korea sudah mulai masuk. Kenapa? Padahal imbal hasil mereka jauh lebih rendah. Mungkin karena faktor sentimen, saya tidak tahu. Yang pasti flow dari negara-negara maju itu ke emerging market tidak seperti semua orang antisipasi.

Kita memang harus melihat juga pemilik asetnya. Misalnya dana pensiun, ya mungkin pemerintahnya bilang tolong bantu negara kita sendiri ya jangan cari untung dulu. Kan tujuan kita menciptakan dana pensiun itu kan adalah membuat payung sebelum hujan, sekarang saat hujan ya payungnya dipakai dulu. Kalau itu saya sudah dengar, tapi ya kita tidak bisa bilang apa-apa, karena itu kan uang mereka.

Di dalam dunia keuangan ada yang namanya co-financing. Jadi saya mau masuk ke proyek Anda, tapi kalau proyek 100 saya masuk 60, 40 dari kamu. Saya tidak mau masuk 100 karena negara saya juga sedang butuh 40.

Masalahnya sekarang kita enggak punya juga 40, jadi mereka enggak mau masuk ke kita. Akhirnya, ya mereka pindah ke negara-negara lain.

Ya sebetulnya kan bukan orang Singapura masuk ke Indonesia, itu kan uang orang Indonesia yang di Singapura dibalikkan ke Indonesia untuk membiayai proyek yang di Indonesia.

Ini buat proyek biasanya? FDI?

Ya proyek, akuisisi, business purpose, apa saja pokoknya economic interest.

Ini kan kita bicara swasta. Orang-orang kaya kita uangnya ke mana?

Lah kan orang-orang kaya kita uangnya di Singapura semua. Itu kan 80% FDI Indonesia datangnya dari Singapura. Ya sebetulnya kan bukan orang Singapura masuk ke Indonesia, itu kan uang orang Indonesia yang di Singapura dibalikkan ke Indonesia untuk membiayai proyek yang di Indonesia.

Nah yang saya bilang tadi, kenapa mereka taruh uangnya di Singapura, karena kalau terjadi perselisihan arbitrasenya Singapura. Ini kan legal certainty tadi.

Di Amerika yang biasanya jadi pemimpin dunia kan sedang ada pemilu. Kalau misalnya presiden yang terpilih baru, apakah bisa berubah tatanannya?

Saya kira bukan perubahan policy secara struktural, tapi cara mainnya yang berbeda. Mungkin Bidden mainnya akan lebih halus, Trump lebih kasar pada waktu berhadapan dengan China.

Tapi yang penting kan masalah global leadership ini?

Kalau soal global leadership, bukan isu baru sebenarnya. Sejak Obama global leadership Amerika sudah turun terus sih. Sekarang kan kita susah kalau kita bilang dunia ini unipolar atau multipolar. Dalam kekuatan ekonomi dan politiknya berbeda. Kalau kekuatan ekonomi, mungkin Amerika Serikat unipolar. Tapi dalam fakta geopolitik di lapangan dunia bukan unipolar tapi multipolar.

Apakah dunia ini secara real politiknya sudah tidak unipolar, ini dunia yang multipolar.

Ambil contoh, penyelesaian masalah di Timur Tengah. Semuanya tidak akan selesai tanpa melibatkan Rusia dan China. Itu sebabnya sampai sekarang tidak selesai, karena hubungan China dengan Iran dan Rusia dengan Syria sangat erat. Di Eropa misalnya, masalah yang terjadi sekarang di Belarusia, Ukraina itu kan tidak akan mungkin selesai hanya dengan bantuan Amerika kepada Uni Eropa karena sangat tergantung kepada Rusia.

Masalah di Asia, misalnya Laut China Selatan tidak akan selesai dengan Amerika atau Rusia tapi harus China. Apakah dunia ini secara real politiknya sudah tidak unipolar, ini dunia yang multipolar.

Nah kalau kita bilang dunia ini unipolar, maka global leadership ada di Amerika. Tapi fakta selama 10 tahun terakhir, leadership Amerika ini turun terus. Dan covid ini adalah tes-nya pada saat seperti ini kelihatan memang Amerika sudah tidak punya global leadership. Fakta di lapangan ini adalah multipolar world.

Covid ini memang memicu isu baru, sekarang dengan tatanan global governance-nya yang bentuknya masih kabur, membuat masalah baru. Global governance dan multipolar geostrategies ini bisa mengubah peta industri, karena global value chain bukan ditentukan oleh kepentingan ekonomi saja. Global value chain itu kan ditentukan oleh kepentingan global. Seperti yang tadi saya bilang FDI ditentukan foreign policy.

Nah karena foreign policy itu ditentukan oleh geostrategy, maka bentuk dari global value chain itu akan berubah sejalan dengan dinamika geostrategy. Bentuknya seperti apa memang masih agak samar. Tapi ini adalah sesuatu yang harusnya bisa dideteksi sejak awal.

Kemampuan kita mendeteksi bentuk ke depannya dan memainkan foreign policy kita seperti apa bisa menempatkan Indonesia di niche tertentu. Ini bisa membuat kita mempunyai posisi dengan daya ungkit geostrategis dan geopolitik di mata dunia. Ini yang saya lihat belum terjadi.

Masalahnya semua inisiatif untuk memetakan ini semua belum ada.

Apa mungkin sistem demokrasi di dunia mungkin yang masalah? Seperti tadi dibilang China yang bisa lebih berhasil, karena kebanyakan sistem demokrasi kan hanya bisa dipilih 2 kali dengan jabatan 4-5 tahun?

Pertanyaan ini jadi pisau bermata dua, tidak bisa kita bilang demokrasi itu sifatnya short term. Tidak bisa juga dibilang setelah short term selesai tidak dipikirkan yang long term. Ada memang dimensi short term itu. Tapi yang lebih penting lagi sebetulnya adalah meritocracy.

Kan di Indonesia ini meritocracy itu bukan “mata uang” yang sah diperdagangkan. Jadi kalau di negara-negara demokrasi yang sudah matang itu kan meritocracy, independent thinking, dan integrity itu adalah “currency-nya”.

Kalau di Indonesia meritocracy kan belum. Independent thinking apalagi ya, beda pendapat dengan kawan saja susah. Integritas juga ya repot. Nah di sini kan cuma jadi loyalitas, primordialisme itu lebih penting dari meritocracy.

Kalau di negara-negara maju, mungkin ada juga tapi meritocracy itu tetap penting. Kan di mana-mana kalau orang-orang yang mampu dan kompeten kan gak mau minta kerjaan. Biasanya kalau orang yang mampu kan kalau tidak dapat pekerjaan, dia akan cari lagi yang lain. Kalau di sini kan seorang yang berkuasa, gerbongnya minta pekerjaan semua, karena tahu kalau bertarung secara meritocracy dia tidak akan dapat pekerjaan.

     

Lalu terakhir, apa kira-kira yang bisa dilakukan para investor?

Kalau investor ini sekarang yang mestinya harus dilakukan pertama kalinya adalah mendeteksi, new normal itu bentuk dari new behavior-nya seperti apa. New behavior dalam new normal itu kayak apa. Setelah dia tahu new behavior dan new normal itu seperti apa, baru dia persiapkan investasinya ke arah mana. Karena begitu semuanya itu kabut ini hilang, when the dusk settle dia sudah di depan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×