Reporter: Djumyati Partawidjaja | Editor: Djumyati P.
Leading indicator ini kan sebenarnya adalah high frequency data yang dikonstruksikan sedemikian rupa sehingga bisa dijadikan alat untuk memproyeksi dinamika perekonomian 3-6 bulan ke depan. Ini salah satu teknik forecasting. Nah leading indicator yang saya lihat memberikan indikasi kuat, kita mungkin masih akan mengalami kontraksi sampai kuartal 1 2021. Kalau itu benar, artinya kita akan berada dalam zona resesi selama 5 kuartal.
Jadi salah kalau ada orang mengatakan kita belum akan resesi menunggu data YoY data di kuartal 3.
Kalau untuk sampai depresi itu berapa kuartal?
Bedanya depresi dan resesi lebih ke kedalamannya. Jadi kalau misalnya dalam sekali misalnya -10 dan itu terjadi selama beberapa kuartal berturut-turut ya depresi namanya.
Di banyak negara maju, jurinya ada untuk menentukan resesi atau tidak. Yang pasti bukan badan pusat statistiknya, tapi sebuah lembaga riset yang disegani. Di Amerika misalnya, jurinya namanya National Bureau of Economic Research (NBER). Kita tidak punya juri. Tapi umumnya, apakah sebuah negara punya atau tidak punya juri seperti ini, ini semua adalah terminologi baku. Jadi salah kalau ada orang mengatakan kita belum akan resesi menunggu data YoY data di kuartal 3.
Dampaknya apa kalau resesi terjadi sampai kuartal 1 2021?
Itu artinya momentum perekonomian sampai kuartal 1 tahun depan itu masih cukup lemah. Nah kita juga tahu bahwa POJK No 11 tahun 2020 yang menjadi dasar adanya menjadi dasar program restrukturisasi relaksasi terkait pemulihan ekonomi nasional itu akan berakhir pada akhir Maret 2021. Dan sampai saat ini kan sampai awal September berdasarkan data yang dikeluarkan OJK, total pinjaman yang sudah direstrukturisasi di perbankan itu kan mencapai hampir Rp 90 triliun. Itu kan kira-kira 16% dari total loan outstanding. Besar sekali lo itu 16%.
Dan kalau kita tambah jumlah kontrak yang direstrukturisasi di perusahaan pembiayaan yang hampir mencapai Rp 170 triliun, gabungannya mencapai sekitar Rp 1.050 T – Rp 1.060 T. Dan ini kan besar sekali, itu kan sekitar 7% dari PDB.
Bukannya tidak mungkin dari Rp 1.050 triliun itu ada yang kemudian gagal bayar kan. Nah kalau itu terjadi, ya mungkin efeknya di 2021. Itu kan bank itu harus membukukan.
Kita memang u shape recovery. Disebut sebagai u shape karena tren growth-nya bergeser
Kalau sekarang kan tidak boleh dibukukan sebagai kredit macet. Nah kalau sekarang misalnya itu terjadi di 2021, tidak ada mekanisme kebijakan yang berkesinambungan, itu kan semuanya masuk dalam jenis kategori kredit tertentu. Entah macet atau call berapa dia 2, 3, 4, 5, enggak tahu kan?
Nah itu kan artinya mempengaruhi NPL kan. Dan NPL mempengaruhi tingkat provisi dari bank, tingkat provisi dari bank mempengaruhi capital adequacy ratio-nya dan lain sebagainya.
Dan itu akan memiliki dampak terhadap perekonomian. Jadi 2021 itu tidak mungkin ekonomi Indonesia rebound sekencang itu dan kembali ke garis tren pertumbuhan kita sebelumnya. Enggak mungkin. Itu sebabnya saya berpikir dan saya melihat di tahun 2021 itu kelihatannya tingkat pertumbuhan ekonomi kita itu mungkin hanya mencapai 3,8%.
Kita memang u shape recovery nih. Disebut sebagai u shape karena tren growth-nya bergeser. Artinya income per capita kita di tahun 2021 hanya akan lebih tinggi dari tahun 2018.
Too little too late itu benar.
Apakah proyeksi ini bisa lebih buruk?
Ada beberapa problem sebenarnya yang membuat perekonomian kita tidak bisa rebound dengan cepat. Satu itu skala intervensi kita itu kecil dibandingkan dengan negara lain. Kalau kita lihat stimulusnya, kita kecil karena kantong kita juga tidak begitu dalam ya.
Kedua, kita juga relatif terlambat. Too little too late itu benar. Too little itu kita lihat dari magnitude-nya, misalnya contoh kita ingin supaya defisit APBN kita mencapai 6,3% dari PDB di tahun 2020. Tapi realitas di lapangan kan kita sampai Agustus saja defisitnya masih kurang lebih 3% dari PDB. Sehingga kalau kita annualized sampai Desember dengan 4 bulan tersisa, ya mungkin kita punya realisasi defisit cuma 5%. Akibatnya daya dorongnya tidak sekuat yang di harapkan.
Itu terjadi karena policy reaction function-nya terlambat. Misalnya, kesepakatan antara BI dan Kementerian Keuangan terkait dengan burden sharing, ini kan baru disepakati Juli dan mekanisme pembeliannya baru dilakukan setelah Juli. Dan ini perlahan-lahan. Setelah itu sampai dengan September realisasinya baru 25%.
Selain itu penyaluran APBN sendiri lambat, karena mentok masalah DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran). DIPA ini kan adalah mekanisme akuntabilitas dan business process dalam public finance atau keuangan negara. Ini adalah suatu momok besar bahkan sejak 40 tahun yang lalu.
Dulu namanya bukan DIPA, sebelum reformasi DIPA itu terpecah 2. Dulu kan proses anggaran itu dipegang Bappenas dan Departemen Keuangan. Anggaran rutin di Departemen Keuangan, anggaran pembangunan dikelola oleh Bappenas. Di Bappenas namanya DIP (Daftar Isian Proyek), di Departemen Keuangan namanya DIK (Daftar Isian Kegiatan).
Sistem ini menimbulkan masalah karena business process-nya menimbulkan masalah yang terkait dengan akuntabilitas, korupsi. Lalu kemudian saat reformasi, mekanisme ini dibongkar DIP dan DIK digabungkan menjadi DIPA yang dikonsolidasikan di Kementerian Keuangan.
Nah DIPA ini sebenarnya mirip dengan yang lama dan fokusnya lebih kepada akuntabilitas, pengetatan proses anggaran. DIPA ini ibarat pintu air sebenarnya titik temu dari 4 arus kepentingan, yaitu politik, ekonomi, sektoral, dan treasury atau funding.
Maksudnya, kebijakan fiskal itu kan adalah kebijakan ekonomi sebagai konsekuensi keputusan politik. Yang kedua adalah refleksi dari kebijakan ekonomi, pemerintah itu maunya ke mana. Ketiga, strategi sektoral dan keempat adalah kebijakan treasury. Funding dan refunding, makanya ada utang, bayar utang, issuing bond dan segala macam. Itu kan mekanisme treasury. Semuanya itu bertemu di sebuah pintu yang namanya DIPA itu.
Bahkan banyak yang bingung membedakan antara objective, target pembangunan, outcome dan output sebuah project, dan kemudian hubungannya dengan input.
DIPA ini sebagai mekanisme akuntabilitas, seperti halnya kita mau minta duit ke kasir kan kita kan harus ada bukti dulu. Misalnya proyeknya mau ngapain, objective, output, outcome, input-nya apa. Jumlah uang yang dibutuhkan berapa, terminnya bagaimana, diajukan kementerian teknis.
Kelihatannya DIPA ini sejak reformasi 1998 itu fokusnya pada pengetatan keuangan negara. Tapi mekanisme lainnya dilupakan, jadi gak seimbang.
Itu satu faktor, faktor lainnya juga manusia. Kalau kita lihat di pemerintahan, banyak sekali orang yang tidak paham caranya membuat program. Bahkan banyak yang bingung membedakan antara objective, target pembangunan, outcome dan output sebuah project, dan kemudian hubungannya dengan input. Ini realitas di lapangan.
Akibatnya, pada saat anggaran akan turun dan mereka harus menyiapkan dokumen-dokumen itu bingung harus bagaimana menulisnya. Akibatnya, seperti kemarin itu ada ratusan triliun tidak punya DIPA. Sehingga kemudian diputuskan untuk jadi Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Ini kan kombinasi dua faktor, reformasi dalam business process dan pengetahuan dari aparatur negara dengan proses pembuatan proyek. Itu semua yang menyebabkan too late itu.
Sehingga pada September kuartal 3 hampir habis, baru turun. Itu pun sedikit uangnya. Nah akibatnya, di kuartal 3 itu daya dorong dari APBN tidak tampak. Nah ini akan terjadi terus sampai kuartal ke-4 2020.
Di banyak negara yang saya bandingkan, ada yang begini ada juga yang enggak.
Kalau bicara mengenai kemampuan SDM kan sebenarnya masalah struktural. Dengan sekarang diterbitkan Omnibus Law Cipta Kerja apakah betul bisa menjadi solusi meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan mendatangkan investor asing?
Omnibus law ini kan adalah undang-undang untuk menyelesaikan berbagai macam hambatan dengan sekali tendang bola, ceritanya kan begitu. Di dalamnya itu banyak sekali targetnya.
Ya nanti kita lihat saja di petunjuk pelaksanaannya, karena undang-undang ini kan tidak bisa dilaksanakan sampai ada juklaknya.
Nah kalau sekarang kalau kita mau menciptakan lapangan kerja, salah satu elemen omnibus law ini kan tentang pasar tenaga kerja. UU Ketenagakerjaan yang lama kan dianggap sangat pro buruh, sehingga menyebabkan high cost economy tanpa menaikkan produktivitas.
Apakah omnibus law ini akan bisa memperbaiki iklim di tenaga kerja? Ya kita mesti lihat. Bagaimana cara melihatnya? Ya nanti kita lihat saja di petunjuk pelaksanaannya, karena undang-undang ini kan tidak bisa dilaksanakan sampai ada juklaknya. Semua undang-undang itu butuh peraturan pelaksanaan, mulai dari peraturan pemerintah, peraturan menteri, surat edaran.
Perangkat peraturan pelaksanaan ini yang di Indonesia itu kerap kali jadi bermasalah. Sering kali dalam peraturan pelaksanaan di Indonesia itu terlampau detail di spesifikasi atau terlalu sumir di spesifikasi. Sehingga yang terlalu detail itu membuat menjadi terlalu rigid, sementara yang terlampau sumir itu membuka ruang negosiasi. Inilah semua yang akan mempengaruhi perilaku pasar.
Tetapi ease of doing business ini hanya elemen ke 3 dari 3 elemen penting FDI
Itu satu ya dari tenaga kerja, tapi kalau ditanya apa dampaknya, kita lihat saja bagaimana peraturan pelaksanaannya. Kalau sekarang sih mau komentar susah. Ibarat rumah kubah besarnya sih kelihatannya indah. Tapi kita lihat saja pelaksanaannya.
Nah untuk Foreign Direct Investor (FDI), apakah ini bisa memperbaiki FDI? Salah satu problem dalam FDI kita itu kan adalah ease of doing business. Misalnya ribet urusan izin antara pusat dan daerah.
Tetapi ease of doing business ini hanya elemen ke 3 dari 3 elemen penting FDI. Elemen penting no 2 adalah kepastian hukum. Jadi misalnya legal process, efisiensi dari legal process, kepastian dari hukumnya, atau judicial independent sering kali jadi masalah. Ini kan sudah bukan rahasia lagi kan.
Kepastian hukum ini kan tidak diatasi dengan omnibus law, undang-undangnya kan berbeda.
Kepastian hukum di Indonesia ini kan kalau mau kita bandingkan dengan Singapura misalnya, ya kan kita parah. Itu kan yang menyebabkan banyak pebisnis itu ingin arbitrase dilakukan di pengadilan Singapura. Itu elemen no 2. Kepastian hukum ini kan tidak diatasi dengan omnibus law, undang-undangnya kan berbeda.
Yang nomor 1 yang penting juga adalah foreign policy atau kebijakan luar negeri.
Yang nomor 1 yang penting juga adalah foreign policy atau kebijakan luar negeri. Bahkan sebetulnya dalam literatur mengenai FDI dalam 2 hal yang paling penting yang menentukan laju flow FDI itu adalah kebijakan luar negeri dan kepastian hukum. Kebijakan luar negeri ini jelas tidak ada dalam omnibus law.
Kebijakan luar negeri ini sebetulnya menentukan apa? Contohnya Singapura atau Australia, aliansinya ke Barat yaitu Amerika Serikat dan Eropa. Kapal induk Amerika itu mampirnya di Singapura dan Australia.
Vietnam misalnya, jelas kebijakan luar negerinya: China teman saya. Sehingga pada saat terjadi relokasi dari China ke Asia lainnya, Vietnam yang mendapatkan keuntungan selain memang secara geografis juga menguntungkan untuk China.
Nah kita itu kan bebas aktif. Setahu saya untuk FDI, karena separuh karier saya di luar negeri, 2 faktor ini yang paling penting. Kalau untuk ease of doing business, selama itu profitable ya akan dijalankan. Ribet sedikit gak apa-apa yang penting kan jalan. Nah jadi apakah omnibus law itu bisa meningkatkan FDI? Belum tentu menurut saya, karena hanya menyelesaikan satu dari 3 elemen penting. Tapi 2 elemen utama malah di luar dari omnibus law ini.
Kalau dari kesempatan kerja, apakah UU ini akan bisa menciptakan lapangan pekerjaan? Kalau kita lihat kan ada banyak demo yang menentang baik dari buruh maupun pemda?
Ya kalau itu kembali saya bilang seperti yang di atas. Harus dilihat dari peraturan-peraturan pelaksanaannya.
Saya sih sudah mengantisipasinya sejak awal, karena setiap ada perubahan undang-undang di mana membuat pendulum itu bergerak, pasti akan ada yang dirugikan dan diuntungkan. Yang dirugikan pasti teriak yang diuntungkan pasti tertawa.
Setiap UU disepakati, kalau kita mau lihat ke depan, public choice theory itu mengatakan memang animo dan aspirasi harus ditampung. Tetapi itu kan tugasnya para politisi, mereka dibayar untuk menjembatani masalah seperti itu.
Sebagai pelaku bisnis sih saya melihat dengan sangat cermat implementasi aturan-aturannya akan seperti apa. Karena itu akan mempengaruhi keputusan bisnis jangka panjang.
Kalau untuk update perkembangan di global, dengan perkembangan baru di Amerika sekarang ini bagaimana pengaruhnya ke Indonesia?
Kalau kita masuk dalam tataran global, harus ingat yang membedakan krisis kita kali ini dengan krisis 2008 dan 1998 ada 3 hal. Pertama krisis 2020 berbeda dengan 2 krisis sebelumnya karena ada faktor kesehatan di krisis 2020, di 2 krisis sebelumnya itu murni ekonomi dan keuangan.
Kedua, tahun ini semua negara kena. Di 2 krisis sebelumnya sebagian yang kena, sebagian masih bagus. Di tahun 1998 Asia yang kena, Amerika dan Eropa kan sukses. Akhirnya mereka masuk dan membeli aset-aset kita dengan harga murah. Kita juga bisa jualan dengan harga murah karena terdepresiasi. Waktu 2008 yang kena itu kan Eropa dan Amerika Serikat, Asia sukses. Makanya China banyak membeli aset-aset di Amerika dan Eropa. Sekarang ini karena yang kena semuanya berdampak ke capital flow. Kalau dulu capital flow dari Amerika dan Eropa ke Asia atau Asia ke Amerika dan Eropa, sekarang kan semuanya memikirkan diri sendiri.
Sudah 8 bulan tidak ada global solution. Semua negara memikirkan diri sendiri, tidak ada inisiatif, tidak ada leadership juga.
Ketiga, mekanisme solusinya. Pada tahun 1998 itu adalah regional problem ada regional solution. Pada tahun 2008 itu adalah trans-Atlantic problem lalu ada trans-Atlantic solution makanya kita mengenal yang namanya Troika, Dodd-Frank Act dan segala macam lainnya. Pokoknya solusi trans-Atlantic Amerika dan Eropa bekerjasama dengan erat. Di tahun 2020 itu global problem tapi tidak ada global solution.
Sudah 8 bulan tidak ada global solution. Semua negara memikirkan diri sendiri, tidak ada inisiatif, tidak ada leadership juga. Ini masalah. Jadi tanpa adanya global solution, tidak akan ada global recovery atau mungkin akan lama recovery-nya. Akibatnya pertumbuhan ekonomi sekarang itu buruk, lebih buruk dari 2008 bahkan.
Atau mungkin mereka menunggu vaksin ditemukan?
Masalahnya kan vaksin itu bukan global solution, itu kan mengurus diri sendiri-sendiri. China mengurus dirinya sendiri, malah dikata-katai oleh negara-negara lainnya. Rusia juga mengurus dirinya sendiri, Amerika diejek-ejek juga. Ya semua mengurus diri sendiri kan, tidak ada global solution.
Kan tidak mungkin harga vaksin itu sedemikian rupa sehingga nanti yang miskin tidak dapat yang kaya bisa stock up vaksin misalnya
Artinya penemuan vaksin ini nanti dari salah satu atau beberapa perusahaan bisa menjadi masalah juga, karena vaksin itu kan untuk seluruh penduduk di dunia?
Ada 7 miliar orang. Ini kan sebetulnya meringkas global solution itu harus ada. Kita tuh orang ekonomi bicara tentang externalities. Negative externalities spillover ke mana-mana harus diselesaikan secara nasional, misalnya masalah keamanan. Keamanan ini kan tidak mungkin dibiayai oleh swasta harus secara nasional. Masalah endemi atau penyakit, itu kan masalahnya ke mana-mana, harus diselesaikan secara nasional. Makanya masalah kesehatan diselesaikan secara nasional dibayar oleh pajak.
Ini kan global pandemik, artinya externalities secara global. Ya harus diselesaikan secara global, semua negara. Contoh, harga vaksin berapa nantinya. Kan tidak mungkin harga vaksin itu sedemikian rupa sehingga nanti yang miskin tidak dapat yang kaya bisa stock up vaksin misalnya. Bukan hanya bicara soal orang, tapi negara.
Atau misalnya vaksin dikontrol oleh negara kaya, negara miskin akhirnya terbeban. Kan enggak boleh, ini kan global externalities. Nah solusi seperti ini kan tidak pernah ada. Sekarang ini siapa yang mesti memimpin. Makanya saya bilang leadership-nya tidak ada. Ini terjadi vakum, kenapa terjadi?
Ini karena terjadi polarisasi. Dan polarisasi yang terjadi itu kan multidimensional.
Ini karena terjadi polarisasi. Dan polarisasi yang terjadi itu kan multidimensional. Ada polarisasi ideologi, China misalnya bilang keberhasilan kami mengatasi Covid-19 karena sistem sosialisme kami dan komunisme kami, kegagalan Anda di Amerika karena demokrasi. Ada lagi polarisasi secara politik, di Amerika Republik versus Demokrat. Di Indonesia juga sama 01 lawan 02. Di semua negara terjadi seperti itu.
Pertanyaannya adalah apakah pasar ini sudah price-in isu-isu seperti ini atau belum?
Ada juga polarisasi dari sudut income atau ekonomi. Misalnya, di Amerika 50 miliarder terkaya jumlah asetnya sudah sama dengan aset setengah penduduk Amerika. Dan ini terjadi tidak hanya di Amerika di semua negara, income disparitasnya makin lebar. Belum lagi kalau kita lihat polarisasi agama. Jadi polarisasi di dunia itu tajam sekali.
Ini yang menyumbang kepada tidak adanya global solution. Di tengah-tengah itu semua pasar saham itu naik terus. Pertanyaannya adalah apakah pasar ini sudah price-in isu-isu seperti ini atau belum? Saya yakin sih sebelum.
Saya sih lihat market ini gung ho (terlalu antusias) ya. Padahal isu underlying-nya itu besar sekali.
Artinya pasar sekarang di Amerika ini bubble?
Ya bubble itu juga kan view ya bukan fakta. Saya sih bilang itu bubble tapi ada orang yang bilang itu bukan bubble karena itu kan pendapat.
Tapi aliran dana di dunia ini kan harus mencari tempat?
Belum tentu juga, karena semua sedang kena. Kalau kita misalnya percaya bahwa uang itu akan mengalir ke tempat yang memberikan imbal hasil yang tinggi, kenapa di tahun 2008 terjadi outflow dari Indonesia tapi masuk ke emerging market lainnya yang imbal hasilnya lebih rendah?