Reporter: Adrianus Octaviano | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mayoritas harga komoditas logam industri turun selama kuartal III-2019. Komoditas-komoditas yang mengalami koreksi tersebut, antara lain timah, tembaga, dan aluminium. Harga nikel justru melesat di kuartal III-2019. Isu perlambatan global akibat perang dunia masih menjadi tema utama selama perjalanan kuartal III-2019.
Mengutip dari Bloomberg, harga aluminium London Metal Exchange (LME) kontrak tiga bulanan hingga sepanjang kuartal III-2019 melemah 4,36% menjadi US$ 1.721,50 per metrik ton. Harga aluminium terus anjlok dari penutupan kuartal II-2019 yang sempat menyentuh di level US$ 1.800 per metrik ton.
Berbeda tipis dengan aluminium, harga tembaga juga turun 4,47%. Hingga akhir kuartal III-2019 per 30 September 2019, harga tembaga ada di posisi US$ 5.993 per metrik ton.
Baca Juga: Kementerian ESDM pastikan larangan ekspor bijih nikel tetap berlaku sesuai jadwal
Harga timah justru mencatat koreksi yang terdalam. Harga komoditas ini merosot 15,41% pada kuartal ketiga. Harga timah saat ini sudah berada di posisi US$ 15.925 per metrik ton dari yang sebelumnya di awal kuartal III-2019 berada di posisi US$ 18.825 per metrik ton.
Tak kompak, nikel menjadi salah satu logam industri yang justru meningkat. Selama kuartal III-2019, penguatan harga nikel cukup signifikan dengan sebesar 34,36%. Hal ini menjadikan harga nikel berada di level US$ 17.050,34 per metrik ton.
Simak tanggapan beberapa analis yang memberikan pendapat dan pandangannya dalam pergerakan harga tiap komoditas ke depan.
1. Nikel
Direktur PT Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan, penguatan harga nikel dipicu oleh larangan ekspor nikel yang dipercepat. Ibrahim mengatakan, larangan tersebut sebenarnya direncanakan masih dalam jangka waktu 3-5 tahun. Hanya saja, ada keputusan bahwa larangan ekspor akan mulai diberlakukan pada tahun 2020. “Tahun 2020 sudah tidak boleh lagi ekspor nikel Indonesia,” ujar Ibrahim.
Baca Juga: Produksi PT Timah (TINS) naik tiga kali lipat pada semester pertama 2019
Ibrahim juga mengatakan bahwa larangan ini mendapat kecaman pula dari Eropa karena di negara tersebut terdapat banyak smelter nikel. Ia menyampaikan saat ini negara Uni Eropa sudah mengajukan banding ke World Trade Organization (WTO) terhadap larangan tersebut. “Situasi panas ini menjadi sentimen positif juga untuk harga nikel,” tutur dia.
Ke depan, Ibrahim menilai harga nikel masih akan terus menguat. Dia optimistis harga nikel bisa berada di US$ 18.000 per metrik ton hingga akhir tahun. Selain karena faktor politis dari larangan ekspor nikel, dorongan juga didapat dari proyek-proyek pemerintah yang biasanya segera diselesaikan hingga pengujung tahun. “Pembangunan pemerintah seperti properti dan infrastruktur jalan tentu membutuhkan gabungan bahan komoditas, salah satunya nikel,” jelas Ibrahim.
2. Timah
Ibrahim mengatakan bahwa meski harga timah terkoreksi pada kuartal III-2019, ada sentimen positif yang sebenarnya sempat mengangkat harga timah di awal kuartal III-2019. Dia bilang situasi perang dagang sempat membuat Tiongkok sebagai negara dengan produsen timah terbesar melakukan isolasi dengan tidak melakukan ekspor timah ke negara manapun. Hal ini menyebabkan permintaan terhadap timah meningkat sehingga harga timah sempat menanjak.
Hanya saja, sentimen positif tersebut tak berlangsung lama. Hal ini dikarenakan Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) dan Indonesia Comodity & Derivatives Exchange (ICDX) mulai melakukan ekspor timah. “Ekspor timah yang besar-besaran dari Indonesia menyebabkan hal yang wajar jika harga timah terus turun,” jelas Ibrahim.
Selain itu, kondisi perang dagang pada kuartal III yang sempat memanas hingga perang mata uang dan perang investasi menjadi faktor turunnya komoditas seperti timah. Hal ini juga mengakibatkan adanya perlambatan ekonomi global sehingga indeks dolar menguat. “Ada anggapan bahwa resesi sudah di depan mata,” ujar Ibrahim.
Ibrahim menilai pergerakan harga timah masih akan fluktuatif di kuartal IV-2019. Menurut dia, timah lebih cenderung naik di sisa tahun ini. Meskipun perang dagang AS-China masih akan berlangsung, agresivitas bank sentral global untuk menurunkan suku bunga masih mendorong timah untuk terus bangkit.
Baca Juga: Sejumlah emiten logam dan mineral percaya diri capai target produksi 2019
Selain itu, timah sama dengan nikel yang diuntungkan dengan proyek pemerintah yang harus berjalan hingga akhir tahun. Ibrahim bilang pemerintah akan melanjutkan proyeknya di sisa tahun ini untuk menyesuaikan produk domestik bruto. “Di kuartal IV-2019 biasanya harga-harga memang naik dan timah bisa mencapai level US$ 17.500 per metrik ton,” jelas Ibrahim.
3. Tembaga
Analis Central Capital Futures Wahyu Tribowo Laksono mengatakan bahwa koreksi harga tembaga selama kuartal III-2019 masih disebabkan oleh efek dari perang dagang. Wahyu bilang tensi perang dagang yang sempat meningkat di bulan Agustus menyebabkan harga tembaga terus menurun sampai minggu ketiga September. Selain itu, Wahyu juga menyampaikan bahwa harga tembaga masih tetap di bawah wilayah netral hingga akhir kuartal III lalu meskipun ada optimisme pasar terhadap adanya kesepakatan dagang antara AS dan China.
Wahyu berpendapat harga tembaga yang terkoreksi juga disebabkan oleh keputusan bank sentral dalam hal pemangkasan bunga. Dia bilang The Fed sempat bergerak lambat menjelang pemangkasan suku bunga terakhir. Hal ini menurutnya menyebabkan dolar AS rally lebih kuat sehingga harga tembaga masih tertahan. “Sejak The Fed telah bergerak lambat ketika perlu penurunan suku bunga, dolar telah rally dan membuat tertinggi baru selama kuartal III,” ujar Wahyu.
Menurut Wahyu, saat ini harga tembaga masih bersifat konsolidasi. Meskipun demikian, dia menilai masih ada ancaman yang bisa menyebabkan tembaga kembali terkoreksi. Ancaman-ancaman yang dimaksud ialah masih datang dari perang dagang dan Brexit. Akhir tahun, Wawan menebak harga tembaga tidak jauh dari US$ 5.800 per metrik ton. “Harga logam merah terus bergantung pada apakah proteksionisme atau perang dagang terus berlanjut,” jelas Wahyu.
4. Aluminium
Sama halnya dengan logam industri lain, sentimen perang dagang juga menyelimuti harga aluminium. Analis Asia Trade Point Futures Cahyo Dewanto mengatakan bahwa perang dagang antara AS dan China yang berlarut-larut menyebabkan pelaku industri merasa khawatir jika tarif dagang jadi diberlakukan oleh AS senilai US$250 miliar.
Bahkan, Cahyo mengatakan perang dagang akan meluas antara AS dan Uni Eropa. Ia bilang saat ini kondisi AS dan Uni Eropa sedang dalam diskusi panas terkait tarif impor. Hal ini berkaitan dengan industri mobil dan industri pesawat. “Keduanya membutuhkan bahan aluminium,” ujar Cahyo.
Baca Juga: Tak Ingin Kehilangan Momentum, Larangan Ekspor Nikel Tetap Berlaku
Meskipun terkoreksi, Cahyo bilang masih ada sentimen positif yang membuat aluminium tertahan untuk koreksi. Menurutnya, tren mobil listrik menyebabkan permintaan aluminium cukup banyak. Hal ini mengingat bahwa aluminium termasuk bahan campuran pembuatan mobil listrik seperti nikel, platinum, dan paladium.
Ia menilai harga aluminium akan masih terkoreksi hingga akhir tahun. Sentimen perang dagang AS-China dan yang berpotensi melebar hingga AS-Uni Eropa masih membayangi aluminium. Dia memperkirakan, harga aluminium sampai akhir tahun di level US$ 1.713,66 per metrik ton.
Hanya saja, Cahyo berpendapat bahwa pergerakan harga aluminium juga masih akan menunggu hasil pertemuan antara AS dan China tengah pekan ini. Menurutnya, potensi akan membaik jika ada kesepakatan baru dan ada penundaan tarif impor atau bahkan pembatalan penundaan tersebut. “Karena China adalah salah satu negara pengimpor aluminium dunia untuk industri rumah tangga, alat listrik, pemanas, mobil,” ujar Cahyo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News