kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.951.000   -8.000   -0,41%
  • USD/IDR 16.304   -11,00   -0,07%
  • IDX 7.533   43,20   0,58%
  • KOMPAS100 1.070   7,34   0,69%
  • LQ45 793   -2,68   -0,34%
  • ISSI 254   0,66   0,26%
  • IDX30 409   -1,29   -0,31%
  • IDXHIDIV20 467   -2,82   -0,60%
  • IDX80 120   -0,30   -0,25%
  • IDXV30 124   0,09   0,07%
  • IDXQ30 131   -0,56   -0,43%

OJK dan BEI Disarankan Perhatikan Kualitas IPO


Minggu, 10 Agustus 2025 / 18:50 WIB
OJK dan BEI Disarankan Perhatikan Kualitas IPO
ILUSTRASI. Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia (UI) Budi Frensidy mengatakan, kualitas emiten yang akan melakukan initial public offering (IPO) harus tetap menjadi prioritas utama.


Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Sejumlah tantangan masih menyelimuti proses initial public offering (IPO) di pasar modal domestik.

Hal ini juga terkait dengan target Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang ingin mencapai 1.100 emiten dan market capitalization sebesar Rp 25.000 triliun pada akhir masa jabatan mereka. 

Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia (UI) Budi Frensidy mengatakan, kualitas emiten yang akan IPO harus tetap menjadi prioritas utama. 

“Jumlah emiten yang besar memang bagus untuk pasar modal, tetapi kita harus berhati-hati agar yang masuk ke pasar modal bukan hanya perusahaan-perusahaan kecil yang kinerjanya kurang stabil,” ujarnya dalam diskusi RISE FORUM 2025, Rabu lalu (6/8/2025).

Budi juga menyoroti bahwa yang menggerakkan indeks pasar saham Indonesia saat ini adalah perusahaan-perusahaan konglomerat besar. Sementara, saham-saham di LQ45 ketinggalan performanya.

Baca Juga: 5 Perusahaan Masuk Pipeline IPO OJK, Nilainya Capai Rp 6,28 Triliun

Di sisi lain, masalah bakal muncul akibat IPO dengan jumlah saham yang terlalu besar, seperti yang terjadi pada PT Gojek Tokopedia GoTo Tbk (GOTO). 

Menurut Budi, IPO jumbo sebaiknya jangan dipaksakan, apalagi dengan jumlah saham yang beredar triliunan. Sebab, pada akhirnya, investor ritel yang akan terkena dampaknya. 

“Jika valuasi sembarangan dan free float terlalu besar, akan menjadi masalah,” tuturnya.

Meskipun Indonesia memiliki banyak investor ritel, pasar modal tetap didominasi oleh investor besar, terutama investor institusi. Investor besar itu, kata Budi, sangat berperan dalam menentukan arah pasar. 

“Oleh karena itu, penting untuk mendukung perusahaan-perusahaan menengah yang dapat menggandeng konglomerat besar yang memiliki komitmen kuat untuk menjaga harga saham dan mencegah kerugian bagi investor ritel,” paparnya.

Menurut Budi, hadirnya  konglomerat besar seringkali menjadi kunci dalam menjaga kestabilan harga saham perusahaan yang baru IPO. 

Sebagai contoh, PT Merry Riana Edukasi Tbk (MERI) yang mengalami lonjakan harga saham secara signifikan setelah mendapat perhatian dari konglomerat ternama, Hermanto Tanoko. 

Komitmen Pemegang Saham Pengendali (PSP) dalam menjaga stabilitas harga saham juga penting agar investor tidak dirugikan 

“Dengan adanya PSP yang memiliki komitmen kuat untuk menjaga harga saham, investor ritel dapat merasa lebih aman berinvestasi,” kata Budi.

Namun, rasio free float yang kecil bisa mempengaruhi likuiditas saham. “Jika free float terlalu kecil, apalagi jika banyak saham yang dimiliki oleh investor asing, maka harga saham bisa sangat dipengaruhi oleh keputusan investor asing yang mungkin saja berpindah ke pasar lain yang lebih menarik,” jelas Budi.

Kontribusi ke Pertumbuhan Ekonomi

Peneliti Indonesia Democracy Bridge Research Institute (Ind-Bri) Fauzan Luthsa mengatakan, perusahaan menengah yang melaksanakan IPO bisa berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. 

Sebab, perusahaan menengah akan menggunakan dana hasil IPO untuk perputaran modal kerja, penambahan kapasitas produksi, dan penambahan tenaga kerja. 

“Hal ini akan berdampak pada peningkatan daya beli masyarakat,” katanya dalam kesempatan yang sama.

Baca Juga: Dirut BEI Ungkap Ada Emiten Konglomerasi Siap IPO di Semester II-2025

Pengamat Pasar Modal, Dipo Satria Ramli mengatakan, OJK dan Bursa Efek Indonesia (BEI) harus bisa mengatasi masalah biaya dan regulasi yang menjadi hambatan utama bagi perusahaan menengah dalam mengakses pasar modal.

Biaya proses IPO yang tinggi, antara Rp 3 miliar - Rp 5 miliar, serta persyaratan administratif yang rumit, membuat banyak perusahaan menengah kesulitan untuk melantai di bursa.

“Perusahaan menengah sering kali terhalang oleh biaya yang sangat besar dan persyaratan yang ketat untuk memenuhi standar yang ada di papan utama pasar modal,” katanya dalam kesempatan yang sama.

Menurutnya, peraturan yang berlaku di Indonesia seringkali mengacu pada standar papan utama, yang memang ditujukan untuk perusahaan besar dengan market cap yang tinggi.

“Sementara itu, perusahaan menengah memiliki karakteristik yang berbeda dan membutuhkan regulasi yang lebih fleksibel untuk bisa masuk ke pasar modal,” kata Dipo.

Selanjutnya: LMKN Harapkan Status Hukum yang Lebih Jelas pada Revisi UU Hak Cipta

Menarik Dibaca: 9 Rekomendasi Jus yang Bagus Diminum saat Diet untuk Menurunkan Berat Badan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mitigasi Risiko SP2DK dan Pemeriksaan Pajak Executive Macro Mastery

[X]
×