Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kinerja emiten properti kawasan industri masih tertahan sepanjang sembilan bulan pertama 2025. Pelemahan investasi asing dan penundaan ekspansi manufaktur membuat laju bisnis kawasan industri belum kembali bergairah.
PT Surya Semesta Internusa Tbk (SSIA) mencatat penurunan pendapatan 14,15% secara tahunan (YoY) menjadi Rp 3,31 triliun hingga kuartal III-2025. Laba bersih yang diatribusikan ke entitas induk anjlok 97,17% YoY menjadi Rp6,46 miliar.
Penurunan ini terutama dipicu oleh renovasi besar di Paradisus by Meliá Bali, yang semula bernama Meliá Bali Hotel.
Baca Juga: Kinerja Emiten Kawasan Industri Diproyeksi Positif, Cermati Saham Rekomendasi Analis
“Investasi strategis ini kami lakukan untuk meningkatkan nilai jangka panjang dan memberikan pengalaman baru bagi tamu,” ujar Erlin Budiman, VP Investor Relations & Corporate Communications SSIA.
Sementara itu, PT Puradelta Lestari Tbk (DMAS) mencatat pendapatan Rp 780 miliar dengan laba bersih Rp 525 miliar pada kuartal III-2025. Meski margin laba bersihnya masih tinggi di 67%, realisasi pendapatan prapenjualan baru mencapai 35% dari target tahun ini.
PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA) justru membukukan kenaikan pendapatan 8% menjadi Rp 3,67 triliun, namun laba bersihnya turun dari Rp 769,7 miliar menjadi R p634,6 miliar.
Pelemahan bisnis kawasan industri terlihat jelas dari sisi marketing sales. SSIA hanya menjual lahan seluas 18 hektare senilai Rp 352,6 miliar hingga September 2025, turun 87,3% YoY akibat efek basis tinggi dari penjualan besar ke BYD di tahun sebelumnya.
Baca Juga: Cermati Rekomendasi Saham Emiten Properti Kawasan Industri yang Layak Dilirik
DMAS membukukan marketing sales Rp 626,4 miliar atau 35% dari target Rp1,81 triliun. “Ketidakpastian global, dinamika geopolitik, dan kebijakan tarif internasional menurunkan minat investor asing,” jelas Tondy Suwanto, Direktur & Sekretaris Perusahaan DMAS.
Ia menambahkan, reshuffle kabinet dan kondisi politik dalam negeri turut menunda sejumlah transaksi.
KIJA menjadi satu-satunya yang mencatat pertumbuhan marketing sales, yakni Rp 2,92 triliun, naik 22% YoY, setara 83% dari target tahunan Rp 3,5 triliun.
Analis Infovesta Utama, Ekky Topan, menilai kelesuan kinerja disebabkan oleh turunnya penjualan lahan industri dan realisasi investasi baru. Penanaman modal asing (PMA) Indonesia yang turun 8,87% pada kuartal III disebut menjadi faktor utama.
“Bisnis kawasan industri sangat bergantung pada arus masuk investasi manufaktur dan relokasi industri,” ujarnya.
Senada, Liza Camelia Suryanata, Head of Research Kiwoom Sekuritas Indonesia, menilai jeda proyek manufaktur, terutama dari sektor kendaraan listrik (EV), membuat permintaan lahan stagnan.
“Investor masih menunggu kejelasan rantai pasok global dan arah tarif Amerika Serikat,” katanya.
Baca Juga: Emiten Properti Kawasan Industri Prospektif, Ini Rekomendasi Analis
Meski tertekan tahun ini, prospek 2026 dinilai lebih positif. Stabilitas suku bunga, relokasi manufaktur ke ASEAN, agresivitas kebijakan hilirisasi, serta meningkatnya permintaan lahan untuk*data center dan logistik menjadi katalis utama.
Liza menilai, DMAS masih menjadi emiten paling defensif berkat margin tinggi dan basis tenant stabil. SSIA berpotensi pulih cepat lewat monetisasi Subang Smartpolitan, sementara KIJA dinilai menarik untuk strategi jangka pendek.
Secara valuasi, PBV SSIA tercatat 1,34x, KIJA 0,64x, dan DMAS 1,01x. Liza merekomendasikan beli untuk SSIA dan DMAS, serta hold untuk KIJA.
Ekky memperkirakan tekanan masih berlanjut hingga akhir 2025 karena proses penjualan lahan yang panjang dan sikap wait and see investor. Namun, pemulihan FDI dan proyek hilirisasi pemerintah dapat mengangkat kinerja mulai 2026.
“Permintaan dari sektor data center, energi hijau, EV, hingga logistik berpotensi mendorong kebangkitan kawasan industri,” ujarnya.
Baca Juga: Makmur Berkah Amanda (AMAN) Bidik Pendapatan dari Kawasan Industri Hingga Perhotelan
Ia mengingatkan risiko pelemahan rupiah, persaingan kawasan industri di Jawa, serta potensi oversupply jika ekspansi tidak diimbangi realisasi tenant.
Dari sisi saham, Ekky merekomendasikan akumulasi bertahap untuk DMAS dan KIJA dengan target harga jangka menengah masing-masing Rp170–Rp200 dan Rp220–Rp250 per saham.
SSIA cocok untuk investor jangka panjang dengan potensi harga kembali ke Rp3.000 per saham jika momentum bisnis membaik.
Selanjutnya: Melongok Prospek Emiten Tambang & Energi Grup Bakrie Selepas Kuartal III-2025
Menarik Dibaca: Promo The Body Shop Diskon s/d 70% Segera Berakhir, Berlaku sampai 15 November 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













