Reporter: Emir Yanwardhana | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Sentimen The Fed masih menghantui bursa hingga usai rapat Federal Open Market Committee (FOMC). Ditambah kecemasan atas kestabilan politik Indonesia juga menambah beban bursa hingga akhir tahun.
Analis Lautandhana Securindo Krishna Setiawan mengatakan usai kemenangan Donald Trump memang kondisi bursa saat ini sulit diprediksi. Terkait arah kebijakan yang ingin ditonjolkan oleh pemerintahan baru dari Partai Republik, membuat ketidakpastian pada pasar.
”Awalnya mungkin investor belum khawatir, namun saat ini kondisi net sell terus berlanjut,” kata Krishna kepada KONTAN, Kamis (24/11).
Krishna melihat potensi Trump akan mengeluarkan kebijakan agresif saat dia menjabat nanti. Mulai dari pemangkasan pajak, menggenjot belanja negara, serta kembali meningkatkan kembali energi fosil seperti batubara guna meningkatkan tenaga kerja.
Dari efek ini Krishna melihat adanya potensi penigkatan inflasi di Amerika. Makanya dia memprediksi tahun ini The Fed akan menaikkan suku bunga pada 14 Desember mendatang. ”Dollar juga akan menguat, potensi hot money dan carry trades akan kembali ke Amerika,” kata Krishna.
potensi investor asing melakukan net sell juga masih terus berlanjut. Dia menggarisbawahi sejak 8 November aksi net buy hanya terjadi satu kali, sisanya net sell hingga akumulatif hari ini US$ 9,9 triliun.
Selain itu dari dalam negeri, menurut Khrisna saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) menjadi salah satu akibat indeks saham terkoreksi. ”BMRI salah satu emiten capital besar, turun drastis hari ini 7,3%. Itu juga menjadi salah satu faktor indeks turun,” kata Krishna.
Dia menilai penurunan ini terjadi karena rencana BMRI yang ingin meningkatkan cadangan kredit bermasalah menjadi Rp 22 triliun. Sementara di kuartal IV diprediksi NPL bank BUMN ini masih besar di atas 4%.
Sementara Direktur Investasi Sucorinvest Jemmy Paul menyoroti sentiment dalam negeri aksi demo yang terjadi pada 2 Desember mendatang. Dikabarkan aksi demi ini juga akan diikuti proses kudeta, sehingga berpotensi membuat kecemasan diantara pasa investor.
”Mungkin kita melihat itu masih mustahil terjadi kudeta tapi pandangan global bisa jadi serius, dan mempengaruhi investor dan menjadi sentimen negatif ke bursa,” kata Jemmy.
Kekhawatiran ini diperlihatkan pemerintah yang menanggapi serius aksi ini dengan melakukan konsolidasi politik.
Walaupun banyak sentiment negatif, dua analis ini masih memprediksi bursa masih akan berada pada level 5.000 di kuartal I tahun depan. Melihat akhir tahun emiten pasti melakukan window dressing sehingga kinerja terlihat bagus.
Sementara tekanan dari sentiment global kemungkinan akan berkurang usai hasil Rapat FOMC. Namun potensi IHSG turun di bawah level 5.000 masih besar melihat masih ada sekitar tiga pekan lagi hingga ada keputusan dari rapat itu.
“Indeks saja hari ini sudah 5.100, kemungkinan masih ada turun lagi, apalagi kalau jadi naik kemungkinan efek jangka pendek akan turun dulu,” kata Krishna.
Asal tahu saja, pada perdagangan Kamis, (24/11) IHSG juga kembali ditutup menurun 2% menjadi 5.107,6.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News