kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Return reksadana pendapatan tetap potensi melambat


Minggu, 05 Maret 2017 / 12:28 WIB
Return reksadana pendapatan tetap potensi melambat


Reporter: Maggie Quesada Sukiwan | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Berbagai tantangan dari internal dan eksternal dapat menghambat kinerja reksadana pendapatan tetap. Merujuk data Infovesta Utama per Februari 2017, rata-rata return reksadana pendapatan tetap mencapai 0,69% (MoM) dan 1,73% (YtD).

Head of Research and Consulting Services PT Infovesta Utama Edbert Suryajaya mengakui, reksadana pendapatan tetap memang mencatatkan return tertinggi selama dua bulan pertama tahun 2017 ketimbang jenis reksadana lainnya. Katalis positif berasal dari ekspektasi prospek perekonomian Indonesia yang cukup baik.

Ini tercermin pada aksi lembaga pemeringkat internasional Fitch Rating dan Moody's yang telah mengerek Outlook Sovereign Credit Rating Republik Indonesia dari semula stabil menjadi positif beberapa waktu lalu. "Rating kita juga masih dipertahankan di level investment grade," tukasnya.

Terlebih, secara valuasi obligasi dalam negeri masih murah. Ini diakibatkan koreksi cukup tajam jelang pengujung tahun 2016.

Senior Research Analyst Pasar Dana Beben Feri Wibowo menambahkan, di awal tahun ini, nilai tukar rupiah dan laju inflasi dalam negeri juga masih terkendali. Alhasil per 28 Februari 2017, investor asing mencatatkan net buy surat berharga negara (SBN) sebanyak Rp 26,08 triliun (YtD). Lelang obligasi pemerintah dalam kurun dua bulan terakhir juga diwarnai kelebihan penawaran alias oversubscribe.

Katalis positif juga bersumber dari tingginya permintaan obligasi dari investor domestik, semisal dana pensiun dan asuransi. Pemicunya, kenaikan batas minimum kepemilikan SBN bagi industri keuangan non bank (IKNB). Ini tercantum pada regulasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Buktinya, secara YtD per 28 Februari 2017, kepemilikan reksadana di SBN tumbuh 4,41% menjadi Rp 89,43 triliun. Kepemilikan investor asuransi di SBN juga naik 2,84% menjadi Rp 245 triliun.

Begitu pula dengan kepemilikan dana pensiun yang membesar 0,46% ke level Rp 87,68 triliun serta perbankan yang melonjak 29,56% menjadi Rp 517,52 triliun. "Ini tentu memberikan andil untuk menyokong positifnya pasar pendapatan tetap," jelasnya.

Beben mengakui, kinerja reksadana pendapatan tetap tahun ini cenderung melambat ketimbang periode sama tahun lalu yang berkisar 2,55%. Biang keladinya, pidato Presiden AS Donald Trump di awal tahun ini yang sempat menekan pasar keuangan dalam negeri. Imbasnya, BI mengambil langkah konservatif dengan mempertahankan suku bunga acuan di level 4,75%.

Oleh karena itu, Beben memproyeksikan return reksadana pendapatan tetap sepanjang tahun 2017 bakal mencapai 4% - 6%, lebih rendah dari pencapaian tahun 2016 yang tercatat 8,02%.

Tantangan bersumber dari valuasi rupiah dan laju inflasi domestik. Maklum, mata uang Garuda diprediksi mulai volatil ketika spekulasi rencana The Fed berhembus kencang. Inflasi Indonesia juga mulai merangkak naik ke level 3,83% (YoY) per Februari 2017 kendati masih berada dalam batasan 4%±1%.

Memang masih ada katalis positif yang dapat menyokong. Yakni membaiknya perekonomian dalam negeri serta peluang kenaikan rating Indonesia dari lembaga pemeringkat internasional Standard & Poor's menjadi investment grade pada Mei 2017.

Edbert memprediksi, sepanjang tahun 2017 rata-rata return reksadana pendapatan tetap dengan aset dasar surat berharga negara (SBN) akan berkisar 9% - 12%. Katalis positif masih akan berasal dari tingginya minat investor IKNB dalam mengakumulasi instrumen berbasis SBN. Tujuannya, untuk memenuhi syarat minimum investasi obligasi pemerintah dari OJK.

"Bagi investor yang kena pajak, reksadana masih jadi alternatif menarik. Karena ada diskon pajak menjadi 5% atas bunga dan capital gain," jelasnya.

Kendati demikian, prediksi return tersebut mengecil ketimbang realisasi tahun lalu. Maklum, ada dua tantangan yang membalut pasar obligasi Indonesia tahun ini.

Pertama, rencana kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) alias The Fed sebanyak tiga kali tahun ini. Spekulasi kenaikan suku bunga The Fed pada pertengahan Maret 2017 memang membesar pasca data inflasi AS yang sudah melebihi target 2%. Rencana kebijakan dan anggaran belanja Trump juga memperkuat laju inflasi.

Kedua, potensi kenaikan suku bunga Bank Indonesia (BI) sebagai respons atas kebijakan The Fed. "Bisa berdampak pada keluarnya dana asing dan potensi suku bunga yang harus ikut naik," tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×