Reporter: Umi Kulsum | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Reksadana pendapatan tetap berhasil membukukan kinerja paling baik sepanjang Januari 2017. Kinerja instrumen obligasi yang positif di bulan pertama tahun ini menopang kinerja reksadana pendapatan tetap.
Sepanjang Januari Infovesta Fixed Income Fund Index, yang menggambarkan rata-rata kinerja reksadana pendapatan tetap, tumbuh 1,02%. Kenaikan tersebut lebih tinggi dibanding kenaikan Infovesta Balanced Fund Index.
Indeks yang menggambarkan kinerja rata-rata reksadana campuran itu cuma naik 0,64%. Infovesta Equity Fund Index, yang menggambarkan kinerja rata-rata reksadana saham, malah cuma naik 0,26%.
Direktur Bahana TCW Investment Management Soni Wibowo menjelaskan, kinerja reksadana pendapatan tetap terdongkrak berkat rebound harga obligasi. "Karena di November dan Desember, harga obligasi terkoreksi dalam," kata dia, Rabu (2/2). Belum lagi, sepanjang bulan lalu, investor asing kembali masuk ke obligasi dalam negeri.
Head of Fixed Income Manulife Aset Manajemen Indonesia Ezra Nazula Ridha bilang, likuiditas yang pulih di pasar menyebabkan investor lokal seperti perbankan membeli obligasi, khususnya yang jangka pendek. Sementara kinerja reksadana saham melempem lantaran kinerja rata-rata saham juga kurang oke.
Soni menyebut, pelaku pasar cenderung ragu masuk ke saham karena tak bisa menduga efek kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Selain itu, pilkada pada 15 Februari 2017 juga membuat investor enggan masuk ke investasi high risk.
Direktur Utama Samuel Aset Manajemen Agus B. Yanuar sepakat. Rendahnya imbal hasil reksadana saham terjadi lantaran pasar masih wait and see terhadap kondisi eksternal dan internal. "Dari dalam negeri, pasar juga mesih menunggu laporan keuangan emiten 2016 diumumkan," tambah dia.
Saham tetap moncer
Penguatan nilai tukar rupiah sepanjang Januari 2017 juga turut menjadi katalis positif bagi reksadana pendapatan tetap. Terlebih dalam sebulan terakhir, setidaknya Rp 20 triliun dana asing mengalir masuk ke pasar surat utang dalam negeri.
Mengacu data Direktorat Jenderal Pengelolaan dan Pembiayaan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan per 30 Januari, porsi kepemilikan asing di surat berharga negara (SBN) mencapai Rp 686,36 triliun. Jumlah ini naik 3,09% dibandingkan posisi akhir tahun lalu, Rp 665,81 triliun.
Keadaan ini berbanding terbaik dengan outflow di pasar saham. Potensi kenaikan harga obligasi bertambah jika S&P menaikkan peringkat utang Indonesia.
Tapi, tampaknya reksadana pendapatan tetap tidak akan memegang posisi jawara terlalu lama. Para manajer investasi yakin reksadana saham bakal kembali jadi raja. "Mengingat kinerja emiten di tahun ini diprediksi lebih baik," ungkap Agus.
Selain itu, jika The Fed merealisasikan rencananya mengerek suku bunga tiga kali, investor asing yang masuk ke obligasi dalam negeri berpotensi keluar. Karena itu, Agus pun memprediksi rata-rata return reksadana saham di tahun ini bisa lebih kinclong dan mencapai 15%–18%.
Ini lebih tinggi ketimbang reksadana pendapatan tetap yang hanya 7%–9% dan reksadana campuran yang sebesar 12%–13,5%.
Proyeksi Soni pun serupa. Hitungan dia, return reksadana pendapatan tetap tahun ini sekitar 7%–9%. Sedangkan reksadana saham mampu memeri return lebih tinggi, yakni sekitar 11%–14%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News