Reporter: Kenia Intan | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bursa Efek Indonesia (BEI) optimistis jumlah perusahaan yang menggelar initial public offering (IPO) tahun ini lebih tinggi dibanding tahun 2021. Optimisme ini ditopang oleh capaian bursa di separuh tahun 2022 yang telah mencatatkan 21 emiten baru di bursa.
Selain itu, setidaknya ada 40 perusahaan lain yang masih antri dalam pipeline saat ini.
"Itu pun masih di paruh tengah, masih ada enam bulan lagi ke depan," jelas Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna Setia kepada wartawan belum lama ini.
Asal tahu saja, sebanyak 54 perusahaan menggelar IPO tahun lalu, dengan total penggalangan dana hingga Rp 62,61 triliun.
Analis Investindo Nusantara Pandhu Dewanto mencermati, capaian IPO sepanjang tahun lalu memungkinkan terlampaui di akhir tahun 2022 ini. Kondisi ekonomi yang berangsur pulih memungkinkan para calon emiten memiliki bekal positif.
Baca Juga: Berikut Saham-saham Laggard di Semester I 2022, Bagaimana Prospeknya ke Depan?
"Kondisi keuangan yang secara umum seharusnya sudah lebih baik dibanding masa pandemi," ungkap Pandhu, Minggu (3/7).
Di sisi lain, dilihat dari prospek usahanya, calon-calon emiten cenderung memiliki outlook yang positif. Sehingga, calon emiten akan lebih mudah dalam memproyeksi kondisi keuangannya di masa mendatang.
Sementara itu, Vice President Infovesta Utama, Wawan Hendrayana, berpendapat, dari sisi jumlah perusahaan, capaian tahun 2021 memang memungkinkan terlampaui. Akan tetapi dari sisi jumlah dana yang dihimpun, catatan tahun lalu akan sulit disaingi.
"Untuk nominal agak sulit disamai karena tahun lalu ada dua yang super jumbo," jelas Wawan kepada Kontan.co.id, Minggu (3/7).
Asal tahu saja, mengutip website resmi e-ipo, saat ini ada PT Saraswanti Indoland Development (SWID) yang tengah menggelar penawaran umum hingga pekan depan.
Baca Juga: Saraswanti Indoland (SWID) Optimistis Kinerja Recurring Income Semester II Melesat
Selain SWID, terdapat sembilan perusahaan lain dalam status book building.
Sembilan perusahaan itu adalah PT Bangun Karya Perkasa Jaya (KRYA), PT Aman Agrindo (GULA), PT Tera Data Indonusa (AXIO), PT Dewi Shri Farmindo (DEWI), PT Habco Trans Maritima (HATM), PT Arkora Hydro (ARKO), PT Chemstar Indonesia (CHEM), PT Cerestar Indonesia (TRGU), dan PT Hillcon (HILL).
Perlu mencermati prospek sektor calon emiten
Mengutip keterbukaan informasinya, sejak tanggal 1-5 Juli 2022, SWID menawarakan 340 juta saham biasa atas nama atau sebesar 6,31% dari modal ditempatkan dan disetor Perseroan setelah IPO. SWID melepas tiap sahamnya di harga Rp 200. Dus, melalui aksi korporasi ini akan menghimpun dana segar hingga Rp 68 miliar.
Pandhu mengamati, SWID yang memiliki pendapatan utama dari hotel dan penjualan apartemen sebenarnya tengah menghadapi tantangan. Sektor properti dalam waktu dekat akan dibayang-bayangi potensi kenaikan suku bunga. Sepengamatannya, para pemangku kebijakan di bank sentral berbagai negara akan menaikkan suku bunga untuk mengimbangi tingginya inflasi.
"Termasuk Bank Indonesia yang juga sudah bersiap menaikkan suku bunga dari level 3,5% yang sudah bertahan sejak Februari 2021 silam," jelasnya kepada Kontan.co.id,
Outlook yang negatif ini sudah tercermin pada saham-saham properti yang bergerak dalam tren penurunan sejak awal tahun. Adapun dilihat dari laporan keuangan 2021, penjualan apartemen perseroan mengalami penurunan hingga 37% year on year (yoy) menjadi Rp 73 miliar dari Rp 116 miliar di tahun 2020.
Menurut Pandhu, berkaca dari kondisi tersebut, manajemen perlu memikirkan strategi yang lebih tepat untuk meningkatkan penjualan apartemen. Apalagi, situasi saat ini berpotensi menekan minat konsumen.
Dilihat dari segmen perhotelan, SWID mengalami peningkatan pendapatan hingga 46% yoy menjadi Rp 54 miliar dari Rp 37 miliar di tahun 2020. Pertumbuhan ini tertopang pelonggaran pembatasan pasca pandemi. Perolehan di tahun 2021 itu diharapkan membaik seperti di tahun 2019 ketika segmen perhotelan bisa mencetak pendapatan hingga Rp 89 miliar. Dengan demikian,perseroan bisa kembali merogoh profit dari segmen ini.
Yang menjadi catatan, karakter bisnis perhotelan memiliki biaya operasional tinggi sehingga berpotensi menekan kinerja seperti yang terjadi selama dua tahun terakhir. Sepengamatan Pandhu, tingkat okupansi masih relatif rendah sehingga laba perseroan tergerus.
Dengan harga IPO di Rp 200, SWID akan listing dengan rasio PBV sekitar 6 kali dan PE sekitar 57 kali. Dibandingkan dengan industrinya, valuasi SWID cukup tinggi sehingga kurang menarik untuk jangka panjang.
" Mungkin akan lebih cocok untuk jangka pendek saja mengingat pergerakan beberapa hari pertama listing biasanya cukup kencang," imbuhnya. Apalagi pembagian waran 1:1 berpotensi meningkatkan minat para pemburu IPO karena ada potensi keuntungan dari waran yang dibagikan secara gratis oleh emiten.
Baca Juga: Masuk Penawaran Umum, Saraswanti Indoland (SIWD) Pasang Harga IPO Rp 200
Sementara itu, dari sekian banyak calon emiten yang menyandang status book building saat ini, Pandhu melihat PT Tera Data Indonusa (AXIO) menjadi salah satu yang atraktif. Pemilik merk laptop Axioo dan RAM Visipro itu sudah cukup terkenal dan diharapkan dapat bersaing dengan merk lain, terutama sejak Kemenperin mensyaratkan TKDN tinggi. Adapun untuk saat ini, produk laptop perseroan memiliki TKDN mencapai 50%, di atas batas yang disyaratkan pemerintah sebesar 40%.
Dilihat dari kinerja keuangannya, Tera Data Indonusa membukukan pertumbuhan yang kuat. Pendapatan sepanjang 2021 terkerek 342% lebih tinggi dibanding 2020, sedangkan laba tumbuh 101% yoy. Rasio utang pun relatif rendah sehingga bisa dikatakan memiliki struktur modal yang sehat.
Sementara itu Wawan berpendapat, berkaca dari booming siklus komoditas yang mengangkat pertumbuhan ekonomi sebelumnya, sektor properti justru akan terimbas positif. Selain itu, saham-saham terkait sektor energi dan consumer good juga dipandang akan menarik ke depannya.
Baca Juga: Cerestar Indonesia (TRGU) Tetapkan Harga IPO Rp 210 per Saham
Disamping memperhatikan sektornya, investor juga perlu melihat fundamental masing-masing emiten, prospek bisnis, dan juga proyeksi likuiditasnya. Umumnya, saham kapitalisasi kecil tidak terlalu likuid, sehingga terhadap calon-calon saham yang berkapitalisasi mini itu investor musti siap dengan risiko ini.
Senada, Pandhu menambahkan, investor perlu melihat valuasi dari masing-masing emiten. Mengingat, fundamental emiten akan tercemin pada pergerakan sahamnya dalam jangka panjang. Selain itu, likuiditas saham juga perlu diperhatikan. Jika terlalu sedikit, maka akan sulit bagi investor untuk menjual ke pasar. Jika terlalu besar akan sulit untuk bergerak atraktif.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News