Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dengan potensi pemulihan ekonomi, para analis sepakat menilai emiten sektor perbankan punya prospek yang menarik. Pasalnya, dengan pertumbuhan ekonomi yang berpeluang kembali positif, saham-saham perbankan menjadi yang akan diuntungkan dengan kondisi tersebut.
Analis Mirae Asset Sekuritas Lee Young Jun mengatakan, saat ini terjadi pergeseran dalam pergerakan pasar. Bila sebelumnya pasar digerakkan oleh likuiditas, kini pasar mulai digerakkan oleh pertumbuhan ekonomi sehingga saat ini merupakan fase transisi.
“Ketika vaksinasi terbukti efektif dan penanganan Covid-19 bisa lebih terkendali, fase transisi akan berjalan mulus. Jika bicara soal pasar yang digerakkan oleh pertumbuhan, saham-saham perbankan akan jadi salah satu sektor yang paling diuntungkan,” kata Lee kepada Kontan.co.id, Jumat (8/1).
Analis Sucor Sekuritas Edward Lowis menambahkan, saat ini para investor juga sudah mulai beralih ke saham-saham yang secara value dinilai ketinggalan pada tahun lalu. Saham-saham perbankan adalah salah satunya.
Edward menilai sektor perbankan masih cukup prospektif. Apalagi ketika aliran dana asing sudah mulai masuk kembali.
Baca Juga: Bank BUMN pastikan biaya dana bakal tetap melandai di tahun 2021
Menurutnya, sentimen utama yang bisa menggaet investor asing untuk kembali masuk ke saham perbankan adalah perbaikan kualitas aset. Selain itu, penempatan dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) juga akan sedikit membantu untuk meningkatkan pertumbuhan kredit tahun depan.
“Kalau dilihat dari performa finansial, sebenarnya sangat tergantung dengan kondisi Covid-19. Jika bisa cepat dikontrol, maka biaya provisi tidak akan terlalu tinggi sehingga earnings juga bisa pulih atau bahkan membaik. Namun, jika sebaliknya, kualitas aset dan pertumbuhan kinerja perbankan dapat terdampak dan membuat earnings tetap lemah,” tambah Edward.
Sementara dari risiko yang membayangi, Edward melihat masih akan datang dari kualitas aset. Pasalnya, untuk saat ini kebanyakan bank besar sudah mencadangkan biaya provisi yang cukup besar pada 2020.
Jika sampai kualitas aset makin memburuk, bukan tidak mungkin biaya provisi akan kembali tinggi pada tahun ini.
Ke depan, Lee meyakini prospek sektor perbankan masih akan menarik. Hal ini tercermin dari proyeksi Mirae Asset Sekuritas yang memperkirakan Return On Equity (ROE) emiten perbankan yang di-cover oleh Mirae akan tumbuh di kisaran 7%-16% pada tahun ini.
Lee meyakini, faktor low base pada tahun 2020 akan jadi salah satu faktor yang mendukung. Di satu sisi, kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang memperpanjang relaksasi restrukturisasi pinjaman hingga Maret 2022 akan berpotensi memperbaiki fundamental emiten perbankan.
Ditambah lagi, dengan adanya pemulihan ekonomi baik secara domestik maupun global.
Namun, Lee juga melihat kebijakan OJK tersebut juga berpotensi menghambat pemulihan Net Interest Margin (NIM) perbankan pada tahun ini. Namun, selama kualitas aset dapat dikelola dengan baik, Lee meyakini realisasi NIM pada 2021 akan lebih baik dari tahun lalu.
Apalagi, dengan potensi pemulihan ekonomi turut akan membantu total restrukturisasi mengalami penurunan secara bertahap sepanjang tahun ini, khususnya pada paruh kedua. Secara keseluruhan, Lee memproyeksikan NIM perbankan secara umum akan naik 1-75 bps pada 2021.
Walaupun saat ini tren suku bunga yang rendah berpotensi menekan NIM perbankan, Edward meyakini dampaknya tidak akan signifikan. Apalagi bank-bank besar saat ini punya likuiditas yang besar.
Baca Juga: Saham sektor perbankan kembali jadi leader, berikut rekomendasi analis
Terkait credit cost perbankan pada tahun ini, Lee memproyeksikan credit cost perbankan berpotensi akan turun 66 bps - 105 bps pada tahun ini.
Dengan adanya relaksasi dari OJK, Lee bilang, perbankan jadi punya lebih banyak waktu untuk menjaga jumlah pinjaman yang direstrukturisasi maupun mengembalikannya menjadi pinjaman normal selepas pandemi.
“Kemungkinan juga tidak akan ada tambahan pinjaman yang direstrukturisasi pada tahun ini seiring pemerintah yang masih tetap akan mendukung pelaku bisnis dan pinjaman dari peminjam berprofil low sudah direstrukturisasi,” tutur Lee.
Sementara untuk pertumbuhan pinjaman, Lee memperkirakan pada tahun ini akan tumbuh di kisaran 7%-9% secara umum. Selain karena efek low base, ia juga melihat akan ada perbaikan permintaan pada paruh kedua tahun ini, serta dampak positif dari foreign direct investment (FDI) seiring implementasi omnibus law.
Hitungan Edward, kredit mungkin hanya tumbuh moderat di 5%-6% secara year on year. Jika berbicara dari sisi laba, ia melihat bank-bank besar sudah bisa mulai pulih paling lama di paruh kedua tahun ini.
”Namun, agar ekspektasi tersebut tercapai, syaratnya adalah pertumbuhan kredit bisa merangkak naik sementara asset quality bisa dijaga di level yang sehat,” tambah Edward.
Pada tahun ini, OJK tak hanya memberikan relaksasi restrukturisasi kredit, namun juga tengah menggodok soal rencana pengelompokan bank yang tak lagi akan dihitung berdasarkan entitas melainkan Kelompok Bank berdasarkan Modal Inti (KMBI).
KMBI 1 ditetapkan sebagai bank yang punya modal inti di bawah Rp 6 triliun, lalu KMBI 2 punya modal inti Rp 6 triliun sampai kurang dari Rp 14 triliun. Sementara KMBI 3 bermodal inti Rp 14 triliun sampai kurang dari Rp 70 triliun. Sementara paling besar adalah KMBI 4 yang bermodal inti lebih dari Rp 70 triliun.
Dengan adanya KMBI ini, modal inti yang dijadikan patokan pun mengalami peningkatan signifikan dibanding konsep pengelompokkan saat ini, yakni Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU). Pada BUKU 1 modal intinya kurang dari Rp 1 triliun, BUKU 2 modal intinya Rp 1 triliun sampai kurang dari Rp 5 triliun, lalu BUKU 3 modal intinya Rp 5 triliun sampai Rp 30 triliun, sementara BUKU 4 modal intinya di atas Rp 30 triliun.
Lee mengaku kebijakan ini sebenarnya tidak banyak memberi dampak terhadap bank-bank besar. Menurutnya, kebijakan tersebut berpotensi memicu aksi merger dan akuisisi antara bank kecil dan bank besar.
“Indonesia sebenarnya terlalu banyak jumlah banknya, sehingga konsolidasi bertahap sebenarnya merupakan hal yang diperlukan. Namun, saat ini kan hanya ada 17 bank yang termasuk ke dalam kategori BUKU 1, jadi kami tidak berekspektasi akan ada dampak yang signifikan ke industri perbankan,” terang dia.
Dengan berbagai hal yang sudah ia jelaskan, Lee secara keseluruhan menilai kenaikan saham perbankan masih akan melanjutkan rally positif pada tahun ini. Hal ini seiring perbaikan fundamental perbankan, aliran dana asing ke sektor perbankan, dan valuasi yang wajar. Lee pun meningkatkan rekomendasi untuk sektor perbankan dari netral menjadi overweight.
Ia memilih PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dan PT Bank Rakyat Indonesia (BBRI) sebagai emiten pilihannya pada sektor perbankan.
Baca Juga: Target Berat Kredit Usaha Rakyat (KUR)
Menurut Lee, BBCA sebagai bank yang punya pengetahuan dalam pengelolaan kredit risiko paling baik dan kinerja yang stabil.
Sementara BBRI akan diuntungkan oleh kebijakan fiskal yang berdampak pada perbaikan NIM dan juga mendukung pertumbuhan pinjaman yang lebih tinggi
Sementara Edward mengaku menjagokan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dan PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) sebagai emiten perbankan pilihannya.
BMRI dinilai Edward punya kualitas aset yang sedikit lebih baik dibandingkan dengan peers bank BUMN lainnya, dan dari segi valuasi juga jauh lebih menarik
Lalu BBTN dinilai Edward berpotensi bisa outperform karena dari segi pinjaman dan pertumbuhan laba yang membaik seiring transformasi keuangan di BBTN yang mulai menunjukkan hasilnya.
Selanjutnya: Melihat Prospek Perbankan di Tahun 2021
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News