Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Herlina Kartika Dewi
Lee meyakini, faktor low base pada tahun 2020 akan jadi salah satu faktor yang mendukung. Di satu sisi, kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang memperpanjang relaksasi restrukturisasi pinjaman hingga Maret 2022 akan berpotensi memperbaiki fundamental emiten perbankan.
Ditambah lagi, dengan adanya pemulihan ekonomi baik secara domestik maupun global.
Namun, Lee juga melihat kebijakan OJK tersebut juga berpotensi menghambat pemulihan Net Interest Margin (NIM) perbankan pada tahun ini. Namun, selama kualitas aset dapat dikelola dengan baik, Lee meyakini realisasi NIM pada 2021 akan lebih baik dari tahun lalu.
Apalagi, dengan potensi pemulihan ekonomi turut akan membantu total restrukturisasi mengalami penurunan secara bertahap sepanjang tahun ini, khususnya pada paruh kedua. Secara keseluruhan, Lee memproyeksikan NIM perbankan secara umum akan naik 1-75 bps pada 2021.
Walaupun saat ini tren suku bunga yang rendah berpotensi menekan NIM perbankan, Edward meyakini dampaknya tidak akan signifikan. Apalagi bank-bank besar saat ini punya likuiditas yang besar.
Baca Juga: Saham sektor perbankan kembali jadi leader, berikut rekomendasi analis
Terkait credit cost perbankan pada tahun ini, Lee memproyeksikan credit cost perbankan berpotensi akan turun 66 bps - 105 bps pada tahun ini.
Dengan adanya relaksasi dari OJK, Lee bilang, perbankan jadi punya lebih banyak waktu untuk menjaga jumlah pinjaman yang direstrukturisasi maupun mengembalikannya menjadi pinjaman normal selepas pandemi.
“Kemungkinan juga tidak akan ada tambahan pinjaman yang direstrukturisasi pada tahun ini seiring pemerintah yang masih tetap akan mendukung pelaku bisnis dan pinjaman dari peminjam berprofil low sudah direstrukturisasi,” tutur Lee.
Sementara untuk pertumbuhan pinjaman, Lee memperkirakan pada tahun ini akan tumbuh di kisaran 7%-9% secara umum. Selain karena efek low base, ia juga melihat akan ada perbaikan permintaan pada paruh kedua tahun ini, serta dampak positif dari foreign direct investment (FDI) seiring implementasi omnibus law.
Hitungan Edward, kredit mungkin hanya tumbuh moderat di 5%-6% secara year on year. Jika berbicara dari sisi laba, ia melihat bank-bank besar sudah bisa mulai pulih paling lama di paruh kedua tahun ini.
”Namun, agar ekspektasi tersebut tercapai, syaratnya adalah pertumbuhan kredit bisa merangkak naik sementara asset quality bisa dijaga di level yang sehat,” tambah Edward.
Pada tahun ini, OJK tak hanya memberikan relaksasi restrukturisasi kredit, namun juga tengah menggodok soal rencana pengelompokan bank yang tak lagi akan dihitung berdasarkan entitas melainkan Kelompok Bank berdasarkan Modal Inti (KMBI).
KMBI 1 ditetapkan sebagai bank yang punya modal inti di bawah Rp 6 triliun, lalu KMBI 2 punya modal inti Rp 6 triliun sampai kurang dari Rp 14 triliun. Sementara KMBI 3 bermodal inti Rp 14 triliun sampai kurang dari Rp 70 triliun. Sementara paling besar adalah KMBI 4 yang bermodal inti lebih dari Rp 70 triliun.
Dengan adanya KMBI ini, modal inti yang dijadikan patokan pun mengalami peningkatan signifikan dibanding konsep pengelompokkan saat ini, yakni Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU). Pada BUKU 1 modal intinya kurang dari Rp 1 triliun, BUKU 2 modal intinya Rp 1 triliun sampai kurang dari Rp 5 triliun, lalu BUKU 3 modal intinya Rp 5 triliun sampai Rp 30 triliun, sementara BUKU 4 modal intinya di atas Rp 30 triliun.