Reporter: Petrus Sian Edvansa | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Berkah investasi syariah rupanya tidak luput dari tekanan efek Trump. Lihat saja kinerja obligasi syariah. Dalam kurun waktu sekitar tiga bulan terakhir, return obligasi syariah terlihat mengalami penurunan.
Merujuk data Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA), selama sekitar tiga bulan terakhir, return sukuk negara dan korporasi turun sekitar 1,10%. Sementara dalam sebulan terakhir, penurunan mencapai 1,63%.
Penurunan ini terjadi lantaran indikasi kenaikan suku bunga Amerika Serikat (AS) bulan depan semakin kuat. "Akibatnya, kinerja sukuk juga terkoreksi," terang Wawan Hendrayana, Senior Research & Investment Analyst Infovesta Utama.
Puncaknya terjadi ketika terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat (AS) direspons kurang baik oleh investor. "Tercatat, per 11 November ini, kepemilikan asing di SBSN (sukuk negara) susut sebesar Rp 0,27 triliun menjadi Rp 11,72 triliun dibandingkan dengan bulan sebelumnya," kata Beben Feri Wibowo, analis Pasar Dana.
Sebelumnya pada bulan Oktober, kepemilikan asing juga sudah menyusut sebesar Rp 1,67 triliun dibandingkan dengan bulan September menjadi Rp 11,99 triliun.
Analis IBPA Nicodimus Anggi Kristiantoro menambahkan, selain potensi kenaikan suku bunga acuan The Fed, masih mandeknya perekonomian China sebagai mitra dagang terbesar Indonesia juga turut mempengaruhi turunnya imbal hasil obligasi syariah belakangan ini.
Toh, obligasi syariah tetap mencetak kinerja positif sepanjang tahun ini. Per 14 November 2016, total return sukuk negara dan korporasi sejak awal tahun mencapai 12,88%.
Wawan menerangkan, imbal hasil obligasi syariah menanjak di awal tahun didorong tren penurunan suku bunga Bank Indonesia yang mengerek harga sukuk. Selain itu, kinerja sukuk masih lebih oke ketimbang obligasi konvensional.
Koreksi yang dialami sukuk tidak sedalam koreksi pada obligasi konvensional. "Ini karena transaksi sukuk masih belum sebanyak dan sevolatil transaksi obligasi konvensional," terang Nico.
Bandingkan saja, dalam tiga bulan terakhir, rata-rata harga sukuk negara terkoreksi sebesar 370 basis poin, sedangkan surat utang negara terkoreksi hingga 560 basis poin.
Lalu dari segi return, imbal hasil sukuk secara komposit turun sebesar 1,10% dan obligasi konvensional secara komposit turun hingga 3,12%.
Transaksi turun
Menurut hitungan Nico, secara month on month (mom), rata-rata frekuensi transaksi sukuk harian turun sebesar 27,32% pada bulan Oktober lalu. Pada Oktober, transaksi hanya tercatat 91 kali per hari, dibandingkan September yang mencapai 125 kali per hari.
Begitu pula dengan volume transaksi harian yang rata-rata hanya Rp 824 miliar per hari di bulan Oktober, turun 33,67% dari Rp 1,24 triliun per hari di September. "Memang, secara tren terus menurun," kata Nico.
Total sukuk negara yang beredar di pasar per 14 November, menurut catatan Nico, ada 27 seri dengan total outstanding senilai Rp 246,68 triliun. Sementara surat utang negara konvensional berjumlah 128 seri dengan nilai mencapai Rp 1.771,75 triliun.
Untuk sukuk korporasi terdapat 51 seri dengan total outstanding senilai Rp 11,04 triliun. Lalu obligasi korporasi konvensional berjumlah 477 seri senilai Rp 304,02 triliun. "Jadi memang terlihat perbedaan signifikan antara transaksi obligasi konvensional dibandingkan dengan sukuk," kata Nico.
Dari segi likuiditas, Direktur Bahana TCW Investment Management Soni Wibowo menilai, obligasi syariah masih kurang likuid. Jumlah investor yang sedikit membuat jumlah instrumen di pasar sekunder sedikit. "Ini membuat perdagangan menjadi jarang. Likuiditas jadi tidak tersedia di pasar," ucap Soni.
Dalam jangka pendek, menurut Nico, sentimen global masih akan membayangi pasar surat utang syariah di dalam negeri. "Sampai akhir tahun, prospeknya bakal terhambat karena faktor eksternal seperti Trump effect dan kenaikan suku bunga acuan The Fed pada Desember nanti," kata dia memprediksi.
Namun, Nico tetap optimistis dengan prospek obligasi syariah dalam jangka panjang. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Nico yakin banyak investor di Indonesia yang menginginkan instrumen investasi berbasis syariah. Hingga akhir tahun 2016, Soni memprediksi, imbal hasil obligasi syariah masih bisa mencapai level 15%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News