kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.923.000   8.000   0,42%
  • USD/IDR 16.335   -60,00   -0,37%
  • IDX 7.167   24,52   0,34%
  • KOMPAS100 1.045   4,88   0,47%
  • LQ45 815   2,85   0,35%
  • ISSI 224   0,76   0,34%
  • IDX30 426   1,90   0,45%
  • IDXHIDIV20 505   1,29   0,26%
  • IDX80 118   0,58   0,49%
  • IDXV30 120   0,61   0,51%
  • IDXQ30 139   0,24   0,17%

Obligasi Pemerintah Tetap Menarik di Tengah Penurunan Suku Bunga BI, Ini Pendorongnya


Kamis, 22 Mei 2025 / 19:40 WIB
Obligasi Pemerintah Tetap Menarik di Tengah Penurunan Suku Bunga BI, Ini Pendorongnya
ILUSTRASI. Suasana dealing room transaksi Surat Berharga Negara (SBN) di Bank Negara Indonesia (BNI), Jakarta, Selasa (21/1/2025). Pemerintah akan kembali menerbitkan SBN ritel sepanjang 2025. Tahun ini Kementerian Keuangan menjadwalkan penawaran untuk 8 seri baru SBN ritel. Obligasi Negara Ritel (ORI) akan jadi jenis SBN ritel yang ditawarkan pertama kali tahun ini. Penawaran akan dilakukan pada 27 Januari hingga 20 Februari 2025. (KONTAN/Cheppy A. Muchlis)


Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) telah memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,50%. Namun, pasar obligasi tetap memiliki daya tarik tersendiri di tengah ketidakpastian ekonomi dunia.

Chief Economist Pefindo, Suhindarto menuturkan umumnya pemangkasan suku bunga relatif akan membuat investor mulai masuk ke instrumen yang lebih berisiko, seperti saham. Sebab, prospek pertumbuhan ekonomi akan membaik seiring biaya dana yang menurun.

Hanya saja, dengan ketidakpastian yang relatif masih tinggi, pasar obligasi juga masih akan memiliki daya tariknya tersendiri. "Apalagi ketika suku bunga ke depan akan turun, obligasi yang dipegang saat ini akan naik harganya, memungkinkan investor memperoleh capital gain," ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (22/5).

Maklum, perang tarif dan kebijakan resiprokal dari Amerika Serikat (AS) kepada negara-negara mitra dagang utamanya, seperti China hanya dijeda selama 90 hari. Selain itu, risiko geopolitik akibat perang di beberapa wilayah juga masih berlanjut.

Baca Juga: Tak Lagi di SRBI, Perbankan Kini Kembali Menempatkan Dananya di Obligasi Pemerintah

Di sisi lain, pemangkasan suku bunga BI diperkirakan akan menurunkan yield. Namun, penurunan diproyeksikan relatif terbatas lantaran penerbitan surat utang pemerintah yang diperkirakan masih akan tinggi.

"Dengan penurunan yield yang kami perkirakan masih akan terbatas dan dikombinasikan dengan faktor ketidakpastian yang masih tinggi, maka akan berdampak pada tetap terjaganya permintaan investor pada instrumen obligasi," terang Suhindarto.

Terkait imbal hasil, usai BI memangkas suku bunga imbal hasil obligasi pemerintah mengalami koreksi turun per Rabu (21/5). Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI) mencatat yield tenor dua tahun terkoreksi 3,16bps ke 6,2%, lalu tenor lima tahun terkoreksi 1,04bps ke 6,51% dan tenor 10 tahun 0,75bps menjadi 6,86%.

Hanya saja, hari ini yield kembali alami koreksi naik dengan tenor dua tahun menjadi 6,21%. Kemudian, tenor lima tahun menjadi 6,52% dan tenor 10 tahun ke 6,87%.

Sampai akhir tahun, Suhindarto menilai yield surat utang pemerintah tenor 10 tahun secara rata-rata akan berada pada rentang 6,31%-6,69% di tahun 2025. Hal ini sejalan dengan konsensus Bloomberg di level 6,68%.

CEO and Founder Finansialku, Melvin Mumpuni melanjutkan bahwa penurunan suku bunga memberikan efek positif pada harga surat utang, terutama obligasi seri menengah–panjang. Menurutnya, investor obligasi bisa meraih imbal hasil 5%–8% dari capital gain dan kupon, tergantung durasi dan jenisnya.

"Namun return ini tetap tergantung pada faktor global dan domestik, termasuk keputusan The Fed, inflasi, serta dinamika geopolitik," sebutnya.

Baca Juga: Tensi Perang Dagang Mereda, Obligasi Diperkirakan Masih Akan Diburu Investor

Suhindarto juga sepakat bahwa investor tetap perlu memperhatikan sejumlah sentimen yang akan memberikan efek ke pasar obligasi, baik dari domestik maupun eksternal.

Dari domestik, pasokan obligasi pemerintah yang lebih tinggi daripada tahun lalu seiring dengan defisit dan jatuh tempo yang lebih tinggi menjadi faktor risiko. Selain itu, tekanan nilai tukar rupiah juga menjadi risiko lainnya di tengah aliran modal asing yang volatile.

Dari eksternal, ketidakpastian kebijakan ekonomi di bawah pemerintahan Trump juga menjadi faktor risiko selain penurunan peringkat sovereign AS oleh Moody’s baru-baru ini. Faktor lainnya adalah risiko geopolitik, yang baru-baru ini dipanaskan dengan perang India-Pakistan dan semakin gencarnya invasi Israel ke Palestina dan perseteruannya dengan Iran.

Risiko peningkatan inflasi AS juga merupakan tantangan lainnya, terutama bagi the Fed. "Terakhir, risiko fiskal pemerintah AS yang rentan terhadap peningkatan beban utang di tengah suku bunga tinggi saat ini juga perlu diperhatikan," tutup Suhindarto.

Baca Juga: Suku Bunga Turun, Nilai Obligasi yang Diperdagangkan akan Cenderung Naik

Selanjutnya: Ubah Nama, OJK Beri Izin Usaha PT Indonesia Airawata Finance

Menarik Dibaca: Antisipasi Hujan Petir, Ini Prakiraan Cuaca Besok (23/5) di Jawa Tengah

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Digital Marketing for Business Growth 2025 : Menguasai AI dan Automation dalam Digital Marketing

[X]
×