Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Obligasi masih akan menjadi instrumen pilihan di tengah ketidakpastian global. Tercermin dari dana asing yang masih deras di pasar obligasi.
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), dalam data perkembangan indikator stabilitas nilai rupiah mencatat sejak awal tahun ada beli neto Rp 29,10 triliun di pasar SBN. Sementara di pasar saham dan SRBI justru jual neto, masing-masing Rp 52,53 triliun dan Rp 20,54 triliun.
Chief Economist Pefindo, Suhindarto menuturkan bahwa kondisi tidak pasti tetap ada. Ini mendorong investor menghindari risiko sehingga kemungkinan besar masih akan memburu SBN.
"Aset berisiko seperti saham dan surat utang korporasi masih berpotensi tertekan karena terekspos secara langsung terhadap dampak dari perang dagang," ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (15/5).
Baca Juga: Potensi Kupon Lebih Baik, Permintaan SR022 Diproyeksi Lebih Semarak
Memang, saat ini sentimen negatif dari perang dagang ini relatif mereda, namun masih terdapat kemungkinan sentimen dapat kembali mengalami pemburukan sewaktu-waktu, mengingat perilaku dan kebijakan Trump yang sulit ditebak. Sebaliknya, SBN relatif aman dengan eksposur yang relatif lebih rendah terhadap perang dagang.
Selain itu, harga obligasi telah naik dibandingkan dengan akhir tahun lalu, tercermin dari penurunan yield dan tren INDOBeX Government Total Return. Yield 1 tahun turun 10% YTD menjadi 6,308%. Sementara itu, INDOBeX Government Total Return naik 3,62% YTD. Sebaliknya, IHSG turun 1,41% YTD.
Oleh sebab itu, ia menilai obligasi pemerintah dengan tenor pendek menarik akan paling banyak diburu guna meminimalkan risiko sambil memperoleh keuntungan. Hal itu tercermin dari aksi beli bersih asing pada April 2025 mayoritas menyasar tenor 0-1 tahun.
Situasi itu, menurutnya, terjadi karena asing mencoba memanfaatkan kemungkinan volatilitas dalam jangka pendek ini untuk mendapatkan keuntungan. Dengan kata lain, asing sedang mengambil stance untuk berspekulasi, mempertimbangkan penundaan tarif resiprokal akan berakhir di akhir Juni nanti dan target negosiasi pemerintah Indonesia dengan AS dalam waktu 60 hari.
Baca Juga: Prospek Obligasi Korporasi Dipengaruhi Sentimen Pasar
Tenor pendek relatif lebih stabil daripada tenor panjang ketika volatilitas meningkat. Selain itu, tenor pendek menawarkan fleksibilitas untuk memanfaatkan timing, yakni ketika tekanan di pasar meningkat dan harga terkoreksi, asing memiliki dana jumbo untuk memborong surat utang karena beberapa investasi jangka pendek mereka jatuh tempo.
Selain mengantisipasi kebijakan final tarif oleh Trump, investor memegang jangka pendek karena melihat ada risiko inflasi di pasar AS. Risiko tersebut potensial akan mendorong naik imbal hasil AS, yang mana pada akhirnya berdampak negatif terhadap pasar surat utang domestik.
Meski tren inflasi cenderung melemah dalam beberapa rilis terakhir, namun, tekanannya kemungkinan meningkat ke depan karena kebijakan tarif Trump baru akan berlaku efektif pasca penundaan 90 hari dan berbagai kebijakan lainnya juga cenderung inflasioner, meningkatkan tekanan harga di pasar AS.
Konsensus Bloomberg menunjukkan, inflasi PCE berpotensi naik menjadi 2,6% pada kuartal II 2025 dan 3% pada kuartal III 2025 dari 2,5% pada kuartal I 2025. Demikian juga, inflasi inti PCE juga kemungkinan akan naik mendekati 3% dalam empat bulan ke depan.
Sementara itu, survei oleh Federal Reserve Bank of New York di Maret 2025 juga menunjukkan ekspektasi inflasi selama 1 tahun ke depan naik dan bertahan di level 3,6% pada April 2025, posisi tersebut lebih tinggi dari 3,1% pada survei Februari.
Selanjutnya: Brasil Konfirmasi Wabah Flu Burung Pertama di Peternakan Komersial
Menarik Dibaca: Havaianas dan Dolce&Gabbana Luncurkan Koleksi Baru, Perkuat Segmen Fashion Premium
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News