kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45927,64   6,18   0.67%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kapan saat yang tepat menjual saham? Ikuti 4 petunjuk ini


Sabtu, 15 Februari 2020 / 05:05 WIB
Kapan saat yang tepat menjual saham? Ikuti 4 petunjuk ini
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  Bicara investasi saham, biasanya kita mulai dengan hal-hal yang terkait keputusan membeli saham. Saham apa yang harus dibeli? Pada harga berapa? Kapan membelinya?

Namun jangan lupa, saat kita memutuskan untuk membeli saham, kita juga harus memikirkan hal yang penting lainnya: kapan kita menjual saham?

Baca Juga: Rugikan Jiwasraya dan Asabri, apakah Benny Tjokro dan Heru Hidayat bisa bayar?

Membuat keputusan jual saham ternyata tidak lebih mudah dari keputusan membeli saham. Misalnya, jika saham yang kita beli naik harganya, apa yang harus kita lakukan? Sampai harga berapa kita akan memegang saham tersebut?

Ada tendensi, di mana investor terlalu cepat menjual sahamnya yang sudah memberikan keuntungan (selling winners too early). Hal ini disebabkan karena, menurut pemenang Nobel Ekonomi Daniel Kahneman, investor cenderung tidak menyukai kerugian (aversion to loss). Jika saham sudah hijau (untung), segera diuangkan sebelum dia jadi merah (rugi).

Warren Buffett membeli saham pertamanya (Citi Services) pada harga US$ 38,25 dan segera menjualnya saat harga menyentuh US$ 40. Beberapa tahun kemudian, harga saham tersebut meroket ke US$ 200.

Pengalaman ini memberi pelajaran kepada Warren Buffett tentang pentingnya berinvestasi secara jangka panjang.

Jika saham yang kita beli harganya tidak berubah banyak, sampai kapan kita harus bersabar? Saham PT Astra international Tbk (ASII), misalnya. Harga saham blue chip ini boleh dibilang tidak banyak berubah selama periode 2012 2016.

Baca Juga: Terkait Jiwasraya, Hanson tegaskan Kejagung tidak bisa blokir tanah dua perumahan

Di akhir 2011, harga saham ASII ada di level Rp 8.000. Akhir tahun 2016, harganya juga masih di posisi Rp 8.000. Investor mengalami kerugian waktu karena harga sahamnya jalan di tempat, tapi inflasi lari kencang.

Atau, jika saham yang dibeli harganya turun, apa yang harus dilakukan? Jual rugi (cut loss)? Atau menunggu hingga saham tersebut naik kembali? Jika cut loss, akan dilakukan setelah harga turun berapa dalam?

Cut loss terlalu cepat membuat kita rugi karena ternyata tak lama kemudian harga saham sudah pulih dan melonjak tinggi. Celakanya, setelah cut loss biasanya investor tidak mau membeli kembali saham tersebut pada harga yang lebih tinggi dari harga jualnya.

Ia merasa menjadi orang paling bodoh sedunia karena menjual rugi lalu minggu depan harus membeli saham yang sama pada harga 10% lebih mahal.

Ambil contoh, Oktober 2008 saham Astra Internasional (ASII) sempat jatuh 60% dari Rp 17.000 ke Rp 7.100 dalam waktu tiga minggu. Sepanjang 2007, rentang harga ASII adalah Rp 14.000 hingga Rp 27.000.

Misalkan investor, saat membeli saham ASII pada Rp 17.000, yakin bahwa harga tersebut adalah underpriced (murah). Pada harga Rp 7.100, jika ia masih meyakini saham ASII tersebut underpriced, mengapa harus menjual pada harga diskon 60%?

Jika ia tidak panik, tujuh bulan kemudian harga ASII sudah kembali ke Rp 17.000, dan tiga tahun kemudian harganya sudah naik sebanyak sembilan kali lipat!

Baca Juga: Ini pandangan Hotel Indonesia Natour (HIN) soal pembentukan holding BUMN

Namun terlambat cut loss juga bisa membikin kantong investor bolong. Ambil contoh, investor yang membeli saham PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR). Pada tahun 1997, saham BNBR seharga Rp 10.000, menunggu hingga 20 tahun namun harga sahamnya malah tinggal Rp 50.

Lalu, kapan kita harus menjual saham?

Ada empat kondisi yang membuat kita melepas saham yang kita pegang.

Pertama, butuh uang. Dengan kondisi seperti ini, berapapun harga saham, terpaksa kita jual saham. Itu sebabnya investor saham jangka panjang disarankan untuk menggunakan uang bebas (free cash flow) alias uang dingin untuk membeli saham.

Investor saham jangka panjang harus punya stamina untuk tidak menjual sahamnya pada kondisi buruk.

Baca Juga: BPK akan audit kinerja Asabri hingga tahun anggaran 2019

Kedua, salah beli saham. Saham yang dibeli ternyata tidak sebagus yang dipikirkan, atau harganya ternyata sangat kemahalan. Karena tidak hati-hati, bisa saja investor salah pilih saham. Terutama jika membeli saham Initial Public Offering (IPO) yang belum ketahuan kinerjanya di bursa.

Jika salah beli, maka investor sebaiknya segera melakukan cut loss dan memindahkan uangnya ke saham yang lebih berprospek.

Ketiga, asumsi saat membeli saham sudah tidak berlaku. Saham BUMI dihargai sekitar Rp 700 pada Oktober 2007. Seiring dengan melonjaknya harga minyak dunia dan batubara, saham ini sempat menyentuh Rp 8.750 pada 10 Juni 2008.

Harga minyak saat itu mencapai rekor US$ 126 sebelum turun ke US$ 31 tujuh bulan kemudian. Bagi investor yang membeli saham BUMI di harga puncak ini pasti punya asumsi bahwa saham ini underpriced karena memprediksi harga minyak masih naik terus.

Saat krisis 2008, harga saham BUMI turun mengikuti jejak harga minyak dunia dan batubara. Berbeda dengan ASII yang terdiskon 60% dalam 3 minggu, saham BUMI turun 94% dari Rp 8.750 ke Rp 500 dalam waktu 7 bulan.

Baca Juga: Wow, utang Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat ke Asabri capai Rp 10,6 triliun

Artinya banyak waktu bagi investor untuk berpikir apakah asumsi waktu beli masih berlaku atau tidak, dan melakukan cut loss.

Misalnya, apakah harga minyak akan bertahan di atas USD 100 per barrel? Jika tidak, kemungkinan harga saham BUMI sudah overpriced dan cut loss bisa menghindarkan dia dari keanggotaan panjang The Nyangkutters.

Terakhir, harga saham sudah overpriced alias kemahalan. Ketika harga saham sudah naik terlalu tinggi, ditunjukkan dengan PER (price earnings ratio) di atas 20 kali, sebaiknya kita realisasi keuntungan dan memindahkan dana ke saham lain yang lebih prospektif.

Penulis: Lukas Setia Atmaja Dosen di Prasetya Mulia Business

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Trik & Tips yang Aman Menggunakan Pihak Ketiga (Agency, Debt Collector & Advokat) dalam Penagihan Kredit / Piutang Macet

[X]
×