Reporter: Kenia Intan | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah emiten dalam jajaran LQ45 yang telah merilis laporan keuangan sepanjang tahun 2020. Menurut catatan Kontan, terdapat 26 emiten dari 45 emiten LQ45 yang sudah melaporkan keuangan.
Berdasar catatan Kontan.co.id dari Bloomberg, pergerakan harga saham-saham emiten itu masih di bawah target harga konsensus. Potensi kenaikan harga paling tinggi dicatatkan oleh EXCL hingga 58,96% ke Rp 3.338 per saham.
Setelahnya disusul PTPP dengan potensi kenaikan harga 40,89% ke Rp 2.106 per saham dan ANTM dengan potensi kenaikan harga 38,71% ke Rp 3.370 per saham. Adapun WIKA berpotensi naik 37,58% ke harga Rp 2.221 per saham dan INCO berpotensi naik 36,58% ke harga Rp 6.392 per saham.
CEO Sucor Sekuritas Bernadus Wijaya menjelaskan, saham-saham tersebut memang tergolong menarik karena memiliki potensi penguatan yang lebih tinggi dibandingkan emiten-emiten lainnya. Untuk INCO dan ANTM, Bernadus melihat pergerakan sahamnya akan terkerek sentimen mobil listrik.
Baca Juga: Ini keuntungan penjualan 3.000 menara bagi Inti Bangun Sejahtera (IBST)
Asal tahu saja, pada Jumat pekan lalu telah terbentuk Indonesia Battery Corp (IBC) yang akan memperkuat permintaan mobil listrik. Sehingga, permintaan akan baterai pun ikut membaik, begitu pula perusahaan-perusahaan nikel yang memasok bahan bakunya. Belum lagi di bawah kepemimpinan Joe Biden, Amerika Serikat (AS) menggalakkan green energy yang akan menjadi fenomena baru di industri otomotif dan berpengaruh terhadap mobil listrik.
Sentimen positif lainnya, harga nikel saat ini sudah melewati titik koreksi di US$ 15.000 per ton dan tengah bergerak naik ke level US$ 16.000 per ton sampai US$ 17.000 per ton. Diprediksi kenaikan itu bisa menyentuh US$ 18.000 per ton tahun ini.
Terhadap ANTM, Sucor Sekuritas optimistis saham pelat merah itu bisa mencapai Rp 3.900 per saham. Sementara untuk INCO, target harganya berada di Rp 2.750 per saham.
Baca Juga: Bisnis sektor menara semakin, simak rekomendasi saham berikut
Bernadus menambahkan, perusahaan konstruksi, seperti PTPP dan WIKA, akan terdorong rencana penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) final jasa konstruksi dari angka 3% menjadi 2,65%. Ini berpotensi meningkatkan laba emiten konstruksi, diproyeksi sekitar 13% hingga 15%.
Harga saham PTPP ditargetkan bisa mencapai Rp 3.000 per saham. Sementara harga WIKA ditargetkan di harga Rp 2.360 per saham. "Saat ini saham-saham konstruksi PTPP dan WIKA sedang di area support sehingga ini menarik sekali untuk kita lakukan aktivitas pembelian," kata Bernadus kepada Kontan.co.id, Minggu (28/3).
Sementara untuk EXCL, dia melihat harga sahamnya akan menarik karena sejauh ini masih tertinggal dibanding emiten-emiten telekomunikasi lain seperti TLKM dan ISAT. Selain itu, kinerja EXCL akan terdorong sentimen lelang 5G.
Apalagi jika EXCL mampu memenangkan tendernya. Adapun target harga EXCL berada di Rp 3.000 per saham. Untuk saat ini harganya masih cukup rendah karena dekat dengan area support di Rp 2.130 per saham.
Baca Juga: Harga saham melesat, bagaimana rekomendasi untuk saham-saham emiten poultry?
Selain kelima saham itu, lanjut Bernadus, investor juga bisa mencermati saham-saham properti dan perbankan. Dua sektor ini atraktif karena terdorong sentimen suku bunga yang rendah. Salah satu saham yang dijagokannya adalah BBTN. Sepengamatannya, saham ini memiliki potensi upside yang tinggi ke kisaran Rp 2.300 per saham. Adapun saat ini BBTN tengah berupaya beranjak dari level support-nya di sekitar Rp 1.800 per saham.
Sementara untuk emiten properti, dia lebih menyukai SMRA dengan target harga Rp 1.200 per saham. Sentimen lain yang membuatnya menarik adalah aksi korporasi rights issue serta pergerakan saham SMRA yang sedang kembali di titik break out.
Menurut Bernadus, investor memang perlu mencermati sektor-sektor saham yang mendapat bantuan dari pemerintah di tengah kondisi seperti ini. Sebab, hal itu, akan membantu performa keuangan perusahaan yang akan tercermin dari laporan-laporan keuangan kuartal I 2021 maupun kuartal II. "Untuk saat ini, harga saham-saham tersebut memang sedang di-support," ujarnya.
Sebelumnya, Analis Philip Sekuritas Indonesia Anugerah Zamzami Nasr sempat mengungkapkan, beberapa saham yang undervalue seperti MNCN, INDF, dan BBTN juga menarik. Disamping terdiskon, saham-saham ini termasuk dalam saham cyclical.
"Tesisnya industri mereka bersiklus (cyclical) yang sensitif pada pertumbuhan ekonomi dan diharap perform di periode initial recovery," ujarnya kepada Kontan.co.id. Adapun beberapa sektor saham yang bisa dicermati seperti perbankan, semen, CPO, serta tambang. Sehingga, selain ketiga saham tadi, saham-saham seperti BMRI, BBTN, BBNI, INTP, SMGR, UNTR, dan ANTM juga atraktif.
Asal tahu saja, di tengah mayoritas saham yang masih di bawah target konsensus, Bloomberg mencatat HMSP dan TPIA cenderung sudah melewati target harganya. Asal tahu saja HMSP memiliki target harga konsensus Rp 1.292 per saham, sementara harga saat ini Rp 1.375 per saham. Adapun TPIA memiliki target harga Rp 9.112, sementara harga saat ini Rp 10.900 per saham.
Bernadus menjelaskan, kinerja HMSP masih diperberat oleh cukai rokok. Sehingga, potensi laba ke depan akan tergerus cukup besar, Apalagi daya beli masyarakat belum pulih sepenuhnya. Di sisi lain, rokok bukanlah kebutuhan primer yang masih bisa tergantikan. Adapun positif HMSP ke depan adalah pembagian dividen, akan tetapi sentimen ini hanya berdampak sesaat ke harga sahamnya saja.
Baca Juga: Simak rekomendasi saham sektor industri dasar dan kimia berikut ini
Sementara untuk TPIA, dia menganggap harganya memang sudah terlalu mahal. Lebih baik investor mencermati saham lain yang menarik dari sisi potensi upside dan menarik secara teknikal.
Zamzami menambahkan, kendati mayoritas saham masih tergolong undervalue, dia mengingatkan investor agar terhindar dari value trap. Value trap adalah kondisi ketika valuasi dinilai menarik, dengan PER atau PBV rendah karena harga melorot dalam, tetapi sebenarnya harga saham tersebut masih terlalu mahal karena prospek masa depannya buruk.
Baca Juga: Saham emiten rokok dinilai masih belum menarik, ini sebabnya
Baca Juga: Ada momentum puasa dan lebaran, begini arah IHSG di kuartal kedua 2021
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News