Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Investasi Surat Berharga Negara (SBN) melalui obligasi Fixed Rate (FR) tidak kalah menarik daripada SBN ritel. Akses perdagangan yang luas dan likuid menjadikan obligasi FR salah satu instrumen investasi untuk mendapatkan imbal hasil tinggi.
Fixed Income Analyst PT Pemeringkat Efek Indonesia (PEFINDO) Ahmad Nasrudin mengamati, perdagangan seri surat utang pemerintah di pasar sekunder cenderung meningkat, baik dari sisi nilai maupun frekuensi perdagangan.
Di Januari 2025, nilai perdagangan surat utang pemerintah di pasar sekunder mencapai Rp 52,86 triliun yang meningkat 13.45% dibandingkan Desember 2024 sebesar Rp 46,59 triliun. Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya Rp 51,62 triliun, nilai transaksi juga masih relatif meningkat dengan mencatatkan kenaikan sebesar 2,41% YoY.
Sementara itu, frekuensi perdagangan surat utang pemerintah di pasar sekunder juga naik dari 3.797 kali di Desember 2024 menjadi 4.616 kali di Januari 2025. Secara tahunan, frekuensi perdagangan di Januari 2025 naik 41,87% YoY dari posisi 3.254 kali di Januari 2024.
Baca Juga: Rencana Pembelian SBN oleh BI Berisiko Terhadap Independensi dan Stabilitas Ekonomi
Nasrudin bilang, penjualan seri FR juga bisa dilihat di pasar primer karena pemerintah biasanya menerbitkan seri FR baru, seperti FR0102, FR0103, dan FR0104. Hanya saja partisipannya sedikit berbeda.
Di lelang Surat Utang Negara (pasar primer), transaksinya antara pemerintah sebagai penjual bertransaksi dengan investor sebagai pembeli. Di pasar sekunder, transaksi terjadi antar investor.
‘’Jadi, baik penjual maupun pembelinya, mereka sama-sama investor kalau di pasar sekunder. Ini sedikit berbeda dari saat lelang di pasar primer, di mana penjualnya adalah pemeritah,’’ jelas Nasrudin kepada Kontan.co.id, Jumat (28/2).
Perbandingan Kupon Seri Fixed-Rate ORI dengan rata-rata Yield FR
Seri | Penerbitan | Kupon | Tenor | Rata-rata yield FR di bulan penerbitan |
ORI023T3 | 26-Jul-2023 | 5.90% | 3.00 | 5.93% |
ORI024T3 | 08-Nov-2023 | 6.10% | 3.00 | 6.76% |
ORI025T3 | 28-Feb-2024 | 6.25% | 3.00 | 6.38% |
ORI026T3 | 30-Oct-2024 | 6.30% | 3.00 | 6.44% |
ORI027T3 | 26-Feb-2025 | 6.65% | 3.00 | 6.61% |
Sumber: DJPPR, Bloomberg
Dari sisi imbal hasil, Nasrudin mencermati, antara obligasi FR dan Surat Berharga Negara (SBN) ritel seperti Obligasi Negara Ritel (ORI) sebenarnya tidak jauh berbeda. Pada tabel berikut, rata-rata kupon SBN ritel untuk tenor 3 tahun tercatat lebih rendah daripada rata-rata bulanan yield seri FR ketika SBN ritel tersebut ditawarkan ke publik.
Meski lebih rendah, beberapa faktor menjadi daya tarik tersendiri pada SBN ritel seperti nominal pajak yang dikenakan sebesar 10% lebih rendah daripada deposito 20%. Selain itu, frekuensi kupon SBN ritel dibagikan tiap 1 bulan, sedangkan FR tiap 6 bulan, membuat SBN ritel tetap diminati.
"Perbedaan antar kupon SBN Ritel dengan yield obligasi FR relatif lumrah, mengingat yield seri FR terus bergerak dan tidak stagnan. Jadi, yield obligasi FR mungkin lebih tinggi atau lebih rendah daripada kupon SBN ritel," imbuh dia.
Baca Juga: Pemesanan ORI027 Cetak Rekor, Berikut Prospek SBN Ritel di Tahun 2025
Fixed Income & Macro Strategist Mega Capital Sekuritas Lionel Priyadi menuturkan, yield SBN ritel umumnya tidak mudah berubah karena rata-rata pembeli memanfaatkan untuk strategi hold to maturity, bukan untuk trading. Strategi hold to maturity biasanya dimaksudkan untuk membeli SBN dan dipegang hingga jatuh tempo.
‘’Yield SBN ritel lebih rigid karena rata-rata pembeli ritel membeli dengan strategi hold to maturity, dan bukan untuk trading,’’ kata Lionel kepada Kontan.co.id, Jumat (28/2).
Namun, Lionel menyebutkan, sebenarnya tidak ada perbedaan signifikan antara imbal hasil obligasi FR dan SBN Ritel. Besaran imbal hasil keduanya mirip, sekalipun nantinya suku bunga bakal berubah.
Chief Dealer Fixed Income & Derivatives PT Bank Negara Indonesia (BNI) Fudji Rahardjo, turut mencermati bahwa perbandingan imbal hasil tidak jauh berbeda, antara obligasi FR dan SBN Retail. Terutama pada seri dan tenor yang sama.
Dalam tren suku bunga turun, Fudji menyebutkan, obligasi Fixed Rate maupun SBN Ritel terutama jenis FR tentunya akan tetap memberikan imbal hasil menguntungkan. Namun perlu dipahami bahwa yield obligasi bertenor panjang biasanya akan lebih volatil.
Imbal hasil obligasi FR akan tetap menarik saat suku bunga turun karena surat utang jenis ini bunganya tetap sampai jatuh tempo. Hanya saja, ekspektasi pasar terhadap tingkat suku bunga dapat memengaruhi pergerakan harga obligasi di pasar sekunder yang berpotensi menciptakan capital loss.
Fudji menilai, obligasi fixed rate memang sangat likuid di pasar. Pada seri acuan (bencmark) tahun ini terlihat masih dilakukan penerbitan ulang (reissuance) oleh pemerintah sesuai jadwal lelang.
Likuiditas tinggi perdagangan obligasi di pasar sekunder dapat dikaitkan dengan akses yang terbuka luas bagi para investor ritel untuk beli obligasi seri FR. Minimum pembelian obligasi FR pun terjangkau yakni mulai dari Rp 1 juta.
Obligasi FR juga dapat diperjualbelikan kapan saja. Hal ini berbeda dengan SBN ritel yang pembeliannya hanya bisa dilakukan selama masa penawaran dengan kuota yang terbatas. Tidak semua jenis SBN ritel juga dapat dijual sebelum jatuh tempo.
‘’FR masih menjadi salah satu seri obligasi yang paling likuid dan sering ditransaksikan. Saat ini, sudah banyak investor ritel yang bertransaksi pada obligasi FR,’’ sebut Fudji saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (27/2).
Nasrudin menambahkan, investor ritel juga terbuka untuk membeli obligasi FR karena sudah ditawarkan melalui aplikasi investasi. Berbagai bank saat ini pun menawarkan penjualan FR ke obligasi ritel.
Maka dari itu, tidak mengherankan kepemilikan investor individu pada obligasi pemerintah (baik FR maupun SBN ritel) saat ini telah mencapai Rp 576.13 triliun per 26 Februari. Angka tersebut adalah lima kali lipat daripada yang kepemilikan reksadana di SBN sekitar Rp 186.91 triliun.
‘’Nominal yang signifikan tersebut tidak terlepas dari kemudahan untuk membeli seri FR. Selain itu, minimum pembeliannya saat ini juga sudah terjangkau, dengan hanya minimal Rp1 juta, investor individu telah bisa membeli obligasi pemerintah seri FR,’’ tutur Nasrudin.
Baca Juga: BI Bakal Borong SBN Perumahan untuk Dukung Program 3 Juta Rumah
Kondisi Pasar Surat Utang Tengah Tertekan
Lionel Priyadi mencermati, saat ini aktivitas perdagangan obligasi seri FR di pasar sekunder tengah tertekan. Sentimen negatif pada pasar surat utang salah satunya dipengaruhi Danantara yang akan diberi modal awal sebesar Rp 325 triliun dari APBN, yang berisiko membuat kondisi fiskal jebol.
Head of Fixed Income Research BNI Sekuritas Amir Dalimunthe melihat, harga Surat Utang Negara (SUN) ditutup melemah pada perdagangan kemarin (27/2). Berdasarkan data dari PHEI, yield SUN Benchmark 5-tahun (FR0104) naik sebesar 10 bp menjadi 6,75%, dan yield SUN Benchmark 10-tahun (FR0103) naik sebesar 6 bp menjadi 6,90%.
Data Bloomberg menunjukkan yield curve SUN 10-tahun (GIDN10YR) naik sebesar 6 basis poin ke level 6,92%. Level yield curve SUN 10-tahun saat ini telah melampaui batas atas dari rentang estimasi BNI sekuritas untuk minggu ini, yaitu di kisaran 6,71 - 6,91%.
Adapun volume transaksi SBN secara outright traded tercatat sebesar Rp 31,1 triliun kemarin, lebih rendah dari volume transaksi di hari sebelumnya yang tercatat sebesar Rp 42,7 triliun. FR0104 dan FR0103 menjadi dua seri teraktif di pasar sekunder, dengan volume transaksi masing - masing sebesar Rp 9,6 triliun dan Rp 4,8 triliun. Sementara itu, volume transaksi obligasi korporasi secara outright tercatat sebesar Rp 2,5 triliun.
Amir mengamati bahwa indikator global kembali menunjukkan sentimen yang negatif. Hal ini tercermin dari peningkatan yield US Treasury (UST) dan level Credit Default Swap (CDS) Indonesia.
Pada Kamis (27/2), Yield curve UST 5-tahun meningkat sebesar 3bp menjadi 4,09%, dan yield curve UST 10-tahun meningkat sebesar 4bp menjadi 4,29%. Sementara itu, CDS 5-tahun Indonesia meningkat tipis sebesar 1bp menjadi 76bp.
Menurut Amir, pasar surat utang dipengaruhi oleh data klaim pengangguran awal Amerika Serikat (AS). Pada minggu yang berakhir tanggal 22 Februari, initial jobless claims tercatat sebesar 242.000 klaim, meningkat 22.000 klaim dibandingkan minggu sebelumnya. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan estimasi 221.000 oleh para ekonom yang disurvei Reuters.
‘’Dengan mempertimbangkan kondisi pasar yang didiskusikan di atas, BNI Sekuritas melihat adanya potensi peningkatan volatilitas harga dan yield instrumen SBN berdenominasi rupiah,’’ ungkap Amir dalam riset harian, Jumat (28/2).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News