kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.308.000 -0,76%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

INCO di bawah tekanan royalti dan harga Jual


Rabu, 28 Agustus 2013 / 06:38 WIB
INCO di bawah tekanan royalti dan harga Jual
ILUSTRASI. Kantor PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN)


Reporter: Narita Indrastiti | Editor: Avanty Nurdiana

JAKARTA. PT Vale Indonesia Tbk (INCO) masih berambisi mendapatkan penangguhan beban royalti dari pemerintah. Produsen nikel ini tengah bernegosiasi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mengubah skema pembayaran royalti. Manajemen INCO berharap, renegosiasi kontrak itu bisa selesai akhir tahun ini.

Saat ini, INCO harus membayar royalti US$ 70 hingga US$ 78 per ton, tergantung jumlah produksi. Namun, ketentuan ini kemungkinan berubah lantaran pemerintah bakal merilis skema pembayaran royalti yang baru.

Herman Koeswanto, analis Mandiri Sekuritas mengatakan, adanya perubahan skema akan sangat bergantung dengan tren harga nikel. Sayangnya, renegosiasi dengan pemerintah ini masih belum jelas ujungnya. Sehingga, dampak renegosiasi baru terlihat pada akhir nanti. Kalau INCO bisa menangguhkan kenaikan royalti, kemungkinan akan berdampak positif bagi INCO. "Masih harus menunggu, skema apa yang akan diterapkan nanti," jelas dia.

Sebelumnya, INCO telah mengubah perjanjian pembayaran royalti dengan sang induk, Vale Canada. Awalnya, INCO memiliki dua pilihan yang bisa diambil guna memenuhi kewajiban royalti ke Vale Canada. INCO harus membayar royalti 1,8% dari total penjualan kepada Vale Canada. INCO juga dapat mengganti itu dengan membayar 4% dari pendapatan kena pajak.

Lalu, INCO berhasil mengubah skema ini dengan ketentuan, pembayaran royalti 0,8% dari penjualan. Namun, INCO harus membayar biaya aktual atas asisten teknis ditambah 10% beban tambahan.

Menurut Herman, perubahan skema ini memberikan kemudahan bagi INCO mengontrol biaya. Namun, perubahan skema royalti justru berdampak buruk saat harga nikel turun. Dia mengatakan, semester I-2013, biaya operasional INCO naik 79% year-on-year (yoy). Dus, margin EBITDA INCO menurun. "Kalau negosiasi pemerintah nanti, kabarnya ada patokan yang berubah seperti patokan harga bijih nikel. Ini berpengaruh ke kinerjanya juga," ujar dia.

Analis AAA Sekuritas, Carrel Mulyana mengatakan, bila sampai akhir 2013 skema pembayaran royalti tetap, maka INCO akan tersandera beban operasional.

Apalagi, menurut Herman, harga nikel di paruh kedua cenderung menurun. "INCO akan lebih fokus pada efisiensi biaya ke depan," ujar dia.

Average selling price (ASP) INCO pun telah turun 10% menjadi US$ 12.297 per ton dari kuartal sebelumnya. Untungnya INCO bisa menaikkan volume penjualan.

Kuartal I-2013, INCO menjual nickel matte 18.514 ton. Kuartal II-2013, jumlahnya bertambah menjadi 19.218 ton.

Menurut analis Ciptadana Securities, Wilim Hadiwijaya dalam risetnya, ASP INCO semester I memang di bawah ekspektasi yang sebesar US$ 14.040 per ton.

Tapi, tencana INCO menaikkan produksi 8,9% menjadi 77.000 ton bisa mengangkat kinerja. Toh, Carrel masih memandang negatif prospek INCO. Karena itu, dia menurunkan target harga INCO dari Rp 2.700 menjadi Rp 2.350 dengan rekomendasi hold.

Wilim juga merekomendasikan hold saham INCO dengan target harga Rp 2.100. Analis Bahana Securities, Jennifer Frederika menyarankan hold dengan target harga Rp 2.200. Kemarin, harga INCO turun 4,44% ke Rp 2.150. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Practical Business Acumen Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×