Reporter: Djumyati Partawidjaja | Editor: Djumyati P.
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Selain isu dari The Fed, minggu-minggu ini banyak investor khawatir dengan kasus Evergrande, perusahaan properti di China yang terancam gagal membayar utangnya. Apa sebenarnya yang membuat banyak orang khawatir? Bagaimana kita sebagai investor sebaiknya bersikap?
Berikut ini analisis dan tips investasi dari Frederick Daniel Tanggela Head of Research Star Asset Management
Apa saja yang Anda lihat isu-isu yang harus diperhatikan para investor sekarang ini?
Ada banyak perkembangan yang berkembang belakangan ini ya. Tidak hanya menyangkut Covid tapi memang terkait dengan pasar saham di pasar global ini ada banyak faktor-faktor yang sekarang lagi sangat diperhatikan.
Yang pertama dari Amerika terkait dengan rencana tapering dari The Fed. Itu nantinya akan mempengaruhi likuiditas di pasar global. Dan yang kedua yang baru-baru ini lagi ramai itu soal kesulitan finansial dan likuiditas dari salah satu perusahaan properti terbesar di China yaitu Evergrande. Ini juga dikhawatirkan akan menimbulkan efek domino.
Beberapa hari, enggak cuma pasar Indonesia tapi pasar global juga pasar regional itu mengalami koreksi akibat sentimen dari Evergrande. E
Secara sentimen sih kemarin sudah ada dampaknya. Beberapa hari, enggak cuma pasar Indonesia tapi pasar global juga pasar regional itu mengalami koreksi akibat sentimen dari Evergrande. Efek langsungnya belum benar-benar kita rasakan karena dia belum default, tapi sentimennya sudah cukup negatif.
Kalau isu di dalam negeri?
Kalau dari lokal kami malah melihat justru lebih banyak katalis positif. LDR perbankan rendah, itu artinya likuiditas di sistem keuangan kita besar sebenarnya. Hanya menunggu waktu untuk perbankannya confident, masyarakatnya mulai konsumsi. Ini akan sangat cepat harusnya recovery kita.
Terus kemudian kalau kita lihat angka Covid juga sudah terkendali. Walaupun pengalaman Bulan Juli kemarin membuat kita enggak bisa berpikir bahwa ini akan berakhir ya. Tapi paling tidak kondisi domestik Indonesia. Setiap negara punya karakter ekonominya sendiri-sendiri.
Pengalaman di kuartal 2 tahun 2021, di mana pertumbuhan ekonomi Indonesia itu bertumbuh. Tidak hanya besar ya bahkan lebih besar dari ekspektasi, itu memperlihatkan bagaimana ekonomi kita itu sangat sensitif terhadap pembukaan dari pembatasan aktivitas. Jadi ketika mobilitas naik, itu kelihatan ekonomi kita langsung cepat recovery-nya.
Dari domestik kita melihat hanya lebih banyak faktor katalis positif.
Kalau dilihat dari faktor-faktor ini, bahwa mobilitas masyarakat ketika meningkat langsung translate terhadap pertumbuhan ekonomi. Lalu perbankan punya cadangan likuiditas yang banyak untuk disalurkan dalam bentuk kredit. Terus kemudian kebijakan-kebijakan ekonominya menurut kita juga sudah sangat tepat. Dari domestik kita melihat hanya lebih banyak faktor katalis positif. Tapi memang yang menjadi kekhawatiran ini adalah faktor-faktor dari luar yang tercepat kita bahas.
Evergrande itu perusahaan properti, salah satu yang terbesar di China. Lalu kemudian dia punya kewajiban enggak cuma dalam bentuk utang obligasi
Kenapa kasus Evergrande itu menjadi isu yang ditakuti? Apakah bisa benar-benar mempengaruhi pasar global?
Jadi begini. Pertama kita lihat dulu ya Evergrande itu seperti apa. Evergrande itu perusahaan properti, salah satu yang terbesar di China. Lalu kemudian dia punya kewajiban enggak cuma dalam bentuk utang obligasi, tapi utang kepada kontraktor, vendor, dan sebagainya. Itu sekitar 300 miliar.
Nah pertanyaannya kemudian, apakah dampaknya ke pasar global sebesar itu? Apakah akan seperti subprime mortgage Amerika? Saya rasa tidak, kalau sebesar subprime mortgage Amerika sih rasanya tidak. Tapi kalau kita belajar dari pengalaman-pengalaman krisis-krisis sebelumnya ada istilah fenomena cockroach, fenomena kecoak.
Jadi fenomena kecoak itu kan, pada prinsipnya kalau keluar satu kita lihat berkeliaran ada di kantor atau di rumah ada satu saja, berarti ada banyak yang lagi bersembunyi. Sebenarnya Evergrande itu secara sentimen jadi menakutkan itu karena apakah cuma berhenti di Evergrande, itu pertanyaannya.
Apakah kemudian, ini tidak terjadi di seluruh perusahaan properti di sana. Evergrande ini dia secara debt to equity rasionya sebenarnya tidak besar. Bond debt-nya tidak besar. Tapi yang terjadi selama ini yang dia lakukan untuk tetap berusaha mempertahankan kondisi keuangannya kelihatan sehat, itu dia menunda pembayaran kepada kontraktor, vendor, supplier.
sehingga pemerintah China sampai harus membuat kebijakan the 3 red line, artinya pemerintah China membuat batasan tersendiri tentang batasan-batasan kesehatan keuangan dari perusahaan properti
Jadi account payable dia naikkan, sehingga pemerintah China sampai harus membuat kebijakan the 3 red line, artinya pemerintah China membuat batasan tersendiri tentang batasan-batasan kesehatan keuangan dari perusahaan properti. Di mana enggak dilihat lagi debt to equity ratio, tapi liability to asset ratio yang harus di bawah 70%.
Ini yang bikin kita khawatir. Jangan-jangan ini praktik umum yang dilakukan gitu. Jadi utangnya disembunyikan supaya leverage ratio, gearing ratio-nya kelihatan sehat. Yang dibesarkan itu yang ditunda-tunda pembayaran kepada vendor dan supplier dan yang lain-lain. Nah ini kan berbahaya kalau untuk sektor properti ya. Kalau mereka tidak membayar kontraktor dengan baik berarti kan delivery project-nya juga akan terganggu. Kalau delivery terganggu berarti penjualan serah terima kepada customer juga turun.
Nah ini akan berdampak ke mana-mana itu yang dikhawatirkan sebenarnya. Kalau cuma berbicara Evergrande dengan kewajiban finansialnya yang kemungkinan bermasalah likuiditasnya, pemerintah China gampang sekali untuk tutup itu. Angkanya relatif sangat kecil dibandingkan kekuatan devisa dari negara China.
Tapi yang kita khawatirkan adalah apakah yang kayak begini cuma di Evergrande. Apakah dia ternyata merupakan praktik umum di industri properti atau jangan-jangan malah ada kaitannya dengan shadow banking yang tumbuh pesat di China beberapa tahun belakangan.
Untuk para investor, apa yang harus dilakukan dan saham-saham seperti apa saja yang bisa dikoleksi?
Kalau tadi kita mengasumsikan variabel-variabel eksternal-nya, itu kemudian membaik ke depan. Tapering kita pikir enggak akan seburuk tahun 2013, karena kandungan lebih diantisipasi. Dan juga kalau kita pikir isu Evergrande dan isu China ini sifatnya juga temporer berarti kan kita kan fokus bicara isu domestik. Di mana tadi sempat kita bahas potensi pertumbuhan kita ini recovery-nya cukup
kita percaya bukan saja sektor perbankan akan jadi sektor pertama yang recover tapi bahkan menjadi motornya.
Nah ketika kita lihat Indonesia akan memasuki tahap economy recovery pasca pandemik, kita asumsikan misal kan pandemiknya berakhir. Itu berarti kita harus masuk ke saham-saham yang menjadi proxy terhadap pertumbuhan ekonomi.
Tadi kan saya sempat bahas bahwa likuiditas di perbankan ini, dengan LDR yang relatif rendah. Ini tinggal menunggu waktu untuk perbankan menyalurkan kredit dan menjadi motor terhadap pertumbuhan. Oleh karena itu kita percaya bukan saja sektor perbankan akan jadi sektor pertama yang recover tapi bahkan menjadi motornya.
Sulit untuk bertumbuh ekonomi Indonesia, kalau loan growth-nya tidak bertumbuh. Sehingga artinya paling reasonable adalah kalau kita percaya ekonomi akan bertumbuh, kita mesti punya saham finansial.
Lalu juga kita bisa masuk ke proxy-proxy pertumbuhan ekonomi lainnya. Mobilitas misalnya, kalau mobilitas naik, salah satu yang diuntungkan jalan tol misalnya. Terus kemudian, perusahaan-perusahaan konsumer, ritel, maupun properti.
Teknologi ini menjadi incaran kesenangan dari para investor retail. Tapi dengan kondisi sekarang saham teknologinya relatif flat.
Ya yang sebenarnya kurang menarik, karena kalau kita tarik waktunya dari Januari misalnya, saham-saham yang performanya bagus adalah teknologi. Dan teknologi ini menjadi incaran kesenangan dari para investor retail.
Tapi dengan kondisi sekarang saham teknologinya relatif flat. Saya enggak bilang potensi pertumbuhannya enggak bagus ya, kita tetap percaya saham teknologi long term-nya masih tetap bagus. Cuma dengan saham teknologi yang sekarang relatif flat, artinya kekuatan dia untuk terus naik akibat sentimen atau money flow di sektor ini sudah terbatas.
Ini menggambarkan kekuatan investor ritel yang makin terbatas. Artinya ke depan kita melihat kalau market naik itu lebih fundamental driven.
Kalau kita lihat berapa bulan terakhir, mulai masuk aliran dana asing itu memang kelihatan mereka masuk ke sektor teknologi. Tapi memang yang lebih banyak mereka beli adalah saham-saham yang menjadi proxy pertumbuhan ekonomi Indonesia, di mana banyak di antaranya itu adalah kategori old economy sebenarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News