Reporter: Djumyati Partawidjaja | Editor: Djumyati P.
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setelah hampir 2 tahun pandemik , pertumbuhan ekonomi di 2 perekonomian raksasa dunia China dan Amerika mulai bermasalah. Apa hubungannya dengan perekonomian Indonesia? Apakah benar aliran dana asing mulai deras masuk ke Indonesia? Bagaimana investor sebaiknya melihat semua ini?
Berikut ini analisis dari Demetrius Ari Pitojo Chief Investment Officer Eastspring Investments Indonesia yang disampaikan beberapa lalu khusus kepada KONTAN.
Selain melemahnya ekonomi ini, kondisi hampir seluruh negara adalah utangnya rata-rata as per to GDP itu gede.
Beberapa hari terakhir ini kita melihat ada banyak kejadian di Amerika dan China yang membuat pertumbuhan ekonomi dunia melambat. Bagaimana Anda melihatnya?
Mari kita lihat 2022. Amerika itu, menurut IMF turun dari 7% ke 4,9%. China turun dari 8,1% ke 5,7%. Lihat hampir di seluruh negara advanced economy turun dari 5,6% ke 4,4%, emerging market dari 6,3% ke 5,2%. Jadi backdrop dari cerita semua ini adalah tahun depan itu, ekonomi dunia itu diperkirakan akan lebih rendah. As we recover to Covid kan recover-nya kebanyakan tahun ini. Jadi tahun depan mulai kembali normalisasi.
Nah di Amerika ini, lupakan yang namanya default.
Selain melemahnya ekonomi ini, kondisi hampir seluruh negara adalah utangnya rata-rata as per to GDP itu gede. Baik China maupun Amerika, semua itu rata-rata porsinya cukup besar. Jadi ketika mereka melemah ekonominya, mereka bukan dalam posisi yang kuat sebenarnya untuk kembali menopang ekonominya lagi.
Nah di Amerika ini, lupakan yang namanya default. Enggak bakalan default-lah mereka. Itu sudah pasti. The cost is too high, enggak mungkin. Jadi yang namanya debt ceiling itu sudah pasti lewat. Jadi isu buat Amerika taper sebenarnya.
Ketika mereka mau taper sebenarnya ekonominya sudah melemah, jadi pertanyaannya apakah mereka akan melakukan taper. Taper itu kan sebenarnya mengurangi likuiditas. Dan memang sekarang di Amerika uang itu sudah cukup banyak sehingga bank itu sendiri itu sudah tidak bisa tahan jumlah uangnya, sehingga mereka larikan ditaruh di Fed.
Makanya ada yang namanya reverse repo dan itu gede posisinya. Jadi posisi uang bank yang ditaruh di Fed itu tinggi sekali sampai US$ 1,4 T sekarang kalau enggak salah.
Jadi isu taper itu sebenarnya hanya tong kosong berbunyi nyaring, artinya sebenarnya enggak.
Jadi artinya taper ini kalau pun dilakukan, karena uangnya sudah kebanyakan tidak bisa dipakai di sistem ya bisa saja. Tapi taper tidak akan menyebabkan suku bunga itu naik, secara teori ya. Fed-nya tidak akan membuat bunganya naik signifikan. Karena apa? Karena ekonominya melemah.
Taper itu dilakukan, tapi perekonomian Amerika bukan berada dari posisi yang kuat. Posisi ekonomi mereka yang sebenarnya melemah, jadi enggak bisa. Bahkan ada satu statistik yang namanya GDP Now yang dikeluarkan Fed Atlanta, itu di kuartal ke IV GDP-nya mereka tinggal 1,3%.
Jadi isu taper itu sebenarnya hanya tong kosong berbunyi nyaring, artinya sebenarnya enggak. Kalau pun dilakukan impact-nya enggak banyak.
Bagaimana dengan kondisi di China yang kekurangan energi. Apakah ini akan berdampak luas?
Nah di China juga ada kebijakan macam-macam. Tapi perlu diingat kalau kita itu punya pertumbuhan mulai melemah, ekonomi turun, seruan untuk namanya kesejahteraan sosial itu semakin tinggi. Kalau kita sama-sama makmur dan bertumbuh besar, kita itu tidak peduli yang didapat orang-orang. Karena sama-sama bertumbuh.
Makanya dia bilang common prosperity, kesejahteraan bersama, keadilan sosial untuk masyarakat China.
Tapi ketika pertumbuhan kecil, itu mulai gebuk-gebukan. Kondisinya kan I used to have like this and suddenly I become small. Ingin mengambil punya orang lain, makanya oleh pemerintah China berusaha diatur. Sehingga porsinya itu yang orang menengah ke bawah itu lebih dapat. Kalau bisa sedikit lebih tinggi dengan mengorbankan sedikit dari bagian yang lebih kaya.
Makanya dia bilang common prosperity, kesejahteraan bersama, keadilan sosial untuk masyarakat China.
Digabung dengan situasi di mana sebagai akibat climate change, Covid, segala macam, menghasilkan beberapa hal. Yang pertama adalah demand. Demand karena Covid dan recover, demand-nya tiba-tiba naik. Tapi karena selama beberapa tahun karena ada faktor climate change dan ESG investasi di energi itu turun. Terutama energi fossil fuel.
Suplai-nya itu enggak bisa bertumbuh sebanyak pertumbuhan recovery ekonomi sehingga harga energi naik.
Jadi ketika ekonomi membaik suplai fossil fuel ini tidak banyak, bahkan turun. Ditambah dengan sedikit masalah di suplai. Bukan sedikit sih, ada banyak masalah di suplai, di mana labor movement kan sekarang enggak mudah. Orang dari satu negara ke negara lain tidak mudah, seperti kemarin ada masalah di UK.
Akibatnya apa? Suplai-nya itu enggak bisa bertumbuh sebanyak pertumbuhan recovery ekonomi sehingga harga energi naik.
Energi ini kan bisa dibilang pelumas dari kehidupan ekonomi. Nah inflasinya naik. Bayangkan, inflasi naik di ekonomi yang melemah. Nah itulah masalah gedenya untuk tahun depan.
Jadi dampak tapering di Amerika akan sedikit, enggak akan sampai kayak dulu. Waktu itu kan tujuannya untuk memperlambat ekonomi. Sekarang enggak perlu diperlambat juga sudah lambat. Dulu kan ekonomi yang hot, ada inflasi dia mau tahan. Tapi sekarang ini terbalik, ekonominya enggak hot eh inflasinya naik. Mau ditahan bagaimana? Serba susah juga.
Jadi sebenarnya secara secara tidak tertulis, mereka ingin inflasi yang gede. Daripada default, default kan lebih sakit.
Dan kembali lagi, berangkat dari ekonomi yang memang utangnya sudah banyak, rumusnya cuma 2. Kalau utangnya banyak inflate or default. Kalau kamu punya utang, utang itu kan nominal. Jadi supaya utang as percentage of GDP itu turun, ya GDP-nya mesti naik. GDP naik kan bisa real bisa nominal. Ya inflasinya digedein aja, jadi debt to GDP-nya jadi turun.
Jadi sebenarnya secara secara tidak tertulis, mereka ingin inflasi yang gede. Daripada default, default kan lebih sakit.
Kembali lagi dari situasi seperti ini maka taper-nya kalau menurunkan inflasi juga enggak perlu-perlu amat. Karena mereka juga sebenarnya “butuh” dan juga kalau mau memperlambat ekonomi, lah ekonominya juga sudah lambat. Untuk apa?
Bagaimana pengaruhnya terhadap perekonomian Indonesia?
Challenge-nya begini. The good thing adalah kalau komoditi ini naik dan energi naik, kita kan sebenarnya net exporter dari energi. Kita net importer minyak tapi net eksportir energi dan komoditi yang lain. Jadi dari sisi ini kita diuntungkan.
Jadi kemungkinan ada inflasi, sementara pertumbuhan enggak gede.
Dari sisi pelemahan ekonomi dunia, nah itu yang challenges-nya. Karena dengan demikian berarti kita mungkin ekspornya enggak banyak. Jadi kalau dilihat mungkin akan begini, manufakturnya mungkin akan terhambat growth-nya enggak gede. Inflasi itu akan menekan.
Jadi kemungkinan ada inflasi, sementara pertumbuhan enggak gede. Sementara komoditi itu sendiri meskipun tumbuh, tapi kan bukan komoditi seperti padi yang multiplier banyak. Ini kan seperti coal dan kelapa sawit. Ya memang ada multiplier-nya tapi tidak sebanyak itu.
Jadi akan ada dualisme seperti itu. Memang challenge-nya adalah pemerintah mengambil lebih dari komoditi ini untuk digunakan mendorong pertumbuhan-pertumbuhan manufaktur. Saya rasa sih program-program seperti BLT segala macam itu tidak bisa hilang begitu saja. PEN itu meskipun Covid sudah hilang, mungkin bentuk yang lain itu harus ada sih.
Tapi rupiahnya akan resilient, akan kuat.
Beberapa hari ini aliran dana asing cukup deras masuk, apa yang dilihat para investor asing? Apa ini akan berlangsung lama atau sementara?
Satu hal yang menarik, kita ada diskusi kuartalan. Kita lihat sebenarnya PE-nya yang blue chip itu murah. PE yang bluechip itu kan tidak pernah naik dari 5 tahun terakhir. Sementara GDP kita itu kan naik terus tiap tahunnya.
Kembali lagi kita sekarang ke 2022 dengan pertumbuhannya, kita juga dibilang pertumbuhannya bagus, ya enggak juga sih. 5,9% kemarin mungkin diturunkan ke sekitar 5,5%. Tapi kita coba lihat yang lain juga enggak gede-gede juga. Dan yang menarik lagi China dari 8,1% ke 5,7%. Eh ternyata sekarang China sama dengan kita.
Memang enggak bakalan semuanya pindah ke Indonesia karena China kegedean.
Jadi kalau misalnya Anda investasi di China, Anda bilang oke valuasinya sudah segini, ini dibuat di valuasi dengan pertumbuhan ekonomi tinggi. Sekarang saya harus ke ekonomi yang 5,7% sekarang policy-nya sedang direstrukturisasi, oke saya cari yang lain deh.
Memang enggak bakalan semuanya pindah ke Indonesia karena China kegedean. Larinya ke India, jadi India itu pertumbuhannya lebih bagus. Inflow asingnya lebih bagus. Dan di sini kalau di list ini yang tinggi India, jadi India memang pilihan utama. The next one ke mana? Ya ke kita lah karena kita juga termasuk yang gede. Jadi kalau dari pertumbuhan kita walau pun 5% jadi kelihatan lebih bagus karena yang lain juga turun.
Apa ini akan berjalan lama atau sementara saja?
Saya cukup optimistis ini akan berlangsung paling enggak sampai tahun depan. Karena kembali lagi tahun 2022 seperti ini gambarannya. Pertanyaannya adalah ekonominya lebih baik dunia secara umum, mungkin Indonesia mungkin dapat kesempatan ekspor. Tapi secara struktur keuangannya kita akan lebih baik di tahun depan dan rupiahnya mungkin lebih kuat. Apalagi kembali lagi dari US sudah utang banyak. Dolarnya sudah banyak cetak, pertumbuhannya turun. Porsinya kurs rupiah itu kita kemungkinan besar akan naik, berapanya saya enggak tahu. Tapi arahnya akan begitu.
Dari sisi valuasi juga murah. Dari sisi ekonomi akan naik dibandingkan tahun ini. Jadi ya it’s a good chance kita bisa lebih bagus.
Apa tips untuk investor, saham di sektor apa yang bisa dipilih?
Kita backdrop-nya adalah harga-harga itu ada cost pressure. Cost pressure tapi Sementara ekonominya sendiri enggak bertumbuh dengan cepat. Ya oke lah tapi tidak dengan cepat. Artinya apa? Dari sisi perusahaan itu akan mendapat tantangan, terutama dari sisi tekanan biaya.
Pertumbuhan penjualan kemungkinan ya akan naik, tapi enggak banyak. Tapi pressure-nya dari biaya. Contohnya ya FAO itu dari sebelum Covid ke sekarang, Food Price Index itu naik 30%. Kalau dilihat apakah pendapatan itu bisa naik sampai 30%? Rasanya enggak.
Kita harus bisa memilih perusahaan yang bisa menaikkan harga dan bisa mempertahankan margin.
Oleh karena itu, ada challenge di mana discretionary income atau jumlah barang yang dibeli per satu satuan pendapatan itu kemungkinan akan berkurang.
Kita harus bisa memilih perusahaan yang bisa menaikkan harga dan bisa mempertahankan margin. Perusahaan seperti apa, ya perusahaan yang dibutuhkan setiap hari oleh kita. Bisa ditebak sendirilah.
Ada nah contoh gampang, apakah kita beli mobil setiap hari beli mobil setiap tahun? Enggak misalnya. Apakah kita perlu TV tiap tahun? Enggak. Apakah kita perlu baju setiap tahun? Mungkin saya bisa kurangi, mungkin dulu beli 1 bulan sekali mungkin jadi 2 bulan sekali. Tapi apakah kita butuh pakai sabun setiap hari? Iya. Apakah butuh sabun yang mahal? Mungkin enggak.
Jadi kelihatan begitu dari produk yang sama akan downgrading. Jumlah pembelian akan berkurang sehingga kita harus mencari perusahaan yang tetap dibutuhkan dalam jumlah yang kurang lebih sama.
Contoh paling gampang ya kalau mau contoh ya sebenarnya telekomunikasi. Apakah kita less doing FB, less doing Tik Tok? Mungkin rasanya enggak.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News