Sumber: Reuters | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - HOUSTON. Harga minyak dunia menguat hampir 2% pada Rabu (16/4), menyentuh level tertinggi dalam dua pekan.
Kenaikan ini dipicu oleh kekhawatiran pasar terhadap pasokan global setelah Amerika Serikat (AS) menjatuhkan sanksi baru yang menargetkan ekspor minyak Iran ke China.
Kontrak berjangka minyak mentah Brent naik sebesar US$ 1,18 atau 1,8% menjadi US$ 65,85 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) mencatat kenaikan US$ 1,14 atau 1,9%, ditutup pada US$ 62,47 per barel.
Kedua acuan harga tersebut mencapai level tertinggi sejak 3 April 2025, berdasarkan data dari LSEG.
Baca Juga: Harga Minyak Naik Akibat Sanksi Baru AS Terhadap Iran dan Komitmen Irak pada OPEC+
Sanksi baru tersebut dikeluarkan pemerintah AS sebagai bagian dari upaya Presiden AS Donald Trump untuk menekan ekspor minyak Iran hingga nol.
Sasaran utama sanksi ini termasuk kilang kecil berbasis di China yang dikenal sebagai "teapot refiners". Langkah ini dilakukan bersamaan dengan dimulainya kembali perundingan antara AS dan Iran mengenai program nuklir Teheran.
Menanggapi situasi tersebut, Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araqchi menyatakan bahwa hak Iran untuk memperkaya uranium tidak dapat dinegosiasikan. Pernyataan ini disampaikan menjelang putaran perundingan selanjutnya yang dijadwalkan berlangsung di Roma pada Sabtu mendatang.
Sementara itu, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) mengungkapkan bahwa sejumlah negara seperti Irak dan Kazakhstan telah menyampaikan rencana pemotongan produksi tambahan sebagai kompensasi atas produksi yang melebihi kuota.
Hal ini turut mendorong kenaikan harga minyak berjangka.
Di sisi lain, Badan Informasi Energi (EIA) AS melaporkan bahwa persediaan minyak mentah meningkat sebesar 515.000 barel menjadi 442,9 juta barel pada pekan yang berakhir 11 April 2025.
Baca Juga: Harga Minyak Naik Tipis Hari Ini (9/12) Setelah Turun 3 Hari Berturut-turut
Kenaikan ini sedikit lebih tinggi dari proyeksi analis yang memperkirakan kenaikan sebesar 507.000 barel. Sementara itu, persediaan bensin dan bahan bakar sulingan tercatat menurun.
Bersamaan dengan perkembangan tersebut, kekhawatiran pasar juga dipengaruhi oleh dinamika perdagangan global. Presiden Trump kembali menaikkan tarif atas barang-barang asal China, yang dibalas oleh Beijing dengan kebijakan serupa terhadap impor dari AS.
Ketua Federal Reserve Jerome Powell menyatakan bahwa kenaikan tarif yang diberlakukan saat ini lebih besar dari yang diperkirakan dan berpotensi memicu inflasi serta memperlambat pertumbuhan ekonomi. Pernyataan Powell menyebabkan harga minyak memangkas sebagian kenaikannya.
Analis UBS Giovanni Staunovo menilai bahwa meredanya ketegangan perang dagang antara AS dan China dapat memperbaiki prospek pertumbuhan ekonomi dan mendukung permintaan minyak.
Namun demikian, sejumlah lembaga keuangan seperti UBS, BNP Paribas, dan HSBC telah merevisi turun proyeksi harga minyak mentah mereka akibat ketidakpastian perdagangan global.
Baca Juga: Harga Minyak Naik pada Senin (6/1) Pagi, Didorong Menyusutnya Persediaan AS
Wakil Presiden Rystad Energy, Janiv Shah, memperkirakan bahwa pertumbuhan permintaan minyak pada tahun 2025 bisa melambat hingga hanya 600.000 barel per hari jika konflik dagang terus menekan pertumbuhan ekonomi global.
Sementara itu, data terbaru menunjukkan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) Tiongkok tumbuh 5,4% pada kuartal pertama dibandingkan tahun sebelumnya, melampaui proyeksi 5,1%.
Namun analis dari PVM Oil, Tamas Varga, memperingatkan bahwa laju pertumbuhan tersebut kemungkinan tidak akan berlanjut sepanjang tahun.
Selanjutnya: Konsumsi Rumah Tangga Bakal Tumbuh Lambat
Menarik Dibaca: 10 Kesalahan Umum Membersihkan Dapur Modern yang Sering Terjadi di Tahun 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News