Sumber: Reuters | Editor: Anna Suci Perwitasari
Currie menambahkan, ketegangan yang terus menerus antara stimulus ekonomi dan persediaan surplus kemungkinan akan menciptakan volatilitas harga komoditas.
Hal ini sempat menyeret harga minyak setelah data ekonomi yang diungkapkan China, konsumen energi utama dunia, di pekan lalu mengecewakan.
Aktivitas pabrik di Negeri Tirai Bambu itu menyusut pada laju tercepat pada Februari, menggarisbawahi kerusakan kolosal dari wabah pada ekonominya.
"Di satu sisi, itu cukup negatif pada minyak mentah di seluruh dunia dan permintaan produk," kata Lachlan Shaw, kepala penelitian komoditas di National Australia Bank.
Tetapi kemudian ada berita bahwa Arab Saudi mendorong pemotongan 1 juta barel per hari, sementara bank sentral semakin mengisyaratkan keinginan untuk melakukan intervensi dan mendukung pasar dengan memangkas suku bunga, katanya.
Baca Juga: Mantan ekonom Trump: Virus corona bisa memicu resesi global!
"Jadi ini keseimbangan, dan itu akan sangat tidak stabil."
Beberapa anggota kunci Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) mempertimbangkan pengurangan produksi tambahan pada kuartal kedua di tengah kekhawatiran wabah virus akan mengikis permintaan minyak. Proposal sebelumnya adalah untuk pengurangan produksi tambahan sebesar 600.000 barel per hari.
Harga minyak turun lebih dari 20% sejak awal tahun ini, meskipun OPEC dan sekutunya termasuk Rusia, sebuah kelompok yang dikenal sebagai OPEC+, membatasi produksi minyak sebesar 1,7 juta barel per hari di bawah kesepakatan yang berjalan hingga akhir Maret.
"Tidak adanya tindakan oleh OPEC+ kemungkinan akan memicu kemungkinan besar penjualan lainnya," analis di Fitch Solutions mengatakan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News