Reporter: Melysa Anggreni | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Harga emas dunia sempat mencetak rekor tertinggi di atas US$ 3.500 per ons troi pada awal perdagangan Senin (21/4), namun kemudian terkoreksi selama dua hari berturut-turut di tengah aksi ambil untung investor dan pergeseran sentimen pasar.
Mengutip Reuters, emas di pasar spot menguat 1,26% ke level US$ 3.328,8 per ons troi pada Kamis (24/4) pukul 17.13 GMT.
Meski sempat turun lebih dari 2% dari rekor tertinggi, harga emas masih mencatatkan kenaikan signifikan 28% secara year-to-date (YTD).
Baca Juga: Sebulan Naik 11,56 Persen, Harga Emas Antam Hari Ini Merosot (24 April 2025)
Analis Doo Financial Futures Lukman Leong menilai koreksi ini wajar, mengingat investor memanfaatkan momentum untuk merealisasikan keuntungan, sekaligus terdorong oleh sentimen risk-on di pasar saham.
“Investor tidak ingin kehilangan momen reli ekuitas, sehingga sementara waktu keluar dari aset safe haven seperti emas,” ujar Lukman kepada Kontan.co.id, Kamis (24/4).
Trump dan Dialog Dagang AS-China Jadi Katalis Baru
Lukman juga menyoroti bahwa pernyataan Presiden AS Donald Trump dan rencana dialog dagang antara AS dan China telah meredakan ketegangan geopolitik, sehingga mendorong penguatan dolar AS dan melemahkan minat terhadap emas.
Baca Juga: Harga Emas Hari Ini Memantul Naik Pasca-Turun Tajam 2,7% Kemarin
Selain dolar AS, aset-aset alternatif seperti franc Swiss (CHF), yen Jepang (JPY), bahkan Bitcoin (BTC) juga mulai dilirik sebagian investor sebagai pelindung nilai (hedging), meskipun volatilitasnya masih tinggi.
“Bitcoin memang kadang dianggap safe haven oleh sebagian investor, tapi tetap tergolong aset berisiko tinggi,” imbuh Lukman.
Kendati begitu, secara jangka panjang emas tetap dianggap sebagai aset lindung nilai yang andal, terutama di tengah ketidakpastian global yang tidak akan hilang dalam waktu singkat.
“Strategi dollar cost averaging tetap jadi pilihan bijak untuk meminimalkan risiko jangka pendek,” sarannya.
Risiko dari Aksi Bank Sentral dan Pemulihan Ekonomi
Sementara itu, Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal Universitas Indonesia Budi Frensidy mengingatkan bahwa emas merupakan instrumen yang tidak memberikan cash flow, sehingga dari sisi ekonomis tidak memiliki efek pengganda (multiplier effect) seperti saham, obligasi, atau properti.
Baca Juga: Harga Emas Naik Lebih dari 1% di Tengah Volatilitas Pasar dan Ketidakpastian Global
“Jika aset-aset berisiko kembali diminati karena pemulihan ekonomi dan meredanya ketegangan geopolitik, maka harga emas bisa tertekan,” jelas Budi.
Ia menambahkan bahwa faktor penting lain yang perlu dipantau adalah perilaku bank sentral dunia, termasuk Bank Sentral China yang selama 2022–2024 telah membeli 3.200 ton emas dan menambah 13 ton lagi sejak awal 2025.
“Jika China mulai melepas cadangan emasnya, itu bisa menjadi pemicu aksi jual lanjutan dari investor global. Karena harga yang naik cepat, bisa juga turun dengan cepat,” tegas Budi.
Proyeksi Harga Emas ke Depan
Untuk jangka pendek, Budi memperkirakan harga emas masih akan bergerak di atas US$ 3.000 per ons troi, dengan potensi fluktuasi antara US$ 3.400 hingga US$ 3.600.
Sementara Lukman memprediksi jika sentimen positif berlanjut hingga akhir tahun, harga emas berpeluang menembus kisaran US$ 3.800 hingga US$ 4.000 per ons troi.
Selanjutnya: IHSG Tergelincir Setelah 4 Hari Reli, Cermati Saham yang Banyak Dijual, Kamis (24/4)
Menarik Dibaca: BD & RDK Dharmais Sediakan Skrining Kanker Serviks Metode Pengambilan Sampel Mandiri
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News