Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Herlina Kartika Dewi
Di antara Gojek, Tokopedia dan GoTo Financials, Farras menilai posisi take rate Gojek masih lebih bagus dibandingkan dua lini bisnis GOTO lainnya. Take rate Gojek berada di kisaran 7%. Tokopedia sekitar 1,3% dan GoTo Financials sekitar 0,8%.
Namun jika melihat dari kontribusi GTV, marketplace dan fintech lebih mendominasi. Menimbang hal tersebut, Farras menilai ke depannya GOTO bisa meningkatkan take rate dari kedua segmen ini.
"Namun tentunya ini perlu dilakukan trial and error mengingat apabila take rate dinaikkan, belum tentu reaksi dari pengguna GOTO akan positif. Karena pada akhirnya para merchant lah yang akan menanggung kenaikan take rate itu," jelas Farras.
Dari sisi bottom line yang masih merugi, Farras melihat kondisi itu masih terbilang wajar. Terlebih, mayoritas perusahaan teknologi lainnya pun masih menderita kerugian. Namun, Farras memberikan catatan ketika GOTO sudah melakukan initial public offering (IPO) dan resmi menjadi perusahaan terbuka.
"Sebagai perusahaan publik, GOTO tidak bisa lagi mengandalkan external funding semudah waktu mereka masih berupa start-up. Sehingga mereka harus menyiapkan roadmap untuk menuju profitabilitas," imbuh Farras.
Baca Juga: Kontribusi Gojek Terhadap Perekonomian Nasional Mencapai Rp 249 Triliun di Tahun 2021
Dia menyarankan agar pelaku pasar bisa mencermati persaingan GOTO dengan peers-nya di industri sejenis. Misalnya seperti Grab dan Shopee. Investor pun dinilai perlu memperhatikan strategi atau model bisnis yang akan diterapkan GOTO untuk dapat mencetak laba.
Paulus Jimmy membenarkan tingkat GTV maupun net revenue GOTO akan bergantung dari kebijakan take rate yang diberlakukan. Sebagai perusahaan teknologi yang sedang dalam fase growing, investor juga perlu mencermati GTV maupun net revenue GOTO.
Termasuk bagaimana realisasi kinerja GOTO dalam mempertahankan tren menuju profitabilitas seperti yang dipaparkan dalam laporan keuangan tiga tahun terakhir di prospektus. "Idealnya tentu GOTO fokus di lini bisnis utama, karena sejak merger kan mereka punya salah satu ekosistem terlengkap di industrinya," ujar Paulus.
Buyback saham
Di sisi lain, dalam prospektus yang diterbitkan GOTO, ada catatan mengenai Pembelian Kembali Saham Perusahaan. Hal ini tercantum dalam catatan Peristiwa Setelah Periode Berjalan.
Manajemen GOTO menyampaikan bahwa pada bulan Desember 2021, perusahaan membeli kembali sahamnya sejumlah 5.142.281.701 lembar. Dana yang dibayarkan untuk mengakuisisi saham tersebut sebesar US$ 135,19 juta atau sekitar Rp 1,94 triliun.
Saham yang dibuyback tersebut dicatat sebagai saham treasuri, dan GOTO memiliki hak untuk menerbitkan kembali saham-saham ini pada kemudian hari.
Mengenai buyback saham menjelang IPO, Farras melihat hal tersebut sebagai langkah yang wajar dilakukan. Menurutnya, aksi itu sejalan dengan rencana GOTO terkait alokasi saham Gotong Royong, termasuk jatah bagi para karyawan tetapnya.
"Buyback ini sebenarnya wajar saja, karena ini sejalan dengan rencana GOTO untuk menambah alokasi untuk ESA-nya (employee stock allocation)," tandas Farras.
Sekadar mengingatkan, GoTo juga meluncurkan Program Saham Gotong Royong dalam proses IPO.
CEO Grup GoTo Andre Soelistyo sebelumnya mengatakan, program ini akan memberikan kesempatan kepada mitra pengemudi, merchants, konsumen aktif, serta seluruh karyawan tetap GoTo untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari IPO.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News