Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pendapatan PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) terus mengalami pertumbuhan dalam tiga tahun terakhir. Meski begitu, dalam periode yang sama GOTO juga masih menderita kerugian dengan nilai yang jumbo.
Kendati masih merugi dalam jumlah besar, namun Analis Sucor Sekuritas Paulus Jimmy memproyeksikan kinerja bisnis GOTO akan menarik. Di tengah proses digitalisasi dan pertumbuhan ekonomi digital yang berlangsung cepat, peluang meningkatkan penetrasi di setiap lini bisnis GOTO masih terbuka lebar.
Selain itu, aktivitas keseharian masyarakat Indonesia juga semakin lekat dengan teknologi digital. Prospek ekosistem digital yang jumbo seperti GOTO terbilang cerah di tengah struktur penduduk Indonesia yang rata-rata usianya masih berada di sekitar 30-an tahun.
"Kerugian GOTO mungkin lebih baik dilihat secara tren, bukan hanya secara angka absolut. Karena terlihat bisnis utama dari GOTO menunjukkan pengurangan kerugian dari tahun ke tahun," ujar Paulus saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (29/3).
Sebagai informasi, dalam ringkasan laporan keuangan per 30 September 2021, GOTO membukukan pendapatan bersih senilai Rp 3,40 triliun. Meningkat 45,29% dibandingkan pendapatan bersih per September 2020 yang sebesar Rp 2,34 triliun.
Baca Juga: KPPU Putuskan Merger Gojek-Tokopedia Tidak Melanggar Persaingan Usaha
Dalam periode tahunan 2018-2020, pendapatan bersih GOTO sebenarnya juga terus mengalami kenaikan. Dari Rp 1,43 triliun pada 2018, naik menjadi Rp 2,30 triliun pada 2019. Kemudian meningkat lagi menjadi Rp 3,32 triliun pada 2020.
Sementara itu, dalam periode sembilan bulan pertama tahun 2021, rugi diatribusikan kepada pemilik entitas induk GOTO tercatat sebesar Rp 11,57 triliun, naik 11,03% dibanding rugi Rp 10,42 triliun per September 2020.
Dalam kurun tahun 2018-2020, GOTO masih mencatatkan kerugian di level double digit. Pada tahun 2018, GOTO membukukan rugi bersih sebesar Rp 11,24 triliun.
Rugi bersih GOTO melesat menjadi Rp 22,76 triliun pada 2019. Setahun kemudian, GOTO berhasil memangkas kerugian bersihnya menjadi Rp 14,20 triliun di akhir tahun 2020.
Merujuk laporan keuangan per Juli 2021, GOTO membukukan pendapatan bruto sebesar Rp 6,89 triliun. Meningkat 40,89% dibandingkan periode yang sama tahun 2020.
Dalam laporan tersebut, pendapatan GOTO mayoritas berasal dari imbalan jasa senilai Rp 5,03 triliun atau berkontribusi sebanyak 73% terhadap total pendapatan bruto.
Pendapatan GOTO lainnya bersumber dari jasa pengiriman sebesar Rp 892,60 miliar, imbalan iklan Rp 378,52 miliar, imbalan transaksi dan pembayaran sebanyak Rp 336,62 miliar, penjualan barang dagangan sebesar Rp 35,67 miliar, serta lain-lain yang mencapai Rp 221,01 miliar.
Pendapatan bruto yang diraih GOTO kemudian dikurangi dengan promosi kepada pelanggan, yang pada periode Juli 2021 tercatat sebesar Rp 4,38 triliun. Alhasil, GOTO membukukan pendapatan bersih Rp 2,51 triliun per Juli 2021, naik 54,93% dari realisasi Juli 2020 sebesar Rp 1,62 triliun.
Dari pendapatan bersih yang diraih GOTO tersebut, sebanyak 96% atau Rp 2,41 triliun berasal dari pihak ketiga. Sedangkan sisanya sebesar Rp 98,45 miliar didapat dari pihak berelasi.
Analis Samuel Sekuritas Indonesia Farras Farhan menyoroti segmen bisnis GOTO bersumber dari tiga lini utama. Yakni layanan on-demand (Gojek), marketplace (Tokopedia), dan financial technology (GoPay/GoTo Financials).
Melihat dari sumber pendapatannya, tingkat pengenaan komisi (take rate) dan pertumbuhan Gross Transaction Value (GTV) akan menjadi penentu kinerja GOTO.
Di antara Gojek, Tokopedia dan GoTo Financials, Farras menilai posisi take rate Gojek masih lebih bagus dibandingkan dua lini bisnis GOTO lainnya. Take rate Gojek berada di kisaran 7%. Tokopedia sekitar 1,3% dan GoTo Financials sekitar 0,8%.
Namun jika melihat dari kontribusi GTV, marketplace dan fintech lebih mendominasi. Menimbang hal tersebut, Farras menilai ke depannya GOTO bisa meningkatkan take rate dari kedua segmen ini.
"Namun tentunya ini perlu dilakukan trial and error mengingat apabila take rate dinaikkan, belum tentu reaksi dari pengguna GOTO akan positif. Karena pada akhirnya para merchant lah yang akan menanggung kenaikan take rate itu," jelas Farras.
Dari sisi bottom line yang masih merugi, Farras melihat kondisi itu masih terbilang wajar. Terlebih, mayoritas perusahaan teknologi lainnya pun masih menderita kerugian. Namun, Farras memberikan catatan ketika GOTO sudah melakukan initial public offering (IPO) dan resmi menjadi perusahaan terbuka.
"Sebagai perusahaan publik, GOTO tidak bisa lagi mengandalkan external funding semudah waktu mereka masih berupa start-up. Sehingga mereka harus menyiapkan roadmap untuk menuju profitabilitas," imbuh Farras.
Baca Juga: Kontribusi Gojek Terhadap Perekonomian Nasional Mencapai Rp 249 Triliun di Tahun 2021
Dia menyarankan agar pelaku pasar bisa mencermati persaingan GOTO dengan peers-nya di industri sejenis. Misalnya seperti Grab dan Shopee. Investor pun dinilai perlu memperhatikan strategi atau model bisnis yang akan diterapkan GOTO untuk dapat mencetak laba.
Paulus Jimmy membenarkan tingkat GTV maupun net revenue GOTO akan bergantung dari kebijakan take rate yang diberlakukan. Sebagai perusahaan teknologi yang sedang dalam fase growing, investor juga perlu mencermati GTV maupun net revenue GOTO.
Termasuk bagaimana realisasi kinerja GOTO dalam mempertahankan tren menuju profitabilitas seperti yang dipaparkan dalam laporan keuangan tiga tahun terakhir di prospektus. "Idealnya tentu GOTO fokus di lini bisnis utama, karena sejak merger kan mereka punya salah satu ekosistem terlengkap di industrinya," ujar Paulus.
Buyback saham
Di sisi lain, dalam prospektus yang diterbitkan GOTO, ada catatan mengenai Pembelian Kembali Saham Perusahaan. Hal ini tercantum dalam catatan Peristiwa Setelah Periode Berjalan.
Manajemen GOTO menyampaikan bahwa pada bulan Desember 2021, perusahaan membeli kembali sahamnya sejumlah 5.142.281.701 lembar. Dana yang dibayarkan untuk mengakuisisi saham tersebut sebesar US$ 135,19 juta atau sekitar Rp 1,94 triliun.
Saham yang dibuyback tersebut dicatat sebagai saham treasuri, dan GOTO memiliki hak untuk menerbitkan kembali saham-saham ini pada kemudian hari.
Mengenai buyback saham menjelang IPO, Farras melihat hal tersebut sebagai langkah yang wajar dilakukan. Menurutnya, aksi itu sejalan dengan rencana GOTO terkait alokasi saham Gotong Royong, termasuk jatah bagi para karyawan tetapnya.
"Buyback ini sebenarnya wajar saja, karena ini sejalan dengan rencana GOTO untuk menambah alokasi untuk ESA-nya (employee stock allocation)," tandas Farras.
Sekadar mengingatkan, GoTo juga meluncurkan Program Saham Gotong Royong dalam proses IPO.
CEO Grup GoTo Andre Soelistyo sebelumnya mengatakan, program ini akan memberikan kesempatan kepada mitra pengemudi, merchants, konsumen aktif, serta seluruh karyawan tetap GoTo untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari IPO.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News