Reporter: Dityasa H Forddanta, Sandy Baskoro | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Pasar saham domestik mulai bergairah. Pangkalnya adalah Wall Street. Pada penutupan Rabu (26/1), Dow Jones Industrial Average (DJIA) menembus level 20.068,51.
Ini merupakan posisi tertinggi indeks Dow Jones sepanjang sejarah, menyusul ekspektasi membaiknya perekonomian AS. "Untuk short term, IHSG akan mengikuti penguatan pasar AS," tandas analis Semesta Indovest Aditya Perdana Putra kepada KONTAN, kemarin.
Dalam time frame ini, IHSG berpotensi menyentuh level 5.400. Sebab, ketika Dow Jones naik, secara psikologis pasar melihat perbaikan ekonomi AS. Tentu ini berefek ke emerging market. Ini terlihat dari bursa saham Asia yang mengekor Dow Jones.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kemarin menguat 0,45% ke 5.317,63. Demikian pula bursa saham Asia lain. Misal, indeks Nikkei naik 1,58%, Kospi naik 0,67% dan Hang Seng naik 1,33%.
IHSG menghijau lantaran pasar melihat ekspektasi perbaikan makro dalam negeri, terutama di sektor komoditas dan industri dasar. Kedua sektor ini cukup diuntungkan dengan gencarnya rencana ekspansi industri di AS. Ekspor pun bisa menguat, sehingga rupiah lebih stabil.
"Karena tekanan utang pemerintah bisa dikurangi dan diharapkan lembaga rating internasional S&P menaikkan outlook investment Indonesia," jelas Aditya.
Namun, upside IHSG juga masih terbatas. Pasalnya, kenaikan indeks Dow Jones di sisi lain mengindikasikan dana asing keluar dari emerging market.
Capital inflow pun tertahan sehingga laju indeks melambat. "IHSG akan tetap sideways, antara level 5.000-5.500," ujar Vice President Research and Analysis Valbury Asia Securities Nico Omer Jonckheere, kemarin.
Dana asing di Bursa Efek Indonesia terus menyusut. Valuasi yang mahal, menurut Nico, juga turut membatasi laju indeks. Price earning ratio (PER) IHSG kemarin 15,2 kali. Sejak awal tahun hingga kemarin, asing pun mencetak net sell Rp 1,24 triliun.
Persaingan regional
Head of Research Maybank Kim Eng Securities Isnaputra Iskandar juga menilai, PER IHSG saat ini relatif tinggi, yakni 16 kali. "Angka tersebut di atas rata-rata PER IHSG di level 15 kali," ungkap dia, Selasa (24/1) lalu.
Dalam memperebutkan dana asing, kata Isnaputra, bursa saham Indonesia bersaing dengan bursa Thailand dan Filipina. Nico melihat, peluang akan muncul jika IHSG lebih dulu turun ke level 4.200.
Jika bottom ini tersentuh, indeks selanjutnya mudah rebound menuju 6.000. Atau skenario kedua, indeks memecahkan level tertinggi sebelumnya, 5.524. "Hanya pada kondisi ini kami kembali bullish terhadap IHSG," imbuh Nico.
Adapun Aditya menilai, pasar akan mengantisipasi pertumbuhan ekonomi Tiongkok. Hal ini masih sulit ditebak apalagi setelah Presiden AS Donald Trump mewacanakan kebijakan ekonomi yang cenderung protektif terhadap China. "Yang paling bahaya jika suku bunga AS naik dua sampai empat kali," kata dia.
Oleh sebab itu, dia menyarankan investor tetap berhati-hati sembari menunggu momentum positif untuk sektor yang sedang diskon. Contohnya, sektor properti dan saham migas dan sektor penunjangnya. Sebab, harga minyak diprediksi bisa menembus US$ 60 per barel tahun ini.
Sementara Isnaputra menilai, sektor perbankan akan mendorong IHSG tahun ini. "Bobot saham bank terhadap IHSG cukup besar, yakni 25%," kata dia, yang memprediksi IHSG pada akhir 2017 bisa menyentuh 6.000.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News