Reporter: Melysa Anggreni | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Asing menarik dana dari pasar surat berharga negara (SBN). Ini tercermin dari capital outflow di pasar SBN yang terjadi di pekan lalu.
Merujuk data transaksi Bank Indonesia (BI) pada 14 Mei – 15 Mei 2025, nonresiden tercatat jual neto sebesar Rp1,52 triliun di pasar SBN.
Fixed Income Analyst Pefindo Ahmad Nasrudin mengatakan, pasar obligasi memang sedang tertekan. Sebagian besar tekanan didominasi sentimen global.
Apalagi setelah penurunan peringkat utang Amerika Serikat (AS) oleh Moody’s dari Aaa (triple-A) menjadi Aa1. Pemangkasan ini menyusul dua lembaga pemeringkat lainnya, S&P Global Ratings dan Fitch Ratings yang mencabut peringkat triple-A dari AS.
Meskipun tensi perang dagang sedikit mereda dan data inflasi AS menunjukan perlambatan, tetapi pengumuman downgrade peringkat utang AS tersebut memicu kenaikan yield jangka panjang di pasar AS. Alhasil, hal ini memicu aliran keluar dana asing dari pasar obligasi domestik, yang tercermin ke dalam kenaikan imbal hasil surat utang pemerintah.
Baca Juga: Dana Asing Masih Deras Masuk ke SBN, Ini Pendorongnya
Menurut Ahmad, sentimen pemangkasan peringkat kredit AS menjadi momentum bagi investor asing untuk keluar dan merealisasikan keuntungan. Selain itu, apresiasi rupiah ke Rp16.424 per dollar AS setelah hampir menyentuh Rp17.000 per dollar AS memungkinkan mereka mendapatkan keuntungan berlipat ketika mengkoversinya ke dolar AS.
Jika ditelaah, investor asing cenderung tertarik dengan tenor pendek sebagai antisipasi potensi ketidakpastian di jangka pendek. Hal ini tercermin dari data kepemilikan asing yang memborong surat utang pemerintah pada tenor 0 – 1 tahun mencapai Rp 26,13 triliun atau unggul dibandingkan dengan tenor yang lebih panjang.
Tenor pendek relatif lebih stabil dan menawarkan fleksibilitas untuk memanfaatkan momentum. "Ketika tekanan di pasar meningkat dan harga terkoreksi, asing memiliki dana jumbo untuk memborong surat utang karena beberapa investasi jangka pendek mereka jatuh tempo." jelas Ahmad kepada Kontan.co.id, Senin (19/5).
Hanya Temporer
Meski begitu, Ahmad menilai, aksi jual tersebut kemungkinan bersifat temporer dan aliran dana asing masih berpotensi untuk masuk kembali ke pasar obligasi domestik, meskipun relatif terbatas dibandingkan dengan bulan April dan paruh pertama bulan Mei lalu.
Sebagai informasi, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) mencatat, beli bersih di pasar surat utang pemerintah pada bulan April sebesar Rp 7 triliun, dan sepanjang bulan Mei bertambah Rp 32 triliun.
"Jadi tidak mengherankan jika dipekan lalu asing membukukan jual bersih karena memang dibeberapa pekan sebelumnya mereka membukukan beli bersih yang cukup besar. Sehingga, saya kira pasar masih belum menghadapi jenuh beli," tambah Ahmad.
Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede meyakini bahwa potensi capital outflow masih ada dalam jangka pendek. Terutama, jika yield US Treasury tetap tinggi dan sentimen risk off kembali muncul akibat ketidakpastian global.
"Tetapi pelemahan ini bisa tertahan jika Federal Reserve (Fed) memberikan sinyal kuat terkait penurunan suku bunga pada semester ll-2025 atau jika ketegangan dagang benar-benar mereda," ujar Josua kepada Kontan.co.id, Senin (19/5).
CEO Pinnacle Investment Guntur Putra bilang, prospek obligasi domestik tetap positif dalam jangka menengah. Terutama, jika suku bunga mulai turun di semester ll, Inflasi tetap terkendali, dan rupiah cenderung bergerak stabil.
Meski begitu, Guntur mengimbau investor untuk tetap mencermati beberapa katalis negatif yang dapat menjadi tantangan. Seperti volatilitas global akibat arah kebijakan Fed yang belum pasti, ketahanan nilai tukar rupiah terhadap tekanan eksternal, dan potensi risiko fiskal menjelang transisi pemerintahan dan tahun anggaran baru.
Baca Juga: Perang Dagang Mereda, Arus Dana Asing ke SBN Diperkirakan Tetap Volatile
Ahmad melanjutkan, proyeksi pergerakan imbal hasil ke depan akan sangat dipengaruhi oleh arah kebijakan suku bunga. Adapun konsensus Bloomberg memperoyeksikan yield SUN 10 tahun kemungkinan akan berada direntang 6,50% - 6,95% selama paruh kedua dan ketiga ditahun 2025.
Sebagai gambaran, ruang bagi penurunan yield tetap terbuka ditengah tingkat inflasi yang rendah dan di bawah target, yang pada akhirnya membuka ruang bagi pemangkasan suku bunga oleh BI. Namun, stabilitas rupiah juga menjadi penting untuk menjaga inflasi agar tidak terdorong meningkat karena imported inflation.
“Secara teori, pemangkasan suku bunga secara agresif akan menekan rupiah. Sehingga, sikap BI akan cenderung berhati-hati untuk memangkas suku bunga. Hal inilah yang pada akhirnya berimplikasi terhadap perkembangan yield ke depan,” imbuh Ahmad.
Selanjutnya: BRI Angkat Bicara Soal Pemblokiran Rekening Dormant oleh PPATK
Menarik Dibaca: 5 Tips Cara Menghadapi Pasangan yang Ketahuan Selingkuh, Jangan Balas Dendam
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News