Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Bitcoin (BTC) kembali mencetak rekor tertinggi sepanjang masa (all time high/ATH), meskipun indeks saham utama Amerika Serikat (AS), S&P 500, justru melemah.
Ini menjadi sinyal bahwa hubungan historis antara kedua aset tersebut mulai menunjukkan perbedaan arah.
Berdasarkan data Coinmarketcap, Jumat (23/5) pukul 16.52 WIB, harga Bitcoin menguat 7,22% dalam sepekan, menembus level US$ 111.161.
Baca Juga: ATH Bitcoin Bawa Angin Segar, Transaksi Koin Alternatif Turut Melonjak
Dalam dua hari terakhir, BTC stabil bertengger di kisaran ATH, yakni sekitar US$ 111.000.
Sebaliknya, indeks S&P 500 turun 1,47% dalam lima hari perdagangan terakhir, dan ditutup di level 5.842,01 pada Jumat (23/5).
Faktor Pemicu Berbeda
Antony Kesuma, Vice President Marketing Indodax menjelaskan bahwa perbedaan arah pergerakan ini disebabkan oleh sentimen pendorong yang berbeda.
“Pasar saham AS saat ini tertekan oleh kekhawatiran terhadap kebijakan suku bunga tinggi The Fed, risiko penurunan kredit, hingga proposal fiskal dan pemangkasan peringkat kredit,” kata Antony kepada Kontan.co.id.
Baca Juga: Bitcoin Tembus All Time High, Ini Pemicu Pasar Kripto Terus Menguat
Sementara itu, pasar kripto mendapat dorongan positif dari sentimen internal, seperti derasnya aliran dana ke ETF Bitcoin spot dan ekspektasi akan dimulainya alt season, fase ketika aset kripto alternatif (altcoins) mencatat penguatan signifikan.
Luno Indonesia mencatat, aliran dana ke ETF BTC pada Kamis (22/5) mencapai lebih dari US$ 600 juta.
“Ini mencerminkan kepercayaan investor institusi terhadap Bitcoin sebagai aset jangka panjang,” imbuh Antony.
Aset Alternatif yang Makin Kuat
Antony menilai, kondisi ini mencerminkan semakin kuatnya posisi Bitcoin sebagai aset alternatif, terlepas dari performa pasar keuangan tradisional.
“Selama dukungan dari institusi tetap solid dan tidak ada gangguan regulasi besar, peluang reli Bitcoin masih terbuka lebar,” katanya.
Baca Juga: Tembus ATH, Analis Sebut Bitcoin Tak Bakal Turun ke Bawah US$ 100.000
Ia menambahkan, pasar Bitcoin kini lebih matang. Peran dominan investor institusional melalui ETF, dana pensiun, dan bank investasi besar membuat pasar ini lebih stabil dan kredibel.
Dengan The Fed diperkirakan akan memangkas suku bunga pada September dan Desember 2025, Antony melihat potensi arus masuk dana asing ke negara berkembang, termasuk Indonesia, ikut meningkat.
“Ini juga bisa memperkuat daya tarik Bitcoin sebagai instrumen diversifikasi,” tambahnya.
Tetap Perhatikan Risiko
Namun demikian, ia mengingatkan bahwa pasar kripto tetap sarat risiko karena volatilitasnya yang tinggi.
Baca Juga: Bitcoin Menuju US$115.000, Tapi Tangan Tak Terlihat Dealer Bisa Redam Rally
Oleh karena itu, investor harus melakukan riset menyeluruh sebelum mengambil keputusan.
“Strategi seperti Dollar-Cost Averaging (DCA), yakni membeli aset secara berkala dengan nominal tetap, bisa membantu mengelola risiko dan membangun portofolio jangka panjang secara lebih terukur,” tutur Antony.
Dukungan regulasi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap pasar kripto di Indonesia juga disebut sebagai katalis positif tambahan bagi perkembangan ekosistem aset digital dalam negeri.
Selanjutnya: Wall Street Melorot, Pasca Ancaman Tarif Baru Trump untuk Uni Eropa dan Apple
Menarik Dibaca: Didominasi Hujan, Ini Prakiraan Cuaca Besok (24/5) di Banten
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News