Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Berinvestasi tak melulu bicara soal cuan besar. Bagi Christian Kartawijaya, berinvestasi adalah cara lain bagi dirinya untuk menabung dalam mempersiapkan diri di masa mendatang.
Direktur Utama PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP) itu mengaku agak terlambat masuk ke dunia investasi di masa mudanya. Di tahun-tahun awal dia bekerja, seluruh gajinya habis dan tak ada sisa untuk diinvestasikan.
Christian bercerita, dia lulus dari Universitas Trisakti tahun 1989 dan setelahnya sempat bekerja di perusahaan konstruksi swasta di Tanah Air. Dia baru bergabung dengan Indocement pada tahun 1994 sebagai staf Corporate Finance.
Lalu, dia menjabat sebagai Chief Financial Officer (CFO) INTP sejak tahun 2004 hingga 2011. Pada tahun 2014, dia pun mengemban tugas sebagai Dirut INTP hingga hari ini.
Baca Juga: Gregory S. Widjaja Jadikan Investasi Sebagai Gaya Hidup Sejak Belia
Pria yang ambil S1 jurusan Teknik Sipil itu baru menginvestasikan uangnya mulai tahun 1996. Kelahiran anak pertamanya di tahun itu yang membuat dia berpikir untuk mulai pilah-pilih aset investasi.
Menurutnya, investasi itu layaknya menabung untuk menyediakan dana di masa depan dengan cara menunda pengeluaran hari ini. “Memang tidak banyak yang saya tabung. Tapi, penting juga punya sesuatu yang saya siapkan untuk masa depan anak saya atau untuk saya sendiri,” katanya saat ditemui Kontan pekan lalu.
Kala itu, aset pertama yang dia beli adalah properti, yaitu hunian untuk dirinya sendiri. Lalu setelahnya, Christian masuk sedikit demi sedikit ke deposito bank.
Deposito dipilih kala itu lantaran masih belum banyaknya pilihan aset investasi. “Saya sisihkan sedikit demi sedikit untuk tabungan darurat di deposito,” ungkapnya.
Selang waktu berlalu, aset investasi di portofolio Christian pun bertambah. Dia mulai menaruh dana di aset reksadana pendapatan tetap dan reksadana saham.
Berbeda dengan deposito yang meskipun risikonya rendah, tetapi keuntungan bunga kecil, reksadana menawarkan imbal hasil yang lebih menarik. Setelahnya, dia juga mencoba masuk ke pasar saham.
Baca Juga: CEO Generali Indonesia Rebecca Tan: Misi Menjadi Teman Bagi Nasabah
Christian mengaku memiliki prinsip hanya berinvestasi di hal yang bisa dia pahami. Sebelum memilih aset, dia akan mengajukan pertanyaan ke dirinya sendiri keputusan tersebut akan menguntungkan di masa mendatang.
“Sebelum berinvestasi, saya selalu bertanya ‘Nanti, bagaimana ya?’, bukan malah berpikir Ah lihat bagaimana nantinya deh. Saya kebetulan bukan investor yang risk taker,” akunya.
Dia pun sempat mengenang keputusan investasinya yang kurang bijak di instrumen emas. Dia sempat beli emas 10 tahun lalu, tetapi harganya terbilang stagnan dalam rentang waktu itu.
Nah, emas itu akhirnya dia jual beberapa waktu lalu. Tetapi tiba-tiba kondisi geopolitik global terguncang dan emas melonjak harganya. “Harga emasnya naik, tetapi sudah saya jual duluan,” paparnya.
Selain itu, kerugian juga dialami di aset saham perusahaan publik miliknya yang didelisting dari Bursa Efek Indonesia (BEI). Untungnya, jumlah dana yang disetornya untuk beli saham perusahaan-perusahaan itu diakui tak terlalu besar.
Pengalaman itu pun memberikan pandangan baru ke Christian bahwa tidak apa-apa jika memang mau memilih aset berisiko tinggi, asalkan masuknya tak dalam jumlah banyak. “Untuk cek ombak dulu,” katanya.
Berinvestasi di pasar uang juga, menurutnya, harus dalam keadaan tenang. Jika memang uang yang dimiliki itu mau dipakai dalam waktu singkat, ada baiknya tak ditaruh di instrumen berisiko tinggi.
Aset investasi lain yang menurutnya sangat menguntungkan untuk dipilih adalah dana pensiun. Sama seperti obligasi, dana pensiun sangat berguna baginya untuk dicairkan sebagai bekal di masa pensiun nanti. “Penting komitmen untuk tabungan emergency jangka panjang, minimal 3-6 bulan,” ungkapnya.
Saat ini, Christian punya persentase aset ke empat keranjang utama. Mayoritas, 55% dana investasinya ditaruh di obligasi. Lalu, 15% di saham, 15% di properti, dan 15% sisanya lagi di sektor riil.
Pria yang mendapat gelar MBA Finance di San Diego State University pada 1994 itu juga mempertimbangkan untuk kembali membeli emas sebagai safe haven di tengah situasi global yang tak menentu.
“Berinvestasi di hal-hal sederhana dan yang kita pahami. Lebih baik yang minim risiko, walaupun untungnya kecil,” katanya.
Selanjutnya: Mendag Resmikan Export Center Balikpapan dan Batam, Perkuat UMKM Tembus Pasar Global
Menarik Dibaca: Menu Baru! Promo Bakmi GM Semarak Merdeka, Paket Single/Couple Mulai Rp 46.000-an
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News